Nationalgeographic.co.id - Laut adalah sumber rezeki bagi para nelayan dan warga pesisir. Bertahun-tahun warga bergantung hidup pada kekayaan bahari.
Larung adalah cara masyarakat pesisir ucapkan syukur kepada laut. Tradisi ini sudah dilakukan sejak beberapa waktu silam.
Larung Sembonyo di pesisir selatan Prigi, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur salah satunya.
Larung dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V berartikan peti mayat yang tidak berdasar. Pada tradisi ini, arti larung berarti menghanyutkan. Makna peti ini digantikan dengan tumpeng raksasa.
Baca Juga: Tradisi Suku Bugis, Dua Pemuda Selesaikan Masalah dengan Badik dan Dikurung dalam Satu Sarung
Warga melarungkan tumpeng raksasa ke tengah laut untuk kemudian diperebutkan oleh ratusan warga.
Acara ini diselenggarakan setahun sekali, pada bulan Selo penanggalan Jawa.
Dikutip dari Kompas.com, tradisi Sembonyo ini sudah berjalan sekitar dua dasawarsa, sebagai wujud rasa syukur dan mengenang jasa para leluhur,” ujar Ketua Panitia Larung Sembonyo Nurkawit, Rabu (24/7/2019).
Tradisi Larung Sembonyo dimulai dari arak-arakan tumpeng raksasa dari Kecamatan Watulimo menuju pantai.
Baca Juga: Seperti Apa Sejarah Tradisi Ziarah Saat Lebaran dan Bagaimana Manfaatnya?
Sepanjang jalur arak-arakan, ribuan warga menonton, layaknya sebuah festival kesenian.
Setiba di pantai, tumpeng raksasa di letakan di atas pelampung yang terbuat dari pelepah pisan dan kayu untuk kemudian dibawa ke tengah laut.
Kegiatan melaut nelayan dihentikan selama tiga hari untuk menghormati acara Larung Sembonyo.
Acara ini benar-benar harus disakralkan sebagai bentuk ucapan syukur atas rezeki yang telah laut berikan kepada nelayan dan warga sekitar.
Baca Juga: FOTO: Tradisi Suku Nenet Menyantap Daging Mentah
Bupati Trenggalek Mochammad Nur Arifin bercerita kepada Wartawan Kompas.com, "Tumpeng Raksasa dilarung ke laut adalah sebuah simbol ucapan syukur kepada laut yang telah memberi banyak rezeki."
“Laut sudah memberi rezeki, sekarang mari menjaga laut. Laut jangan diberi sampah,” Lanjut Nur Arifin.
Penulis | : | Mahmud Zulfikar |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR