Nationalgeographic.co.id - Laut kita penuh dengan plastik. Memang, kita secara teratur terpapar dengan gambar dan cerita tentang paus dan kura-kura mati tersedak sampah plastik di laut. Plastik di laut jelas merupakan sebuah masalah tapi apa solusinya?
Di permukaan, tampak jelas bahwa plastik harus dikurangi atau bahkan dihilangkan dari sumbernya. Sekitar 90 persen plastik di laut berasal dari 10 sungai, delapan di antaranya di Asia. Indonesia adalah negara penghasil plastik terbesar kedua sesudah Cina, disusul Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Fakta ini sesuai dengan pengalaman kami di Vietnam. Di sepanjang pantai, plastik menumpuk. Kami meneliti dampak sampah plastik laut terhadap mata pencaharian di wilayah pesisir di Vietnam.
Baca Juga : Paus di Filipina Mati dengan 40 Kilogram Sampah Plastik di Perutnya
Namun, ketika kita telusuri masalah polusi plastik lebih dalam lagi, akan kita temukan bahwa argumen ini agaknya menyalahkan gelombang plastik pada para konsumen di bumi selatan (negara-negara berkembang)–tanpa menyebutkan orang-orang yang tinggal di wilayah utara bumi. Seolah-olah orang-orang yang tinggal di negara maju tidak bertanggung jawab atas terjadinya krisis ini.
Jika kita memahami sampah, bukan sebagai sesuatu yang dihasilkan oleh tindakan sekelompok individu, tapi lebih merupakan produk dari sistem sosial ekonomi yang berkontribusi pada timbulnya sampah dan mendorong pemborosan, penjelasan dominan soal masalah sampah plastik ini menjadi problematik. Kenyataan bahwa para konsumen di Barat adalah bagian dari masalah dan tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab muncul di permukaan.
Negara-negara Asia telah lama berkecimpung dalam bisnis pengolahan limbah plastik yang berasal dari wilayah utara global. Namun, embargo Cina pada Januari 2018 terhadap limbah impor (yang sebagian besar datang dari negara-negara maju di utara bumi) benar-benar mengganggu perdagangan limbah plastik.
Laporan-laporan berita menunjukkan bahwa Kanada, Amerika Serikat, Inggris, dan Australia berjuang keras sepanjang 2018 untuk menemukan solusi untuk masalah ini. Sebagian besar dari limbah plastik dialihkan ke negara-negara tetangga, termasuk di dalamnya Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, dan Vietnam–empat di antaranya adalah negara dengan tingkat pencemaran tertinggi.
Negara-negara ini sekarang kewalahan oleh banyaknya plastik yang harus dihadapinya. Vietnam, misalnya, mengumumkan bahwa pemerintah di sana akan melarang impor bahan baku bekas pada awal 2019, sebagai tanggapan atas kekhawatiran warga tentang memburuknya kondisi lingkungan dan kesehatan penduduk setempat.
Beberapa individu, sebagian besar dari wilayah belahan dunia utara, berusaha mengurangi konsumsi plastik mereka dengan menghindari penggunaan sedotan plastik yang murah dan kantong plastik sekali pakai atau hanya menggunakan barang yang tahan lama dan diproduksi secara berkelanjutan.
Sayangnya, “solusi” ini melanggengkan berjalannya ketimpangan, secara nasional dan internasional. Tidak semua orang mampu membeli sebuah sikat gigi bambu. Selain itu, opsi barang yang tahan lama seringkali dibuat dari beberapa komponen yang sulit untuk di daur ulang begitu mereka memasuki aliran limbah karena sulit dipisahkan–dan begitu mereka akhirnya masuk sebagai limbah, mereka lebih lambat untuk terurai.
Fokus kita pada aksi individual ini juga mengabaikan fakta bahwa perusahaan yang menggunakan kemasan plastik mendapatkan subsidi melalui program pengelolaan limbah rumah tangga yang didanai publik. Dan kemasan plastik yang lebih ringan berarti pengiriman global yang lebih murah–yang semakin mendorong produksi dan konsumsi plastik yang lebih murah.
Tapi sejauh ini konsekuensi terbesar dari gaya hidup konsumerisme Barat adalah penciptaan ruang penuh dengan sampah. Ketika lautan yang terkontaminasi dan lanskap yang kotor menjadi semakin umum, perhatian yang meningkat terhadap praktik pengelolaan limbah yang tidak benar di “negara-negara yang berpolusi” telah menciptakan persepsi bahwa negara berkembang salah dalam melakukan pengelolaan dan menyalahgunakan plastik. Orang-orang yang merupakan penerima dari limbah yang dihasilkan oleh orang-orang dunia bagian utara membayar harga tertinggi dari krisis ini.
Ekspor limbah dari bagian utara dunia ke bagian selatan telah menjadi kontroversi selama lebih dari 30 tahun. Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) pada 1989 berargumen bahwa tindakan ekspor limbah ini melanggengkan timbulnya ketidaksetaraan dan mendukung pergerakan limbah lintas batas negara.
Baru-baru ini UNDP mengusulkan untuk merevisi susunan kata dalam Konvensi Basel, sehingga limbah plastik impor tidak lagi dikategorikan sebagai “limbah hijau,” memberikan hak bagi negara penerima untuk menolak limbah plastik tercemar atau limbah plastik campuran yang tidak dapat dikelola dengan aman.
Meski amandemen ini belum disetujui, amandemen ini akan mendorong pemahaman yang lebih baik tentang sumber plastik di lautan kita alih-alih menyalahkan negara-negara berkembang atas manajemen pengelolaan sampah yang kurang baik.
Baca Juga : Arisan Ibu-ibu di Buton Berdampak pada Kebersihan Lingkungan
Jangan salah, ketika kita membuang gelas sekali pakai, mendaur ulang pembungkus kembang kol plastik atau ikut serta dalam gerakan Marie Kondo saat ini untuk hanya menyimpan “hal-hal yang menyenangkan,” kita didukung oleh struktur ketidaksetaraan global. Konsumsi etis tetap saja konsumsi, dan mungkin tidak akan selalu ada negara atau tempat pembuangan sampah lain untuk barang-barang yang kita buang.
Tampaknya tepat untuk mendorong daur ulang, tapi ada implikasi lain yang lebih besar. Daur ulang tidak akan memperbaiki masalah plastik di laut, dan menyalahkan negara di wilayah bumi bagian selatan untuk praktik pengelolaan limbah mereka yang buruk hanya mereproduksi kebiasaan kolonial memindahkan masalah kepada orang lain dan menyalahkan korban.
Solusi sejati dari krisis ini bersandar pada pengurangan konsumsi dan praktik pengelolaan limbah yang lebih adil termasuk menghargai gagasan berkelanjutan dan memaksa perusahaan membayar untuk membersihkan kekacauan mereka.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR