Namun begitu, penurunan tingkat polusi udara ini pasti bersifat hanya sementara. Untuk mendapatkan udara yang lebih sehat dalam jangka panjang, anjur Myllyvirta, cara yang baik adalah dengan beralih ke energi dan transportasi yang bersih.
Baca Juga: Studi: 1 dari 5 Kematian di Dunia Disebabkan Polusi Bahan Bakar Fosil
Senada dengan Myllyvirta, Corinne Le Quéré, pemimpin penelitian sekaligus profesor perubahan iklim dari University of East Anglia juga mengkhawatirkan tingkat polusi udara global yang bakal kembali meninggi setelah lockdown atau karantina wilayah dilonggarkan. Menurut hasil penelitiannya, pada awal April, dengan adanya karantina wilayah, emisi karbon menurun sebanyak 17% dibandingkan dengan tahun lalu. Namun, pada 11 Juni, data terbaru menunjukkan bahwa itu hanya lebih rendah 5% di waktu yang sama pada tahun lalu —padahal aktivitas normal belum berfungsi sepenuhnya.
“Kita masih memiliki jumlah mobil, jalanan, industri, dan rumah yang sama,” kata Corinne Le Quéré kepada National Geographic. “Oleh sebab itu, saat karantina wilayah dilonggarkan, kita akan kembali ke seperti semula,” paparnya.
Meski penurunan tingkat polusi udara niscaya akan kembali meninggi saat pandemi kelak berakhir dan penerapan lockdown, karantina wilayah, atau PSBB dilonggarkan, langit yang lebih bersih di masa pandemi ini menunjukkan tentang seberapa cepat sebenarnya kita bisa menurunkan polusi udara saat kita mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Udara yang lebih bersih ini sepatutnya juga menjadi pengingat betapa indahnya pemandangan langit yang sesungguhnya bila minim polusi udara.
Selain itu, ini semestinya juga bisa menjadi motivasi agar kita sebisa mungkin mencegah timbulnya polusi udara yang tinggi dan mematikan di sekitar kita. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pernah mengatakan bahwa udara kotor, baik di dalam maupun di luar ruangan, merupakan penyebab tujuh juta nyawa manusia di seluruh dunia mati prematur atau mati lebih cepat tiap tahunnya.
Source | : | Kompas.com,National Geographic,The Conversation |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR