Dalam perjalanan dari Desa Sai menuju Kota Bima, kami mulai lapar kesetanan. Jalan kampung-kampung terluar Kabupaten Bima yang tak bersahabat, membuat rasa lapar kian menggelora. Tidak ada warung makan yang kami jumpai. Bekal kami hanya mie goreng instan dan telur ayam. Semua terpaksa kami bawa masuk ke mobil karena pemilik warung keberatan untuk memasak bahan pangan itu untuk kami. Ini adalah penderitaan bagi kaum lapar.
Setelah menyusuri jalanan tanah sejauh enam kilometer—yang diselingi sungai kering—kendaraan mulai menapaki jalan aspal di Desa Sowa. Akhirnya, seorang warga setempat bersedia mengolah belanjaan tadi untuk makan siang. Namanya, Rudin. Sementara Rudin memasak mie goreng, kami berjalan kaki menyusuri teluk di Sowa. Kawasan ini merupakan bagian dari sisi barat laut Teluk Bima, yang menghadap ke lautan lepas.
Pemandangan di teluk Sowa berhias tebing yang berbatasan langsung dengan ombak yang mengalun tenang. Kami menyusuri jalanan setapak di tepian tebing. Dua bagian tebing telah dihiasi relief klasik, mungkin pernah dijadikan sebagai tempat ibadah atau pertapaan oleh para leluhur Bima. Warga setempat menjulukinya "Wadu Pa'a" yang bermakna batu berpahat.
Baca juga: Menyusuri Majapahit dengan Panduan Peta National Geographic Indonesia
Relief dan arca yang terukir di tebing ini sebagian masih dapat dikenali. Kami menyaksikan figur Ganesha, sosok yang hadir sebagai simbol ilmu pengetahuan. Ada juga figur Siwa dalam posisi berdiri, seperti pada candi-candi di Jawa. Namun, tidak semua mahakarya ini selamat. Sebagian telah rusak, terpenggal kepalanya atau raib badannya.
Di sebuah ceruk atau gua buatan, kami menyaksikan tiga dudukan arca yang dipahat dalam tebing, Kami hanya menyaksikan dudukannya karena ketiga arcanya telah hilang. Di ceruk itu pula sebuah untaian kata berbahasa Sansekerta diukir indah.
Sementara di dinding lain terukir semacam bangunan rumah dengan atap bersusun banyak. Saya menghitungnya, setidaknya ada sepuluh susunan.
Baca juga: Di Balik Layar Rekonstruksi Rumah Majapahit
“Ini lingga-yoni,” ujar fotografer Dwi Oblo, yang juga seorang arkeolog, sembari menunjuk relief di sudut tebing. “Ini adalah lambang Siwa.” Oblo menduga bahwa relief tebing ini merupakan bagian dari tempat suci berabad silam, jauh sebelum Islam memasuki Bima. “Jika dilihat dari gaya pahatannya, mungkin dibuat pada masa Majapahit atau sebelumnya.”
Lingga dan yoni itu berhadapan dengan satu sosok lelaki yang duduk bersila. Sayangnya, ukiran wajah lelaki tak lagi dapat dikenali. “Mungkin tempat ini utamanya untuk pemujaan bagi Hindu-Siwa,” Oblo menduga. “Namun, ada juga ada anggota kelompok mereka yang berkeyakinan Buddha. Mereka hidup bersama.”
Pendapat Oblo tentang relief yang mengacu ke sosok Buddha memang perlu ditinjau ulang demi memastikan kebenarannya. Namun, pada zaman Majapahit ajaran yang memadukan Hindu dan Buddha sudah lumrah menjadi keyakinan warganya, yang dikenal dengan Siwa-Buddha. Bahkan, ajaran ini masih berlanjut hingga hari ini di Nusantara.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR