Nationalgeographic.co.id ― Di Barat, Edward Jenner disebut sebagai bapak imunologi. Dia bersama John Fewster pada akhir abad ke-18 menguji pembuatan vaksin untuk cacar. Makalah ilmiah tentang vaksinasi itu kemudian dipublikasikan pada tahun 1798 bertajuk "An inquiry into the causes and effects of the variolae vaccinae".
Untuk membuat vaksin, virus dilemahkan. Ketika vaksin disuntikkan ke dalam tubuh manusia, imun mempelajari cara menangkal virus. Pada akhirnya, daya tahan manusia bisa tercegah dari infeksi virus yang menyakitkan.
Jika menengok kembali pada apa yang dikerjakan Jenner, penelitian ini melibatkan metode inokulasi. Inokulasi rupanya telah dikenal dalam pengobatan Asia dan Afrika, yakni dengan dengan sengaja menanamkan patogen, mikroba, atau virus kepada seseorang untuk menciptakan kekebalan buatan dari penyakit menular.
Metode ini kemudian dipopulerkan di Eropa oleh penulis dan penyair Lady Mary Wortley Montagu. Dia adalah penulis dan penyair Inggris yang juga istri duta besar Inggris untuk Kekaisaran Ottoman.
Dia menyaksikan metode penyembuhan inokulasi di Konstantinopel tahun 1717 dalam catatan perjalanannya dalam "Turkish Embassy Letters". Saat surat ini tiba di Inggris, rupanya prosedur ini dijalankan di berbagai tempat di seluruh dunia.
Sebelumnya, salah satu warga Kekaisaran Ottoman di Konstantinopel Emmanuel Timmonius, telah menjelaskan metode ini di Inggris tahun 1714. Cara pengobatan ini, menurut Timmonius, diterapkan pada orang Sirkasia, Georgia, dan orang Asia lainnya, termasuk orang Turki lainnya di Konstantinopel.
Meliihat kemanjuran metode ini, Lady Montagu pun menerapkan variolasi (sebutan lain untuk inokulasi) pada putaranya di Kekaisaran Ottoman, tidak lama setelah ia membuat laporan. Di Inggris, Lady Montagu juga menerapkannya pada putrinya tahun 1721.
"Prosedur ini awalnya mendapat banyak penolakan—sedemikian rupa sehingga variolasi eksperimental pertama di Inggris (termasuk tantangan cacar berikutnya) dilakukan pada narapidana yang dijanjikan bebas jika selamat," terang Alexandra Flemming, Editor in Chief Nature Reviews Immunology.
"Namun demikian, prosedurnya bukannya tanpa bahaya dan variolator terkemuka Inggris berikutnya merancang teknik yang berbeda (sering dirahasiakan) untuk meningkatkan variolasi, sebelum digantikan oleh 'vaksinasi' cacar sapi yang jauh lebih aman seperti yang dijelaskan oleh Jenner," lanjutnya di Nature.
Melansir Daily Sabah, cacar disebut sebagai "monster berbintik" di Barat pada abad ke-18. Wabah telah membuat banyak kematian di Eropa. Orang-orang Barat sebagian lebih memilih untuk berobat di Timur seperti Kekaisaran Ottoman, yang dikenal maju bidang ilmu kesehatannya. Mereka juga telah mengetahui bahwa teknik yang diterapkan adalah inokulasi.
Berdasarkan keterangan Lady Montagu, prosedur 'variolasi' di Kekaisaran Ottoman ini melibatkan pemberian keropeng cacar bubuk atau cairan yang diambil dari pustula (benjolan kecil berisi nanah yang tumbuh di lapisan kulit) seseorang yang terkena cacar.
Setelah itu, bubuk atau cairan ini diberikan dengan pengolesan melalui jarum pada lapisan lemak di antara kulit dan otot (subkutan) pada lengan atau kaki. Subkutan ini diberikan kepada orang yang belum terinfeksi dan masih sehat. Orang yang sehat akan terinfeksi sebagai efek samping, tetapi akan berkurang secara signifikan dan kebal.
Metode inokulasi ini sebenarnya tidak benar-benar murni dari Kekaisaran Turki. Metode ini sebenarnya sudah sangat primitif dalam peradaban manusia, hanya saja terlupakan dari catatan perawatan kesehatan di Eropa.
Di Afrika, tepatnya di Liberia selatan, ternyata punya metode yang sama, menurut Cotton Maher, seorang pendeta dari Boston, ketika melakukan pelayanan di sana. Wales juga sudah mengenal metode ini sejak tahun 1600-an, menurut Perrot Williams dan Richard Wright, dua dokter Wales. Mereka semua lekas memberi laporan ini ketika catatan Lady Montagu jadi bahan pembicaraan.
Baca Juga: Tabib Kekaisaran Ottoman Temukan Vaksin Cacar Lebih Dulu dari Eropa
Baca Juga: Seberapa Cepat Kekebalan COVID-19 pada Penerima Vaksin Memudar?
Baca Juga: Ilmuwan Bingung, Mengapa Efek Vaksin Pada Setiap Orang Berbeda-beda
Baca Juga: Singkap Sejarah Kerja Sama Kesultanan Aceh dengan Kekaisaran Ottoman
Tahun 1786, dokter Inggris Patrick Russell membuat hasil penyelidikan asal-usul inokulasi ini saat sedang di Aleppo, kota di Suriah hari ini. Saat itu, Aleppo berada di bawah Kekaisaran Ottoman. Russell melibatkan bantuan penyelidikan ini dari berbagai sejarawan dan dokter.
Ada dua tempat kemungkinan tempat asal metode inokulasi menurut Russell, yakni India dan Tiongkok. Di Tiongkok, inokulasi lebih seperti praktik 'insuflasi'—meniup bahan cacar ke dalam hidung—yang diperkirakan sudah ada sejak 1500-an.
"Namun, ada klaim bahwa inokulasi ditemukan sekitar 1000 M oleh seorang biarawan dan biarawati Tao atau Buddha dan dipraktekkan sebagai campuran obat, sihir dan mantra, ditutupi oleh tabu, sehingga tidak pernah ditulis," terang Flemming.
Sementara di India, punya kemiripan dengan Kekaisaran Ottoman. Russell mengungkapkan bahwa praktik inokulasi yang menggunakan jarum ada di Benggala (sekitar Bangladesh hari ini). Praktik ini diperkirakan sudah dilakukan ratusan tahun sebelumnya. Klaim lainnya di India, praktik ini dijelaskan dalam teks Sansekerta kuno dari ribuan tahun sebelumnya, tetapi masih diperdebatkan.
Entah mana yang terlebih dulu, pengetahuan inokulasi telah berkembang menjadi vaksinasi. Tidak heran jika Kekaisaran Ottoman telah mengenal dan memengaruhi pengobatan Eropa pada masanya, karena letaknya sebagai 'kiblat' kemajuan pada masanya. Setidaknya, pengetahuan ini telah menyelamatkan manusia dari berbagai wabah di sepanjang peradabannya.
Source | : | Nature,Daily Sabah |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR