Nationalgeographic.co.id - Pada tahun 2019, para astronom menemukan sesuatu yang luar biasa mendekati Bumi kita. Sebuah komet pengembara yang datang dari sistem bintang lain bernama Borisov. Melaju dengan kecepatan sekira 110.000 mph atau sekitar 177 km/jam, Borisov yang merupakan bola es itu merupakan komet antarbintang pertama dan satu-satunya yang pernah dideteksi oleh manusia.
Namun kini, sebuah studi baru telah menemukan bahwa komet antarbintang lebih umum daripada yang kita kira. Hasil penelitian tersebut telah diterbitkan pada Monday Monthly Notification of the Royal Astronomical Society pada 23 Agustus 2021.
Dalam penelitian tersebut, dirincikan perhitungan baru yang menunjukan bahwa di Awan Oort, awan komet yang berada di area paling luar tata surya, terdapat lebih banyak objek antarbintang dari pada yang masuk ke dalam tata surya.
Baca Juga: Komet ATLAS Mungkin Pecahan dari Komet Purba yang Lebih Besar
“Sebelum komet antarbintang pertama terdeteksi, kami tidak tahu berapa banyak objek antarbintang yang ada di tata surya kita, tetapi teori pembentukan sistem planet seharusnya memiliki lebih sedikit (komet) pengunjung daripada penghuni tetap," kata Siraj, penulis utama studi dalam pres rilisnya di Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics.
Namun kini, kata Siraj, mereka menemukan bahwa mungkin ada lebih banyak pengunjung antarbintang. Perhitungan, yang dibuat dengan menggunakan kesimpulan yang diambil dari Borisov, mencakup ketidakpastian yang signifikan. "Namun bahkan setelah mempertimbangkan hal itu, pengunjung antarbintang menang atas objek-objek asli di tata surya," kata Siraj, yang juga merupakan mahasiswa pascasarjana di Departemen Astronomi Harvard.
Siraj menjelaskan, katakanlah ia melihat rel kereta api sepanjang satu mil pada satu hari dan mengamati satu mobil melintasinya. "Saya dapat mengatakan bahwa, pada hari itu, laju mobil yang melintasi bagian rel kereta api yang diamati adalah satu per hari per mil," katanya.
Namun, jika ia memiliki alasan untuk percaya bahwa pengamatan itu bukan peristiwa satu kali saja, katakanlah dengan memperhatikan sepasang gerbang penyeberangan yang dibangun untuk mobil. "Maka saya dapat mengambil langkah lebih jauh dan mulai membuat kesimpulan statistik tentang keseluruhan laju mobil yang melintasi bentangan rel tersebut," jelasnya.
Baca Juga: Astrofotografi: Bagaimana Foto-Foto Paling Ikonik Luar Angkasa Dibuat?
Namun, jika ada begitu banyak pengunjung antarbintang, lantas mengapa kita belum pernah melihatnya?
"Kami hanya belum memiliki teknologi untuk melihatnya," kata Siraj.
Pertimbangkan, katanya, bahwa Awan Oort mencakup wilayah sekitar 200 miliar hingga 100 triliun mil jauhnya dari Matahari kita. Dan tidak seperti bintang, objek di Awan Oort tidak menghasilkan cahayanya sendiri. Kedua faktor tersebut membuat puing-puing di tata surya luar sangat sulit untuk dilihat.
Sementara itu, ahli astrofisika senior Matthew Holman mengatakan bahwa hasil penelitian tersebut menarik karena memiliki implikasi pada objek yang bahkan lebih dekat daripada Awan Oort.
"Hasil ini menunjukkan bahwa kelimpahan objek antarbintang dan awan Oort sebanding lebih dekat ke Matahari daripada Saturnus. Ini dapat diuji dengan survei tata surya saat ini dan masa depan," kata Holman, direktur CfA's Minor Planet Center. yang melacak komet, asteroid, dan puing-puing lainnya di tata surya.
Baca Juga: Ilmuwan Mengungkap Asal Asteroid Chicxulub Pembunuh Dinosaurus
Menurut Holman, selama ini, ada beberapa asteroid yang terdeteksi, namun tidak diamati atau ditindaklanjuti dari tahun ke tahun. “Kami pikir mereka adalah asteroid, lalu kami kehilangan mereka tanpa melihat secara detail,” ujarnya.
Di masa akan datang, pengamatan dengan teknologi generasi berikutnya mungkin dapat membantu mengonfirmasi hasil penelitian ini, menurut peneliti.
"Objek antarbintang di wilayah planet tata surya akan jarang, tetapi hasil kami dengan jelas menunjukkan bahwa mereka lebih umum daripada materi tata surya di jangkauan gelap Awan Oort," kata Loeb, rekan penulis studi dan profesor astronomi Harvard.
Source | : | Royal Astronomical Society,Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR