Orang setempat menyebutnya kepala arus. Menyimpan kekuatan dahsyat, tapi keberadaannya nyaris tak terdengar.
Fenomena ini terekam dalam buku Memoar Seorang Eks-Digulis, sebuah buku kisah pelarian Mohamad Bondan, pejuang kemerdekaan yang kabur dari Kamp Pembuangan Belanda di Digul.
“...Saya mendengar suara gemuruh yang sangat keras. Dalam pikiran langsung menduga itu adalah suara pesawat Jepang yang meraung-raung di hutan belantara. Saya melihat ujung kali yang memang lurus sejauh mata memandang, tampak garis kecil membelok ke sebelah kiri…. Dari arah sungai tampak gelombang berwarna putih menyerupai dinding besar menggulung-gulung. Inilah kepala arus...”
Bagi warga Kampung Bade, Distrik Edera, Kabupaten Mappi, Papua, fenomena ini adalah hal biasa. Demikian pula bagi warga Suku Auyu yang diam di tepi aliran Digul. Justru, ombak kepala arus dipercaya sebagai kekuatan mistis dari leluhur. Tak heran bila tak banyak ada cerita tentang fenomena ini.
Eko Purwanto, salah satu warga Kampung Bade, mengatakan ombak "kepala arus" hanya terjadi di sekitar muara Sungai Digul, di titik pertemuan dengan Sungai Mappi. Gelagat bakal munculnya "kepala arus" adalah tiap kali bulan purnama dan permukaan air terlihat surut.
"(Lalu akan muncul) gelombang air pasang yang bergerak dari muara, ditandai dengan bunyi gemuruh seperti suara pesawat Hercules," terang Bondan. Begitu kepala arus terjadi, gelombang yang ditimbulkannya bisa setinggi dua hingga empat meter. Pada April dan Agustus, tinggi gelombang bahkan bisa lebih dari empat meter.
Bukan tanpa bahaya
Bagi warga Distrik Edera dan sekitarnya yang menggantungkan hidup dari transportasi sungai, ombak kepala arus menjadi fenomena menakutkan. Tak terhitung kecelakaan terjadi, bila mereka salah memperhitungkan waktu datangnya fenomena bulanan ini.
"Ombak kepala arus bisa membalikkan perahu kayu (belan) atau perahu motor (speed boat)," ujar Eko. Dalam beberapa kejadian, kapal yang diempas kepala arus bisa pecah dan terhantam gelondongan kayu yang terbawa gelombang.
Pada 2011, kepala arus menelan korban jiwa. Kapal belan berpenumpang 12 orang diempas kepala arus, memecahkan kapal, dan satu penumpang tewas terseret gelombang.
Nama muara yang mempertemukan Sungai Digul dan Sungai Mappi pun diambil dari sebuah kecelakaan. Tanjung Angela, itu namanya. "Sesuai nama kapal barang yang karam pada 1980-an," sebut dia.
Primus Leftew, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Pemerintah Kabupaten Mappi mengungkapkan bahwa fenomena alam unik ini hanya terjadi di Sungai Digul dan Sungai Mappi. Setidaknya fenomena serupa tak dia jumpai saat bertugas di pesisir Asmat, Merauke, yang merupakan kawasan berawa dengan sejumlah aliran sungai besar yang bermuara di Laut Arafura.
Meski menyimpan bahaya, kepala arus menurut Primus dapat menjadi salah satu obyek wisata yang menarik. Di Indonesia, fenomena yang serupa kepala arus barangkali adalah gelombang "Bono" di Sungai Kampar, Riau.
Sungai Digul merupakan sungai terpanjang di Papua di bagian selatan Pulau Papua. Hulu sungai ini adalah Pegunungan Sterren di bagian timur gugusan pegunungan tengah Papua dan bermuara di Laut Arafura. Bila kepala arus memang serupa dengan ombak Bono, maka fenomena ini dipicu pertemuan sungai beraliran deras dengan laut. Ombak Bono sudah menjadi salah satu tawaran wisata di Riau. (Baca: Menjajal Gelombang Tujuh Hantu di Sungai Kampar)
Selama tidak menjadi yang terombang-ambing di tengah gelombangnya, kepala arus adalah fenomena dahsyat yang indah dilihat. Lagi pula, tak setiap saat dan tempat ada fenomena serupa.
Bila bertemu kepala arus
Eko mengatakan fenomena kepala arus biasanya terlihat di bagian sungai yang dangkal. "Saat bertemu dengan ombak kepala arus, kami berusaha mencari aliran sungai yang dalam, karena di situ gelombang akan pecah," ujarnya berbagi tips, berdasarkan pengalamannya mengemudikan perahu motor dari Kampung Bade menuju Kepi, ibu kota Kabupaten Mappi.
Terjebak gelombang kepala arus, sama artinya berhadapan dengan ombak yang menggulung dari dua arah. "Biasanya kami bertanya dulu kepada warga kampung terdekat, karena bisa terjebak ombak kepala arus dari depan dan belakang," jelas Eko.
Yunus, konsultan proyek di Distrik Edera, menggambarkan kepala arus biasa datang berupa tujuh hingga tiga belas gelombang yang datang berurutan, dengan ketinggian lebih dari dua meter. "Kami sudah tiga kali bertemu ombak kepala arus, dan sudah pernah merasakan 13 gelombang secara berurutan," ujar dia.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR