Nationalgeographic.co.id—Jejak itu masih terasa di Pantai Anyer. Herman Willem Daendels tiba mengendap-endap di pesisir ini. Perjalanan rute Anyer-Batavia ditempuhnya selama empat hari. Setelah mengamati situasi Jawa, timbul gagasan nya untuk membuat Jalan Raya Pos. Tujuan utamanya untuk kepentingan ekonomi—pengangkutan hasil perkebunan— berikutnya militer.
Pada Mei 1808 dimulailah instruksi pembangunan Jalan Raya Pos ruas Bogor -Cirebon: Pekerjaan paling utama dan paling berat. Sekitar dua bulan berikutnya, Daendels menginstruksikan perluasan ruas Anyer - Batavia, Pekalongan - Semarang, dan ruas-ruas lainnya relatif ringan karena hanya memperlebar dan memperkeras jalan yang sudah ada. Panjangnya, mencapai seribu kilometer.
Jalan Raya Pos menjadi jejak yang menandai pergolakan politik di Eropa, sebuah tengara atas kuasa Prancis di Jawa, dan nestapa bagi warga yang membangunnya. Kini lebih dari 200 tahun berlalu, dinamika zaman telah mengubah wajah kota-kota itu. Setiap kota memiliki tantangannya sendiri. Bagaimana warga kota-kota itu merawat ingatan mereka tentang Jalan Raya Pos?
“Apakah ingatan orang kita—Indonesia 100 tahun lalu, 50 tahun lalu terhadap Jalan Raya Pos masih tetap sama?” tanya Ady Setyawan ketika menelisik tentang De Grote Postweg.
Dia merupakan penulis dan periset sejarah, mengarungi tiga zaman ruas Jalan Raya Pos dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur). Dia mengumpulkan catatan silam abad ke-19, abad ke-20, dan abad terkini tentang kota-kota sepanjang Jalan Raya Pos. Selain itu dia mengumpulkan cerita tutur setempat, permasalahan kota, dan berjumpa komunitas yang berupaya melestarikan jiwa kota mereka.
Sebagai pegiat sejarah Rodeburg Soerabaia, yang telah menulis beberapa buku tentang sejarah kota. Buku terbarunya bertajuk Tragedi Batavia 1629, terbit Maret silam.
Jalan Raya Pos terbentang sekitar 1.000 kilometer yang menyatukan Anyer dan Panarukan. Jalan ini memudahkan transportasi dan laju perekonomian sejak zaman Hindia Belanda atas kebijakan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.
Karena jalanan ini kerap dilalui untuk berbagai kepentingan, termasuk militer, ada banyak kisah yang tertinggal. Kisah-kisah itu meliputi infrastruktur, budaya, sosial, alam, dan lingkungan yang mungkin masih terjaga. “Proyek jalanan terbesar di masanya, terbesar, tercepat, dan paling gila,” kata Ady.
Baginya, Jalan Raya Pos bukan sekadar jalan raya biasa. Ada banyak catatan petualangan terdahulu yang mengisahkan jalan legendaris ini. William Thorn, serdadu Inggris yang menulis catatan atas penaklukan Jawa bertajuk Memoirs of the Conquest of Java (1815), History of Java adikarya Thomas Stamford Raffles (1817), William Barrington D’Almeida dalam Life in Java: Sketches of the Javanese (1864), dan Pramoedya Ananta Toer lewat bukunya Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005).
Pada 25 Mei, Ady memulai ekspedisi menyusuri jalan raya nan legendaris ini dari Anyer sampai Panarukan selama sepuluh hari. Perhelatan ini merupakan program #SayaPejalanBijak yang menggandeng Intisari dan National Geographic Indonesia, didukung oleh Royal Enfield.
“Kita bisa me-refresh lagi memori kolektif—kita jadi lebih ngerti. Bukan cuma sekadar kebiasaan atau adat masyarakat, tapi bahkan morfologis jalan seperti apa perubahannya,” kata Ady. “Perubahan morfologis itu macam-macam ya, misalnya karena pemukiman, hutan-hutan yang disebutkan oleh petualang-petualang terdahulu di abad sebelumnya, apakah selebat dulu. Jadi situasi alam, kebencanaan dan hal lainnya.”
Selain dari faktor historis dari Jalan Raya Pos, hal yang membuat Ady tertarik melakukan ekspedisi ini adalah ingin menelisik komunitas sejarah dan pegiat pelestarian cagar budaya di setiap kota. Berkat perkembangan sosial media, banyak komunitas lahir untuk mengedukasi dan melestarikan apa yang tersisa di Jalan Raya Pos.
“Jadi ada kecenderungan mereka dipertemukan di dunia maya dan akhirnya ngumpul di dunia nyata dan kemudian mereka beraktivitas. Tapi ini butuh pembuktian lebih lanjut kita nanti di lapangan bertemu dengan mereka, apakah betul seperti itu, mulai kapan mereka aktif, terus dampak sosial dari keberadaan mereka ini apa,” ia melanjutkan.
Misalnya, Adi menyebutkan, benteng hampir roboh yang ditemukan di Panarukan, Situbondo, Jawa Timur. Berkat kehadiran komunitas pegiat sejarah, upaya penyelamatannya pun dilakukan sehingga memunculkan dampak positif.
Contoh lainnya, seperti pengungkapan Benteng Kedung Cowek di Surabaya, Jawa Timur. Benteng itu terbengkalai, kemudian diungkap kembali oleh National Geographic Indonesia. Dampak dari pengungkapan itu mendapatkan perhatian dari dunia internasional dan mendorong perlindungan.
“Jadi dengan ekspedisi ini selain menjaga memori kolektif, mengaitkan mereka (komunitas dan pegiat) agar lebih erat dan bisa saling support satu sama lain,” tekannya.
Dalam misi penjelajahan ini Ady akan ditemani rekannya, Hadi Saputro. Namun, selama perjalanan tidak menutup kemungkinan bagi komunitas setempat yang tertarik ikut menyisiri Jalan Raya Pos.
Ady menghimpun komunitas sejarah dan budaya sepanjang ekspedisi ini, karena kehadiran komunitas-komunitas itu memberikan wawasan tentang kota mereka. “Tidak ada yang lebih mengenal suatu kota kecuali orang di situ sendiri,” terang Ady.
Ady berniat menerbitkan buku tentang perjalanan ini, berikut dengan temuan-temuannya. Sebab, ungkapnya, semua tentang perjalanan hari ini tidak cukup bila hanya dituturkan. Dia merasa perlu mengabadikannya dalam tulisan yang kelak dipahami bagi generasi berikutnya.
"Yang tidak kalah penting mencatat perubahan-perubahan terkaitannya dengan fauna," Ady menambahkan. Barrington pada 1860-an mencatat bahwa Danau Ranu Grati ada buaya. Buaya itu jadi pertunjukkan warga sekitar dengan memberikan umpan bebek di tengah danau.
"Nah, sekarang kita tidak pernah dengan buaya di Ranu Grati—kok bisa ada buaya di situ? Kapan buaya ini hilang, kapan buaya ini terakhir terdengar, kenapa bisa tidak ada (sekarang) apakah ada industri daerah sekitar situ yang memengaruhi atau ada faktor lain?"
Baca Juga: National Geographic Indonesia on Assignment: Singkap Riwayat Kota Pesisir Utara Jawa
Baca Juga: Jelajah Tengara-Tengara Cirebon
Baca Juga: Herman Willem Daendels dalam Pemberantasan Korupsi di Hindia Belanda
Baca Juga: Reconnect Vol. 2: Perjalanan Menyusuri Wajah Baru Pantai Indah Kapuk
Barrington juga mencatat bahwa tidak jauh dari Ranu Grati, ada arca dan peninggalan lainnya dari periode Majapahit yang mengeluarkan air. Sampai saat ini sisa-sisa itu masih ada. Tetapi, yang terlupakan adalah populasi monyet yang kini telah hilang.
Ady memeriksa arsip foto Leiden University bahwa pada masa Hindia Belanda, kawanan monyet itu masih ada dan begitu dekat dengan manusia. Lewat ekspedisi ini, dia mencari tahu apa yang menyebabkan pada hari ini satwa ini tiada.
"Perjalanan ini akan berjumpa dengan komunitas-komunitas di setiap kota," kata Faisal Anwari Lubis selaku Community Officer #SayaPejalanBijak. "Salah satu misi kita sebagai pejalan adalah berempati pada setiap tempat dan perjumpaan." Dalam Jelajah Tiga Zaman Jalan Raya Pos, yang membentang sekitar seribu kilometer, etika berkendara dan keselamatan bersama di jalan raya akan menjadi salah satu bagian misinya. "Semoga perjalanan ini mencapai apa yang kita cita-citakan dan selamat sampai tujuan."
Bimo Ario Sulistyo Rides and Community Manager di Royal Enfield menjelaskan, dukungan tidak hanya berupa sepeda motor, tetapi juga panduan teknis agar aman dan nyaman, serta kesiapan darurat saat perjalanan berlangsung.
"Kita sudah ada namanya roadside assitance. Jadi kita ada back-up, kita punya partner dengan salah satu perusahaan towing motor yang akan membantu apabila terjadi trouble seperti ban bocor, mogok karena akinya drop, kehabisan bensin, atau tidak bisa diperbaiki di tempat sehingga harus dibawa ke bengkel terdekat," terang Bimo. Layanan itu bisa dihubungi dalam 24 jam jika memerlukan bantuan.
Mahandis Yoanata Thamrin, Editor in Chief Intisari dan managing Editor National Geographic Indonesia, mengatakan, "Kami mendukung perjalanan bersejarah ini. Perjalanan yang tidak sekadar menyaksikan kota-kota yang dilalui Jalan Raya Pos, tetapi juga mengungkap kembali narasi histori yang nyaris hilang, jejak budaya, sosial, dan ekonomi yang berdenyut hingga hari ini. Kemudian dia menambahkan, "Kami juga berbangga hati karena Ady Setyawan adalah pembaca dan pelanggan setia majalah Intisari."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR