Nationalgeographic.co.id - Kekaisaran Xiongnu menjadi salah satu kekuatan politik terkuat di Asia pada Zaman Besi. Muncul di stepa Mongolia 1.500 tahun sebelum bangsa Mongol, Xiongnu memperluas pengaruhnya dari Mesir, Roma hingga Imperial Tiongkok. Lama tersembunyi dalam bayang-bayang sejarah, Kekaisaran Xiongnu memang tidak setenar Kekaisaran Mongol. Sebuah penggalian arkeologi dan analisis DNA mengungkapkan bahwa kekaisaran nomaden pertama ini merupakan kekaisaran yang multietnik.
Tersembunyi dalam bayang-bayang sejarah
Berlandaskan ekonomi pada peternakan sapi perah, Xiongnu dikenal sebagai kekaisaran nomaden yang membangun kekaisaran di atas punggung kuda. Kemahiran dalam perang berkuda menjadikan mereka musuh yang cepat dan tangguh.
“Konflik legendaris mereka dengan Kekaisaran Tiongkok mendorong pembangunan Tembok Besar Tiongkok,” tulis Conny Waters di laman Ancient Pages.
Namun, tidak seperti Kekaisaran Tiongkok atau Mongol, Xiongnu tidak pernah mengembangkan sistem penulisan. Akibatnya catatan sejarah tentang Xiongnu hampir seluruhnya ditulis dan diwariskan oleh saingan dan musuh mereka.
Kisah-kisah Xiongnu memberikan sedikit informasi berguna tentang asal-usul, kebangkitan politik, atau organisasi sosial mereka. Dan sebagian besar catatan sejarah dicatat oleh penulis sejarah Dinasti Han.
Studi archaeogenetic melacak asal-usul Xiongnu sebagai entitas politik hingga migrasi mendadak dan percampuran kelompok nomaden lain di Mongolia utara. Namun temuan itu menimbulkan banyak pertanyaan di benak peneliti.
Untuk lebih memahami cara kerja kekaisaran Xiongnu yang tampaknya penuh teka-teki, tim peneliti melakukan penyelidikan genetik mendalam. Dua makam elite Kekaisaran Xiongnu di sepanjang perbatasan barat kekaisaran pun digali, di Takhiltyn Khotgor dan Shombuuzyn Belchir.
“Kami tahu bahwa Xiongnu memiliki tingkat keragaman genetik yang tinggi. Namun karena kurangnya data genom skala komunitas, masih belum jelas bagaimana keragaman ini muncul. Apakah dari tambal sulam heterogen komunitas lokal yang homogen atau apakah komunitas lokal itu sendiri beragam secara genetik,” jelas Juhyeon Lee, penulis studi.
Tim peneliti mencari tahu bagaimana keragaman genetik tersebut disusun pada skala sosial dan politik yang berbeda. Serta dalam kaitannya dengan kekuasaan, kekayaan, dan gender.
Munculnya kekaisaran multietnis
Para peneliti menemukan bahwa individu-individu di dalam dua makam menunjukkan keragaman genetik yang sangat tinggi. Keragaman di dua makam itu sebanding dengan yang ditemukan di seluruh Kekaisaran Xiongnu secara keseluruhan.
Keragaman dan heterogenitas genetik yang tinggi hadir di semua tingkatan—dari kekaisaran hingga keluarga—menegaskan karakterisasi Kekaisaran Xiongnu sebagai kekaisaran multietnik. Namun, banyak dari keragaman ini dikelompokkan berdasarkan status.
Individu dengan status terendah menunjukkan keragaman genetik dan heterogenitas tertinggi. Itu menunjukkan bahwa individu tersebut berasal dari bagian yang jauh dari Kekaisaran Xiongnu.
Sebaliknya, elite lokal dan aristokrat menunjukkan keragaman genetik keseluruhan yang lebih rendah. Mereka menyimpan proporsi leluhur Eurasia timur yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa status dan kekuasaan elite terkonsentrasi di antara himpunan bagian genetik tertentu dari populasi Xiongnu.
Namun demikian, bahkan keluarga elite tampaknya telah menggunakan pernikahan untuk mempererat ikatan dengan kelompok yang baru dibentuk. Terutama di Shombuuzyn Belchir.
“Kami sekarang memiliki gagasan yang lebih baik tentang bagaimana Xiongnu memperluas kekaisarannya. Yaitu dengan menggabungkan kelompok-kelompok yang berbeda dan memanfaatkan pernikahan dan kekerabatan ke dalam pembangunan kekaisaran,” kata penulis senior dalam penelitian, Dr. Choongwon Jeong.
Wanita kuat di masyarakat Xiongnu
Temuan penting kedua adalah bahwa penguburan Xiongnu berstatus tinggi dan barang kuburan elite dikaitkan secara tidak proporsional dengan wanita. Ini menguatkan bukti bahwa wanita Xiongnu memainkan peran politik yang sangat menonjol. Wanita Xiongnu turut berperan dalam perluasan dan integrasi wilayah baru di sepanjang perbatasan kekaisaran.
Di pemakaman elite aristokrat Takhiltyn Khotgor, para peneliti menemukan bahwa makam elite monumental dibangun untuk wanita. Setiap wanita terkemuka diapit oleh sejumlah pria biasa yang dimakamkan di kuburan sederhana. Para wanita dimakamkan di peti mati yang rumit dengan lambang matahari dan bulan emas. Makam lain bahkan berisi enam kuda dan sebagian kereta.
Di permakaman elite lokal terdekat Shombuuzyn Belchir, wanita juga menempati kuburan termewah dan paling rumit. Makam itu dilengkapi dengan barang-barang kuburan. Benda-benda tersebut dan simbolisme mereka menyampaikan kekuatan politik yang besar dari perempuan.
“Wanita memiliki kekuatan besar sebagai agen penting di kekaisaran Xiongnu. Mereka memegang pangkat bangsawan eksklusif, mempertahankan tradisi Xiongnu, dan terlibat dalam politik kekuasaan stepa. Wanita Xiongnu bahkan terlibat dalam jaringan pertukaran Jalur Sutra,” kata Dr. Bryan Miller, dari University of Michigan.
Anak-anak di masyarakat Xiongnu
Analisis genetik juga memberikan wawasan langka tentang peran sosial anak-anak dalam masyarakat Xiongnu.
“Anak-anak menerima perawatan kamar mayat yang berbeda tergantung pada usia dan jenis kelamin. Ini memberikan petunjuk tentang usia di mana jenis kelamin dan status dianggap berasal dari masyarakat Xiongnu,” kata penulis senior Dr. Christina Warinner.
Baca Juga: Etnis Avar yang Jadi Faktor Kejatuhan Romawi Berasal dari Asia Timur
Baca Juga: Kubilai Khan, Kaisar Tiongkok Pertama yang Berasal dari Suku Nomaden
Baca Juga: Membuka Yassa: Kitab Undang-Undang Genghis Khan yang Menakjubkan
Remaja laki-laki Xiongnu berusia 11-12 tahun dikubur dengan busur dan anak panah, mirip dengan laki-laki dewasa. Namun anak laki-laki yang lebih muda tidak. Hal ini menunjukkan bahwa peran sosial gender dari pemburu dan pejuang baru dimulai saat remaja.
Warisan Xiongnu
Kekaisaran Xiongnu berakhir pada akhir abad ke-1 Masehi. Namun temuan penelitian menunjukkan bahwa warisan sosial dan budaya Xiongnu yang bertahan lama.
“Tradisi nomaden putri elite yang telah lama memainkan peran penting dalam kehidupan politik dan ekonomi kekaisaran, terutama di daerah pinggiran. Itu adalah sebuah tradisi yang dimulai oleh Xiongnu dan berlanjut lebih dari seribu tahun kemudian di bawah Kekaisaran Mongol,” kata Dr. Jamsranjav Bayarsaikhan, arkeolog proyek.
Sementara sejarah kadang-kadang menganggap kekaisaran nomaden rapuh dan berusia pendek, tradisi kuat mereka tidak pernah musnah.
Sebagai kekaisaran nomaden pertama di stepa Mongolia, tidak banyak yang diketahui dari Xiongnu. Penelitian ini mengungkap beberapa fakta penting soal Xiongnu, mulai dari politik, multietnik, hingga peran wanita di kekaisaran.
Source | : | Ancient Pages |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR