"Ini yang harus dimaknai," Wahyu berpendapat dalam diskusi Dilema Pelestarian di siniar Balai Konservasi Borobudur, Selasa (29/06/2021)
"Kita harus mengenang jasa-jasa mereka, apakah candi yang dulu itu runtuh gitu aja, terus (ditemukan tegak kembali) begitu saja ibarat Bandung Bondowoso yang bangun candi satu malam. Kan bukan begitu."
Marsis Sutopo dari Tim Ahli Cagar Budaya Nasional dalam forum yang sama juga menambahkan, penghargaan pendahulu juga bisa diberikan pada para ahli yang memugar bangunan peninggalan sejarah.
Pemugaran Candi Borobudur sendiri pertama kali dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1907 hingga 1911 oleh Theodoor van Erp. Kemudian dilanjutkan lagi pada 1975 hingga 1985, pada masa ini juga turut dikampanyekan penyelamatan candi ke dunia internasional.
Baca Juga: Bagaimana Cara Peziarah Kuno Menyaksikan Pahatan Kisah Borobudur?
Sebelumnya, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) masih berbentuk Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Yang berubah, ujar Wahyu, adalah upaya pengembangan pemanfaatan yang sebelumnya tidak ada.
Orientasi pemanfaatan juga berupa perlindungan untuk menjaga kelestariannya. Meski demikian urusan pelestarian bukanlah hal yang mudah. Wahyu memberi gambaran untuk menjaga batu tangga candi yang tergerus bisa ditangani dengan penutupnya.
"Kadang-kadang ya, ada komplain 'ah, ini sudah tidak asli'. Padahal itu prinsipnya untuk melindungi," ujar Wahyu.
Pengembangan itu tertera dalam UU No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yang juga harus bermanfaat pada kesejahteraan masyarakat, terutama di sekitar situs.
Marsis berpendapat, masyarakat kini sudah merasakan potensi cagar budaya bisa dimanfaatkan. Peningkatan kesejahteraan pada masyarakat sendiri bisa berdampak secara fisik, seperti pendapatan dari pariwisata, dan non fisik seperti pemahaman terkait cagar budaya.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR