Nationalgeographic.co.id—Di zaman Romawi kuno, upacara pemakaman bukanlah rentetan acara yang tenang dan muram. Ritual pemakaman bangsa Romawi kuno terdiri dari prosesi besar-besaran. Bak pawai kemenangan, orang berparade di jalan sambil memainkan alat musik. Semua kemeriahan ini membuat orang berhenti dan menikmati parade tersebut. Disebut carnivalesque, ritual pemakaman Romawi kuno penuh kegembiraan dan tawa.
Seorang aktor yang disewa akan berjalan di belakang musisi prosesi pemakaman dan menampilkan pertunjukan. “Ini mungkin terdengar konyol bagi orang zaman sekarang,” ungkap Mark Oliver di laman Ancient Origins. Tetapi bagi orang Romawi, kematian bukan hanya waktu untuk berkabung. Ini adalah waktu untuk merayakan kehidupan seseorang.
Pelayat profesional yang disewa
Pemakaman Romawi dimulai dengan prosesi. Segerombolan orang akan turun ke jalan, membawa mayat dari pekuburan untuk dikremasi. Semakin besar jumlah rombongan maka semakin baik. Orang Romawi menginginkan pertunjukan besar. Ini akan menunjukkan betapa orang yang meninggal itu dicintai.
Semakin kaya seseorang, semakin mewah prosesi pemakamannya. Sebuah keluarga miskin mungkin hanya mampu membayar seseorang untuk meniup seruling. Tetapi jika Anda kaya, Anda tidak membutuhkan siapa pun untuk mencintaimu. Anda bisa membayar orang untuk bersedih.
Pelayat profesional bisa disewa untuk mengikuti prosesi pemakaman di jalan. Bahkan seorang asing pun (yang dibayar) akan menangis keras. Ia akan menampilkan sandiwara kesedihan yang ‘gila’ untuk membuat kematian terlihat mengesankan.
Seiring berjalannya waktu, pertunjukan kesedihan ini menjadi sangat berlebihan sehingga orang Romawi harus membuat undang-undang khusus. Seperti melarang pelayat yang disewa untuk mencabuti rambut serta menggaruk wajah mereka sendiri.
Sebuah pantomin dimainkan untuk meniru orang yang meninggal
Di belakang pelayat yang disewa aktor profesional duduk di atas kereta, mengenakan pakaian orang yang meninggal. Ia akan mengikuti prosesi di jalan, melambai pada orang-orang di sisi jalan, mengenakan topeng wajah almarhum.
Ini adalah ‘pantomim pemakaman’. Jika keluarga Romawi bisa menampilkan aktor ini, itu tandanya mereka berasal dari keluarga kaya. Untuk menyajikan pantomim, biayanya sangat mahal. Aktor terbaik akan mengikuti klien mereka sepanjang hidupnya, memperhatikan gerak tubuh dan kebiasaan bicara mereka. Sehingga aktor tersebut bisa membuat tiruan terbaik ketika klien mereka meninggal.
Namun aktor pantomim tidak selalu menyanjung. Pantomim terbaik adalah komedian yang tampil saat Kaisar Vespasianus meninggal. Pantomim pemakamannya mengolok-olok kecenderungan kaisar Vespasianus yang selalu berhemat. Selama prosesi, dia bertanya berapa biaya seluruh pemakaman ini. Dan ketika mendengar seseorang berkata, “Sepuluh juta sesterces”, dia memanggil kembali: “Kuberi seratus ribu dan lempar aku ke Tiber!”
Orang-orang berdandan seperti leluhur orang yang sudah meninggal dan menghadiri pemakaman
Akan ada lebih dari satu orang dalam prosesi pemakaman yang mengenakan kostum. Tidak hanya pantomim sewaan yang meniru almarhum. Tapi ada prosesi orang yang berpakaian seperti semua orang di keluarganya.
Direktur pemakaman akan melacak orang-orang yang tampak seperti leluhur almarhum. Ia akan memasangkan mereka dengan topeng wajah leluhurnya. Disebut ‘imagines', mereka akan mengenakan pakaian yang dikenakan orang-orang dalam kehidupannya. Lalu mengikuti di belakang pantomim pemakaman sambil menyapa orang banyak.
Mungkin sekelompok aktor yang meniru ini akan terlihat aneh bagi orang modern. Tetapi bagi orang Romawi, ini adalah cara untuk menunjukkan betapa pentingnya orang yang sudah meninggal itu. Para aktor akan mengenakan pakaian yang memamerkan peringkat tertinggi yang pernah dicapai keluarga almarhum dalam hidup. Ini menunjukkan bahwa bukan hanya almarhum yang pernah jadi orang penting, anggota keluarganya yang lain juga. Para aktor ini akan melalui serentetan upacara pemakaman.
Ketika keluarga itu sampai di pekuburan, akan ada deretan kursi gading yang menunggu para aktor. Sepanjang pemakaman, ada seluruh barisan orang yang duduk menonton dengan topeng orang mati menutupi wajah mereka.
Menempatkan orang mati di tempat peristirahatan terakhir
Acara pemakaman adalah pertunjukan yang luar biasa dan konyol, penuh dengan aktor, musisi, dan lelucon. Alih-alih pemakaman, prosesi ini lebih mirip pesta. Faktanya, parade bahkan sering kali lebih besar dan lebih hidup daripada pernikahan Romawi.
"Tapi pemakaman masih merupakan momen penghormatan," ungkap Oliver. Ini adalah waktu untuk meletakkan orang mati untuk beristirahat. Begitu sampai di pekuburan, keadaan menjadi sunyi.
Baca Juga: Proses Aneh Membuat Kulit Putih Lambang Kecantikan Wanita Romawi Kuno
Baca Juga: Risiko Jadi Kaisar Romawi, Peluang Matinya Lebih Tinggi dari Gladiator
Baca Juga: Era Lima Kaisar Baik: Puncak Kemakmuran dan Kekuasaan Romawi
Keluarga akan menonton dan menunggu sementara orang yang mereka cintai dikremasi. Membakar tubuh, mereka percaya, akan mengirim roh keluar dan abunya dimasukkan ke dalam guci pemakaman. Roh orang yang meninggal akan berada di sana bersama mereka. Keluarga akan menyampaikan pidato dan mengucapkan kata-kata terakhir kepada orang yang meninggal. Orang Romawi meyakini ini merupakan kesempatan terakhir untuk berbicara dengan orang mati.
Kemudian akan ada pesta dan perayaan akan dimulai sekali lagi. Topeng yang dikenakan pantomim pemakaman akan disimpan di rumah keluarga. Topeng akan dipajang selama hari libur keagamaan dan disimpan untuk pemakaman berikutnya. Pada saat itu, topeng tersebut bergabung dengan kerumunan leluhur yang sudah meninggal dalam prosesi.
Ini mungkin aneh bagi orang modern tetapi itu adalah perayaan atas hidup seseorang. Orang yang sudah meninggal tidak akan pernah dilupakan. Untuk generasi yang akan datang, wajah nenek moyangnya akan berada di rumah, mengawasi keluarga yang masih hidup.
Simak kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan di majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR