Nationalgeographic.co.id—Manusia modern mencapai Australia sekitar 65.000 tahun silam. Mereka melewati kepulauan Indonesia yang saat itu sebagian kawasannya adalah daratan besar yang terhubung dengan benua Asia. Dengan demikian, leluhur kita mungkin telah bermukim lama di berbagai pulau di Indonesia.
Akan tetapi, jauh sebelum kedatangan manusia modern, kepulauan Asia Tenggara telah dihuni oleh berbagai spesies manusia purba.
Salah satunya adalah Homo floresiensis yang terkenal karena ukaran kecilnya. Mereka telah hadir di Flores antara lebih dari 100 ribu hingga 60.000 tahun yang lalu. Tentunya, manusia modern yang bermigrasi pernah berjumpa atau hidup berdampingan dengan mereka, setidaknya di beberapa generasi terakhir.
Bagaimanapun, Homo floresiensis hari ini telah punah. Penyebabnya kemungkinan karena ketidakmampuan beradaptasi dengan lingkungan sekitar atau pembantaian yang dilakukan oleh leluhur kita.
Kerangkanya ditemukan di Liang Bua, gua terpencil di pedalaman Flores. Ukurannya yang mungil membuat para arkeolog menghubungkannya dengan Hobbit, ras manusia kecil dalam karya fiksi J.R.R. Tolkien. Penyematan Hobbit ini berhubung dengan penemuannya pada 2003, bertepatan dengan film Lord of the Rings yang sedang tayang di bioskop.
Akan tetapi, alih-alih menghubungkan Homo floresiensis dengan makhluk fiksi populer dari sastrawan Barat, sebenarnya masyarakat Flores menyimpan mitologi. Mitologi Flores menyebut terdapat makhluk kecil yang tinggal di hutan dan berbulu yang disebut sebagai Ebu Gogo.
Makhluk yang dijabarkan oleh masyarakat Flores ini mungkin menunjukkan tentang Homo floresiensis yang telah punah. Meski demikian, selama berpuluh-puluh tahun penelitian, terdapat berbagai pendapat megnenai Ebu Gogo dan hubungannya Homo floresiensis.
Secara fisik, dalam mitologi Flores, Ebu Gogo memiliki kemiripan dengan Homo floresiensis. Makhluk ini berbulu, mungil, dan memakan segalanya, termasuk manusia. Hal ini membuat masyarakat harus waspada akan serangan makhluk ini.
Salah satu yang menghubungkan Ebu Gogo dan Homo floresiensis adalah peneliti Australia Richard Roberts yang juga menemukan kerangka. Dalam tulisannya di Telegraph.co.uk pada 2004, mengatakan bahwa Ebu Gogo suka menyerbu hasil panen masyarakat dan memakan bayi manusia.
Masyarakat di Flores bercerita kepada Roberts bahwa masyarakat sempat mengejar Ebu Gogo yang tinggal di gua kaki gunung di atas tebing. Masyarakat melempar tumpukan rumput yang terbarka, membuat Ebu Gogo keluar dan kabur "menuju ke barat, ke arah Liang Bua, tempat kami menemukan Hobbit".
Roberts melanjutkan "detail dalam legenda juga sama menariknya. Merkea dicitrakan dengan tinggi sekitar satu meter, berambu panjang, perut buncit, teling sedikit menonjol, gaya jalan agak canggung, serta lengan dan jari yang panjang--keduanya dikonfirmasi oleh temuan kami[...]"
"Kami bertanya kepada penduduk desa apakah mereka pernah kawin dengan Ebu Gogo. Mereka membantah keras hal tersebut," ungkap Roberts.
Adapun temuan antropolog Gregory Forth yang bertahun-tahun hidup di pegunungan tengah Flores bersama masyarakat Lio pada 1990-an dan 2000-an. Dia mendengar berbagai cerita tentang manusia kera kecil yang menempati gua Lia Ula dan ditulis di buku bertajuk Between Ape and Human: An Anthropologist on the Trail of a Hidden Hominoid.
Orang Lio bercerita pada Forth, Ebu Gogo sekarang sudah tidak ada lagi karena dibunuh oleh masyarakat 'Ua sekitar 200 tahun yang lalu. Namun, sebagian orang tidak sependapat dan yakin bahwa Ebu Gogo masih tinggal di gua-gua dan hutan terdekat. Akan tetapi, ketika hendak dibuktikan oleh Forth, tidak ada satupun dari mitologi Flores ini muncul.
Ebu Gogo mungkin bukan manusia katai Flores
Meski pemaparan Roberts dan Forth sangat menarik, tidak jarang cerita tentang kertekaitan Ebu Gogo dan Homo floresiensis disangsikan ilmuwan lain. Paige Madison dari Institute of Human Origins at Arizona State University berpendapat bahwa tidak ada hubungannya antara keduanya.
"Namun, legenda [tentang Ebu Gogo] tersebut dilihat dari sudut pandang yang sama sekali baru, ketika tulang belulang kerabat manusia yang sama kecilnya dan sebelumnya tidak diketahui ditemukan jauh di dalam gua di pulau yang sama," Madison berpendapat di Aeon.
"Sejak awal, terdapat hubungan lemah dalam dugaan hubungan antara tulang prasejarah dan legenda mitos," lanjut Madison.
Madison sangsi dengan hubungan mitologi Flores dan manusia katai di Liang Bua. Pasalnya, mitologi tersebut berasal dari wilayah yang berbeda secara kebudayaan di Flores. Cerita Ebu Gogo berasal adari masyarakat suku Nage yang tinggal di Flores tengah, tepaut lebih dari 100 kilometer dari Liang Bua.
"Gua Hobbit malah menjadi rumah bagi masyarakat yang berbeda secara budaya dan bahasa yang dikenal sebagai Manggarai. Meskipun tidak dapat dibayangkan bahwa H. floresiensis dapat berkeliaran di wilayah ini, terdapat kecurigaan bahwa Ebu Gogo bukanlah tuturan orang Manggarai," terangnya.
Madison berpendapat, cerita tentang orang mungil yang tinggal di hutan bukan hanya ada di Flores. Seluruh Indonesia memiliki mitologi tentang makhluk ini yang kemungkinan berhubungan dengan primata lainnya seperti orangutan sebagai "orang dari hutan" oleh masyarakat di Sumatra.
"Meskipun Flores tidak memiliki orangutan, namun terdapat banyak monyet ekor panjang," lanjutnya. Kemungkinan besar, Ebu Gogo berhubungan dengan primata-primata non-manusia lain yang pernah bersitegang dengan masyarakat.
"Bukti ilmiah baru juga membuat hubungan ini semakin tidak masuk akal, terutama revisi penanggalan yang menyebabkan hilangnya para Hobbit hampir 50.000 tahun yang lalu," lanjut Madison. "Bagi para ahli, Ebu Gogo sama nyatanya dengan dongeng peri gigi."
Homo floresiensis tidak hidup seprimitif legenda Ebu Gogo. Berdasarkan analisis paleoantropologi, terang Madison, Homo floresiensis memiliki kehidupan yang rumit. Lingkungan di masa lalu juga lebih berbeda dari hari ini yang mendukung campur aduk evolusi, migrasi tak terduga, dan kehidupan di meda lain yang penuh kejutan.
Source | : | Telegraph.co.uk,National Geographic Indonesia,Aeon |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR