Nationalgeographic.co.id—Manuskrip pada daun lontar menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan budaya peradaban serta literasi kuno di Nusantara.
Kata 'lontar' berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa Kuno, 'ron' artinya daun dan 'tal' artinya pohon tal. Artinya, 'daun pohon tal'. Pohon tal dengan nama latin Borassus flabellifer L, termasuk dalam keluarga pohon palma yang biasa banyak tumbuh di kawasan Asia Tenggara. Kita telanjur menyebut pohon ini dengan lontar.
Daun ini banyak digunakan oleh masyarakat Hindu sebagai bagian dari sesajen dalam peribadatan. Selain itu, juga dipergunakan sebagai anyaman, pembungkus makanan, dan salah satu media menulis. Dahulu, tidak sembarang orang yang mengunakan daun lontar sebagai media tulis. Kebanyakan hanya kalangan sastrawan atau pendeta, atau kaum ajar.
Mereka menulis pada lontar karena peradaban kertas belum sampai di Jawa. Selain itu, menulis daun tal berperan sebagai alternatif dari menulis pada batu ataupun logam.
Menulis dengan Media Lontar
Manuskrip lontar dibagi menjadi dua jenis, yaitu prasi (gambar) dan tulisan seperti pada naskah-naskah kuno. Salah satu naskah kuno yang menggunakan media lontar adalah naskah kuno Merapi-Merbabu.
Di antaranya terdiri atas naskah kakawin, mantra, parwa, kidung, tutur, putru, dan lain sebagainya. Masing-masing dari naskah tersebut ditulis menggunakan lontar dan aksara Jawa.
Dalam menulis media lontar, diperlukan proses awal pembuatan. Awalnya, daun pada pohon tal yang telah dipotong lalu direndam dalam air selama sebulan.
Setiap harinya air tersebut harus diganti, supaya menghindari kotoran dan bercak pada daun. Kemudian setelah melewati perendaman selama sebulan penuh, daun dikeringkan sampai benar-benar kering.
Daun yang telah kering kemudian direbus menggunakan rempah-rempah tertentu selama sekitar 6-8 jam. Setelah itu, daun dikeringkan dan dipres selama enam bulan hingga satu tahun.
Dalam proses pengepresan, daun hanya boleh sesekali dibuka untuk dibersihkan saja. Tujuannya, supaya media daun lontar tidak mudah rusak, awet, serta lebih lentur.
Penulis | : | Ratu Haiu Dianee |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR