Dalam metode pengolahan cokelat tradisional, terdapat satu proses yang disebut conching. Proses inilah yang paling menarik perhatian karena menjadi kunci untuk menghasilkan cokelat halus dan lembut dengan rasa terbaik. Kini, sains telah mengungkap rahasia teknik yang telah berumur 140 tahun tersebut.
Para ilmuwan telah mengungkap ilmu fisika kompleks dalam teknik conching. Temuan ini mungkin memegang kunci untuk memproduksi manisan dengan kandungan lemak yang lebih rendah, dan dapat membantu membuat pembuatan cokelat lebih hemat energi.
Hasil penelitian tersebut diterbitkan dalam Proceedings of National Academy of Sciences dengan judul "Conching chocolate is a prototypical transition from frictionally jammed solid to flowable suspension with maximal solid content".
Conching merupakan tahapan lanjutan setelah mixing (percampuran) dan refining (pemurnian). Proses ini adalah proses penting dalam pembentukan viskositas, tekstur, dan rasa pada cokelat. Pada tahap ini asam-asam volatil yang secara alami terdapat pada komponen-komponen kakao dibuang dan kadar air dikurangi, sehingga rasa lembut cokelat dapat terungkap.
Proses ini menuatkan campuran lemak, gula, dan padatan kakao yang tidak homogen diubah menjadi cairan mengalir yang homogen. Terlepas dari popularitas cokelat dan proses kuno, sampai sekarang, belum ada pemahaman yang baik tentang mekanismenya.
Di penelitian ini, ilmuwan menunjukkan bahwa dua peran utama conching adalah pemecahan mekanis agregat dan pengurangan gesekan antar partikel melalui penambahan dispersan. Suspensi homogen yang mengalir dibuat dari campuran partikulat, minyak trigliserida, dan dispersan syang tidak homogen.
Dispersan adalah bahan kimia yang terbuat dari surfaktan (zat aktif permukaan) yang dilarutkan dalam pelarut ditambah stabilisator dan pengawet. Umumnya surfaktan yang digunakan adalah surfaktan yang diekstrak dari minyak nabati, gula, dan sumber alami lainnya.
Tim peneliti yang dipimpin oleh University of Edinburgh yang berkolaborasi dengan New York University mempelajari campuran menyerupai cokelat cair yang dibuat menggunakan proses conching. Alat itu dikembangkan oleh pembuat manisan Swiss Rodolphe Lindt pada 1879.
Para peneliti melibatkan pengukuran kerapatan campuran dan bagaimana mereka mengalir pada berbagai tahap proses. Analisis mereka menunjukkan conching dapat mengubah sifat fisik kristal gula mikroskopis dan bahan granular lainnya dari cokelat. Sampai sekarang, ilmu di balik proses itu kurang dipahami.
Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa conching dapat menghasilkan cokelat cair halus dengan memecah gumpalan bahan menjadi butiran yang lebih halus. Butiran itu akan mengurangi gesekan antar partikel.
Baca Juga: Menguak Beragam Misteri Panjang nan Rumit Tentang Sejarah Cokelat
Baca Juga: Bisa Menyebabkan Kematian, Mengapa Cokelat Berbahaya Bagi Anjing?
Baca Juga: Aztec Percaya, Manisnya Cokelat Adalah Karunia dari sang Dewa
Baca Juga: Konsumsi Cokelat Hitam 85 Persen Dapat Meningkatkan Suasana Hati
Sebelum ditemukannya conching, cokelat memiliki tekstur berpasir. Karena, bahan-bahan itu membentuk gumpalan kasar dan tidak beraturan yang tidak mengalir dengan lancar ketika dicampur dengan cocoa butter menggunakan metode lain.
Pengetahuan tersebut menurut peneliti juga dapat membantu meningkatkan proses yang digunakan di sektor lain. Seperti pembuatan keramik dan produksi semen yang mengandalkan pencampuran bubuk dan cairan.
Profesor Wilson Poon, dari Fakultas Fisika dan Astronomi University of Edinburgh, yang memimpin penelitian ini, mengatakan mereka berharap temuan tersebut dapat membantu mengurangi jumlah energi yang digunakan dalam proses conching. Selain itu proses ini dapat mengarah pada pembuatan lebih ramah lingkungan dari cokelat.
"Dengan mempelajari pembuatan cokelat, kami dapat memperoleh wawasan baru tentang fisika dasar tentang bagaimana aliran campuran yang kompleks. Ini adalah contoh yang bagus tentang bagaimana fisika dapat membangun jembatan antara disiplin ilmu dan sektor kehidupan," kata Poon.
Source | : | PNAS,University of Edinburgh News |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR