Nationalgeographic.co.id—Jika Anda mengendarai mobil tercepat di dunia, atau naik kereta dengan kecepatan tinggi, seperti apa pemandangan di luar sana dari jendela? Terlihat kabur--bergerak ke belakang Anda (atau ke depan, tergantung posisi duduk Anda ke mana menghadap). Semakin cepat Anda bergerak, semakin tidak jelas pemandangan di luar jendela.
Begitu juga memotret dengan kamera dengan mengatur shutter yang rendah, objek bergerak di dekat Anda jadi kabur. Hanya cahaya tak berbentuk objek yang bisa ditangkap kamera Anda.
Pernahkah Anda membayangkan, seperti apa jika kita bisa bergerak melebihi kecepatan cahaya? Secara teori fisika yang dicetuskan oleh fisikawan Albert Einstein, kita tidak bisa. Lebih cepat darinya, kita akan mengalami masalah pembalikan waktu.
Pendapat itu ditegaskan oleh fisikawan teoritis Stephen Hawking lewat bukunya Sejarah Singkat Waktu (A Brief History of Time). Dia menulis "Teori itu (relativitas khusus) juga memberi tahu kita bahwa tak ada yang bisa bergerak lebih cepat daripada cahaya."
Dia membuat gambaran kerucut waktu, ruang, dan cahaya. Hanya ada di dalam kerucut cahaya, kita bisa bergerak untuk kecepatan waktu. Semakin besar kecepatan yang kita buat, jangkauan ruang (atau jarak) yang bisa dijangkau bisa lebih luas. Akan tetapi, kita tidak bisa melampaui kecepatan cahaya.
"Artinya jalur benda apa pun melalui ruang dan waktu harus diwakili oleh garis yang berada di dalam kerucut cahaya pada tiap peristiwa," tulisnya.
Apabila suatu materi memaksa melewati kecepatan cahaya dapat menimbulkan kesalahan fisika. Menurutnya, ruang dan waktu itu sendiri tak memiliki aturan seperti kecepatan cahaya, sebab jangkauan jauh semesta raya terbentang jauh lebih cepat dari yang bisa diharapkan untuk menyamakannya.
Pandangan itu, secara penjabaran, masih bentuk teori. Artinya, mungkin masih bisa dipecahkan oleh kajian ilmiah fisika di masa mendatang. Sebab, untuk bisa menghasilkan kecepatan yang melebihi cahaya, mungkin membutuhkan daya atau energi yang lebih besar, menurut Hawking.
Bayangkan saja, untuk bisa berlari kencang di lomba balap lari, dalam posisi sebelum wasit menembakkan pistol ke udara tanda memulai perlombaan, pelari harus mengumpulkan daya di tumpuan start. Energi yang dikumpulkan juga berasal dari makanan yang mereka makan. Energi dan daya ini yang harus dipikirkan untuk bisa menembus kecepatan cahaya.
Usaha mencari cara melampaui kecepatan cahaya
Tahun 2021, fisikawan Göttingen University Erik Lentz menawarkan hipotesis yang mungkin kelak bisa dipakai untuk menembus kecepatan cahaya. Dia memandang, cara terbaik adalah dengan kelas tinggi soliton berkecepatan tinggi (hyper-class soliton).
Hyper-class soliton adalah sejenis gelombang dalam ilmu fisika dan matematika yang dapat mempertahankan bentuk dan energi sambil bergerak dengan cahaya konstan. Konsep soliton sebenarnya sudah digagasa oleh John Scott Russel tahun 1844, seorang ahli teknik.
Jika memiliki energi yang cukup, soliton dapat berfungsi sebagai 'gelembung warp' yang mampu bergerak secara superluminal, terang Lentz. Sehingga secara teoritis memungkinkan suatu objek melintasi ruang dan waktu dalam lindungan dari kekuatan pasang-surut ekstrim.
"Energi yang dibutuhkan untuk drive ini [supaya dapat] bepergian dengan kecepatan cahaya yang memuat pesawat ruang angkasa 100 meter dalam radius adalah pada urutan ratusan kali massa planet Jupiter," kata Lentz."Penghematan energi perlu drastis, sekitar 30 urutan besarnya dalam jangkauan reaktor fisi nuklir modern."
Anda bisa membaca hipotesis lainnya tentang perjalanan menembus kecepatan cahaya di sini.
Perspektif lain menembus kecepatan cahaya
Desember 2022, sebuah penelitian di jurnal Classical and Quantum Gravity berjudul "Relativity of superluminal observers in 1 + 3 spacetime" terbit. Penelitian ini menghasilkan "perpanjangan relativitas khusus" yang menggabungkan tiga dimensi waktu dengan satu dimensi ruang--sesuai judulnya 1+3 ruang-waktu. Pemahaman ini berlawanan dengan tiga dimensi ruang dan dimensi satu waktu yang selama ini kita ketahui.
Studi ini menambahkan lebih banyak bukti bahwa objek mungkin bisa bergerak lebih cepat dari cahaya. Bahkan, jika berhasil, dia tidak akan melanggar hukum fisika yang kita kenal hari ini.
"Tidak ada alasan mendasar mengapa pengamat yang bergerak dalam kaitannya dengan sistem fisik yang dijelaskan dengan kecepatan lebih besar dari kecepatan cahaya tidak boleh tunduk padanya," kata penulis pertama studi Andrzej Dragan, dari University of Warsaw di Polandia, dikutip dari Phys.
Penelitian ini melanjutkan pandangan terkait perspektif superluminal yang dapat membantu menyatukan mekanika kuantum dengan teori relativitas khusus Einstein. Superluminal adalah gerakan yang seolah lebih cepat daripada cahaya. Setiap materi yang punya benda seperti ini terdapat lubang hitam yang berfungsi sebagai pengeluaran massa dengan kecepatan tinggi.
Lewat kerangka pemeikiran ini, partikel tidak lagi dimodelkan sebagai objek mirip titik. Alih-alih, untuk memahami apa yang mungkin dilihat oleh pengamat dan bagaimana partikel superluminal berperilaku, kita perlu beralih ke jenis teori medan yang mendukung fisika kuantum.
Baca Juga: Dua Studi Baru: Mungkin Kita Bisa Menjelajah Lebih Cepat dari Cahaya
Baca Juga: Hubble Mendeteksi 'Cahaya Hantu' yang Mengelilingi Tata Surya Kita
Baca Juga: Sains Terbaru: Distorsi Cahaya Sebenarnya Hanyalah Soal Perspektif
Baca Juga: Apakah Perjalanan Waktu Mungkin Dilakukan atau Hanya Fiksi Ilmiah?
"Definisi baru ini mempertahankan dalil Einstein tentang keteguhan kecepatan cahaya dalam ruang hampa bahkan untuk pengamat superluminal," kata lanjut Dragan. "Makanya, relativitas khusus kita yang diperluas sepertinya bukan ide yang luar biasa."
Masalahnya, peralihan ke model ruang-waktu 1+3 ini menimbulkan pertanyaan baru. Perlu untuk memperluas teori relativitas khusus untuk menggabungkan kerangka acuan yang lebih cepat dari cahaya. Caranya mungkin harus melibatkan peminjaman dari teori medan kuantum yang menggabungkan beberapa konsep dan teori, termasuk teori medan klasik.
"Bagi seorang pengamat superluminal, partikel titik klasik Newtonian tidak lagi masuk akal, dan medan menjadi satu-satunya besaran yang dapat digunakan untuk menggambarkan dunia fisik," ujar Dragan.
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Source | : | phys.org,National Geographic Indonesia,IOP Science |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR