Nationalgeographic.co.id—Marah Sutan bertemu dengan seorang anak yatim yang ditinggal ayahnya dan hidup bersama ibunya yang buta huruf, pembuat kue yang dijajakan oleh Muhammad Sjafei.
Nasib Sjafei berubah kala Marah Sutan mengangkatnya sebagai anak asuh. Ia disekolahkan oleh ayah angkatnya di Kwerkschool Fort de Kock Bukittinggi dan menyelesaikan studinya selama 6 tahun.
Pada 1922, ia berangkat ke Belanda bersama dengan Marah Sutan, ayah angkatnya. Saat di Belanda, ia mendapatkan kesempatan untuk mengajar di sekolah dasar, Moekhoek, di Rotterdam.
Sekembalinya ke Hindia-Belanda, Sjafei kerap bertemu dengan para pemuda pergerakan, salah satunya dr. Soetomo.
Ia juga terlibat aktif dalam organisasi pergerakan rintisan Mohammad Hatta, bernama Indonesisch Vereeniging. Keterampilan dan pemikiran kritis lahir selama aktif dalam Indonesisch Vereeniging.
Pikirannya tercerahkan, adanya rasa untuk memperbaiki nasib kaum bumiputera, gagasan dalam bidang pendidikan.
Sjafei bertekad keras membalikkan stigma 'primitif' yang disematkan oleh Belanda kepada kaum bumiputera. Belanda menganggap bahwa kaum bumiputera tertinggal dalam sains dan ilmu pengetahuan.
Muhammad Sjafei melalui gagasannya, berupaya untuk menciptakan sekolah keguruan. "Ia berjanji untuk dapat mencetak guru bumiputera yang berkualitas, guna menandingi kompetensi bangsa Eropa," tulis Isnaini.
Muhammad Isnaini menulis dalam laman resmi Kementrian Agama Sumatera Selatan, artikelnya berjudul Moehammad Sjafei (Pemikiran dan Praktik Pendidikan tentang Ruang Pendidik INS Kayutanam).
"Sjafei memiliki prinsip untuk menciptakan sekolah yang tidak menjauhkan dari kaum bumiputera, sebagaimana pendidikan kolonial yang dikenal eksklusif (hanya orang Eropa dan bangsawan yang bisa sekolah)," tambahnya.
Source | : | jurnal ISTORIA,Jurnal Manajemen Pendidikan |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR