Nationalgeographic.co.id—Lupercalia, sebuah festival dalam sejarah Romawi kuno yang didedikasikan untuk Lupercus, dewa penggembala. Perayaan ini bertujuan untuk meningkatkan kesuburan dan mengusir roh jahat.
Ritual Lupercalia melibatkan pengorbanan hewan, wanita rela dipukul dengan tali yang terbuat dari kulit binatang dalam sejarah Romawi kuno.
Festival Lupercalia adalah salah satu yang tertua di Roma kuno, diyakini didirikan sebelum kota itu sendiri. Festival ini awalnya merupakan ritual peralihan bagi para pemuda dan perayaan kesuburan, yang ditujukan untuk ternak dan manusia.
Festival Lupercalia diadakan pada tanggal 15 Februari, di tengah bulan yang namanya diambil dari ritual pembersihan musim semi Romawi di bulan Februari.
Arti penting tanggal tersebut diperkirakan terkait dengan kalender pertanian, yang menandai saat tanda-tanda awal musim semi mulai muncul dan saat para petani bersiap menyambut musim tanam baru.
Festival ini dirayakan terutama di Bukit Palatine, salah satu dari Tujuh Bukit Roma, tempat pendiri kota yang legendaris, Romulus dan Remus, konon disusui oleh serigala betina di Gua Lupercal.
Hubungan mitologis ini memberi festival ini aura kesakralan dan makna sejarah. Seiring berjalannya waktu, Lupercalia berkembang tidak hanya mencakup masyarakat pedesaan tetapi juga elit perkotaan.
Festival Lupercalia semakin terkenal pada era Republik Romawi dan berlanjut hingga zaman Kekaisaran Romawi.
Inti dari mitologi festival ini adalah Romulus dan Remus, saudara kembar legendaris yang konon mendirikan Roma. Menurut legenda, mereka ditinggalkan saat masih bayi dan dibiarkan mati di tepi sungai Tiber namun secara ajaib diselamatkan dan dipelihara oleh serigala betina di Gua Lupercal di Bukit Palatine.
Gua ini menjadi situs suci dan titik fokus festival Lupercalia, melambangkan keliaran alam dan aspek feminitas yang memelihara.
Dewa yang paling dekat hubungannya dengan Lupercalia adalah Lupercus, sering kali diidentikkan dengan dewa Faunus atau Pan yang lebih terkenal.
Lupercus adalah dewa penggembala dan diyakini melindungi dari serigala dan bahaya lain yang mengancam kawanan ternak.
Ritual festival ini bertujuan untuk memohon berkah bagi kesuburan dan kemakmuran, tidak hanya bagi hewan ternak tetapi juga bagi masyarakat Roma.
Luperci, pendeta yang didedikasikan untuk Lupercus, memainkan peran sentral dalam ritual ini, mewujudkan sifat ganda dewa sebagai liar dan mengasuh.
Dengan cara ini, Lupercalia bukan hanya cerminan norma-norma masyarakat dan praktik keagamaan. Festival ini menjadi perayaan asal usul Roma yang legendaris, penghormatan kepada pelindung ilahi, dan ritual yang mengikat para partisipannya dalam sejarah.
Ritual Aneh yang Diadakan selama Festival
Festival ini dimulai dengan pengorbanan kambing dan terkadang anjing di Gua Lupercal di Bukit Palatine. Hewan-hewan ini dipilih karena asosiasi simbolisnya dengan kesuburan dan perlindungan.
Luperci, pendeta yang dipersembahkan kepada dewa Lupercus, kemudian menguliti hewan kurban dan memotong kulitnya menjadi tali panjang.
Hanya dengan mengenakan cawat yang terbuat dari kulit hewan kurban, suku Luperci memulai ritual lari mengelilingi Bukit Palatine.
Bukan lari biasa, saat mereka berlari, mereka akan menyerang penonton terutama perempuan, dengan celana dalam yang mereka bawa. Jauh dari tindakan agresi, ini adalah bagian festival yang sangat dinantikan.
Wanita akan memposisikan diri mereka di sepanjang rute tersebut. Mereka percaya bahwa pukulan akan meningkatkan kesuburan dan meringankan rasa sakit saat melahirkan.
Tindakan berlari itu sendiri bersifat simbolis, dianggap dapat menyucikan tanah dan manusia, mengusir roh jahat dan kemalangan.
Setelah lari, sering diadakan pesta komunal, di mana para peserta akan berbagi daging hewan kurban, yang selanjutnya mengikat komunitas dalam pengalaman keagamaan bersama. Ritual tersebut memiliki fungsi sosial, memperkuat ikatan komunal dan hierarki sosial.
Partisipasi tokoh-tokoh penting seperti Julius Caesar dan Mark Antony dalam berbagai kapasitas menggarisbawahi pentingnya festival ini bagi kehidupan keagamaan dan politik Roma.
Mengapa Festival Lupercalia Berakhir?
Pada akhir abad ke-5 M, Gereja Kristen telah memperoleh pengaruh yang signifikan, dan banyak festival pagan, termasuk Lupercalia, mendapat sorotan karena dianggap tidak sesuai dengan doktrin Kristen.
Paus Gelasius I secara resmi melarang festival tersebut sekitar tahun 494 M, dan mengutuknya sebagai praktik pagan yang tidak mendapat tempat dalam masyarakat Kristen.
Penindasan terhadap Lupercalia merupakan simbol dari pergeseran budaya dan agama yang lebih besar yang terjadi, seiring transisi Roma dari masyarakat politeistik yang berakar kuat pada ritual tradisional menjadi masyarakat monoteistik yang dipandu oleh prinsip-prinsip Kristen.
Selain itu, perlakuan terhadap perempuan di Lupercalia dianggap tidak dapat diterima oleh para pemimpin gereja.
Meskipun jelas bahwa perempuan berpartisipasi dalam festival dengan memposisikan diri mereka untuk dipukul selama ritual berlangsung, penafsiran atas tindakan ini berbeda-beda.
Beberapa orang melihatnya sebagai bentuk penaklukan, sebuah ritual penguatan norma-norma patriarki.
Yang lain berpendapat bahwa ini adalah kesempatan langka bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan keagamaan publik, dan rela melakukan mogok kerja sebagai bentuk berkah ilahi bagi kesuburan.
Namun, warisan Lupercalia terbukti sangat bertahan lama. Meskipun festival itu sendiri mungkin telah ditiadakan, tema kesuburan, pembaruan, dan komunitas tidak sepenuhnya hilang.
Beberapa ahli berpendapat bahwa unsur Lupercalia diserap ke dalam perayaan Hari Valentine umat Kristiani, meskipun hubungan ini masih menjadi bahan perdebatan.
Fokus festival ini pada kesuburan dan cinta, serta waktunya pada pertengahan Februari. Hal ini pun membuat banyak orang untuk menyamakan kedua perayaan tersebut, meskipun bukti pastinya masih sulit dipahami.
Membedah Target Ambisius Mozambik Memaksimalkan Potensi 'Blue Carbon' Pesisirnya
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR