Nationalgeographic.co.id—Ganja selalu menjadi pembahasan antara khasiat pengobatan dan narkotika. Ada tiga spesies ganja yang paling dikenal: Cannabis sativa, C. indica, dan C. ruderalis. Semua jenis ganja diperkirakan berasal dari Asia. Pemanfaatannya pun dilakukan berbagai kebudayaan Asia, termasuk peradaban Islam.
Islam hari ini mengenal ganja sebagai jenis tanaman yang diharamkan. Walau tidak diharamkan dalam dalil Al-Qur'an, baik ulama Sunni dan Syiah merujuk pada penyalahgunaan ganja yang memabukkan dan membuat ketagihan. Berdasarkan keputusan ulama modern, ganja disamakan dengan khamr atau minuman keras, sehingga diharamkan.
Sejatinya, para ulama dan cendekiawan muslim awal membedakan ganja dari alkohol. Bangsa Arab tidak mengenal dan pemanfaatan ganja, sehingga tidak ada pula dalam hadis yang mencatut tentangnya.
Ketika ajaran Islam berkembang hingga Persia dan India, pemanfaatannya diadopsi. Kedua India dan Persia dikenal sudah memanfaatkan ganja sejak 1000 SM. Hal ini diungkap Gabriel Nahas dalam "Hashish in Islam 9th to 18th Century" (1982). Dalam peradaban Islam, ganja dimanfaatkan untuk medis dan kegiatan keagamaan.
Pengenalan dan pengetahuan ganja diperkirakan tersebar ke dunia Islam lewat pedagangan yang melintasi Jalur Sutra dari India, Persia, dan Asia Tengah. Wilayah ini dikenal sebagai asal ragam spesies ganja.
Pengembangan khasiat ganja oleh peradaban Islam dalam sejarah dunia
Sami Hamarneh dalam Pharmacy in Medieval Islam and the History of Drug Addiction dalam Medical History (1972) menyebut, ada banyak jenis pengobatan peradaban Islam yang berasal dari tanaman ganja.
Bagdad, ibukota Kekaisaran Abbasiyah, merupakan pusat pustaka sains, terutama bidang pengobatan pada abad kesembilan Masehi. Ada banyak universitas Islam dan para cendekiawan muslim yang menerjemahkan pengetahuan-pengetahuan kuno, baik dari Yunani maupun India. Sumber rujukan ini menyebutkan khasiat medis dari tanaman ganja.
Ibnu Sina, ahli pengobatan Islam yang paling dihormati di Barat, memasukkan ganja sebagai zat antiinflamasi dalam kitab Al-Qanun fi al-Tibb (Kanon Pengobatan). Ganja bisa digunakan untuk peradangan mata, edema, luka, nyeri, dan asam urat. Dia juga menekankan dosis dan metode yang tepat
Abu Bakar al-Razi (865–925), ahli botani dan pengobatan dari Persia era Abbasiyah, memanfaatkan daun ganja sebagai obat telinga, meresepkannya untuk mengatasi ketombe, dan perut kembung. Dia juga mencatut bahwa ganja berkhasiat untuk mengobati epilepsi.
Baca Juga: Kenapa Ganja Termasuk Jenis Narkotika Sementara Kecubung Tidak?
Namun, Al-Razi menekankan agar ganja tidak diresepkan secara berlebihan. Peringatan yang sama juga datang dari Ibnu Wahsyiyyah dalam Kitab al-Sumun (Buku tentang Racun) yang menyatakan bahwa ekstrak tumbuhan ini bisa menyebabkan kematian jika dicampur dengan obat lain.
Para cendekiawan peradaban Islam dalam sejarah dunia juga mencatat penggunaan ganja sebagai perangsang nafsu makan, terutama makanan manis, dan perangsang indra pendengaran. Di satu sisi, ganja diketahui dapat mematikan hasrat berhubungan seksual.
Menolak ganja
Meski ganja tersebar luas di masyarakat, tidak sedikit pemimpin politik menentangnya. Kekaisaran Ayyubiyah (1171–1260) dan Mamluk (1250–1517) di Mesir hanya memberikan sedikit reaksi tentang ganja, selama hanya dipakai oleh kelompok sufi yang dipandang menyimpang.
Akan tetapi, ungkap Nahas, konsumsi ganja oleh masyarakat tidak bisa dihindari. Di Mesir, Kekaisaran Ayyubiyah pernah menghancurkan semua tanaman ganja di Taman Kafur, tempat biasa pengguna ganja berkumpul di Kairo. Upaya ini tak berlangsung lama karena petani lokal ingin meningkatkan pendapatannya.
Berganti ke Kekaisaran Mamluk, Al-Zahir Babar (berkuasa 1266–1275), yang memimpin perang menghadapi Kekaisaran Mongol di Ain Jalut, Palestina, lebih keras lagi terhadap ganja. Babar adalah muslim yang taat dan keberatan terhadap penggunaan ganja.
Sang Sultan melarang total penanaman ganja dan anggur, baik budidaya maupun konsumsi. Upayanya ini merupakan perbaikan moral masyarakatnya, termasuk menutup kedai minuman, rumah bordil, dan tempat penjualan ganja dan anggur. Penerusnya cenderung lebih lunak dengan kebijakan yang lebih liberal, yakni menarik pajak cukai atas ganja dan anggur.
Sekte ganja dan assassin
Nahas mencatat, peradaban Islam dalam sejarah dunia menyebut ganja sebagai hasyisy (pelafalan Inggris: hashish) yang berartu rumput dalam bahasa Arab.
Dalam laporan Marco Polo, ganja berhubungan dengan berdirinya Hashashashin, atau yang dikenal Barat sebagai Assassin. Aliran ini berasal dari mazhab Ismailiyah yang didirikan oleh Hasan I Sabbah pada 1090.
Marco Polo menyebut, Hasan memberikan ganja kepada pengikutnya. Aliran ini diketahui sebagai kelompok militan semasa Perang Salib yang kerap membunuh pemimpin Arab dan Kristen Eropa pada abad ke-12.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Mengapa Catatan Perjalanan Marco Polo Dianggap Penting?
Sejarawan lain berpendapat, penggunaan ganja oleh aliran ini sebenarnya bukan perayaan, melainkan untuk mendukakan kawan atau anggota keluarga yang gugur.
Sufisme, paham menghabiskan waktu untuk dekat dengan Tuhan—seperti berpuasa, salat, meditasi, dan menghindari rayuan dunia—yang dalam sejarah Islam pun mengenal penggunaan ganja pada abad ke-12. Pelopornya adalah Syekh Haidar yang mendirikan mazhab Haidari ddari Khorasan (Persia, Asia Tengah, dan Afganistan).
Al Maqrizi (1442–1364), sejarawan Mesir dan kritikus sufi, Syekh Haidar mengadaptasi pengetahuan pendeta Hindu akan ganja dalam ajarannya.
Syekh Haidar mengatakan kepada murid-muridnya bahwa "Tuhan Yang Mahakuasa telah menganugerahkan kepada kalian dengan karunia istimewa tanaman ini (ganja)..." Ganja dinilai sebagai tanaman yang menghilangkan bayangan yang mengaburkan jiwa dan mencerahkan semangat.
Mengingat Al Maqrizi adalah kritikus, Nahas memperkirakan kisah tentang ulama sufi ini tidak benar. Meski demikian, penggunaan ganja dalam ibadah para sufi memang dilakukan. Penyebarannya dalam peradaban Islam ini meluas hingga ke Suriah dan Mesir.
Sampai saat ini beberapa penganut aliran sufi masih menggunakan ganja dalam pendekatan keagamaannya. Hal itu dicatut oleh Mark S. Ferrara dalam Sacred Bliss: A Spiritual History of Cannabis.
Ganja di Maroko
Maroko, kerajaan lama Islam di Afrika utara juga menjelaskan penggunaan ganja. Mereka menyebut ganja sebagai kif yang berarti kesenangan atau kesejahteraan dan berkonotasi dengan mimpi dan ekstasi.
Penggunaan ganja di Maroko tercatat oleh ahli botani Andalusia Ibnu Baitar (1197–1248). Dia menyebut, budidaya ganja tidak hanya di Mesir, melainkan di seluruh Afrika Utara hingga Maroko. Persebarannya kemungkinan mencapai Andalusia (Spanyol hari ini).
Sampai hari ini, ganja masih ditanam di Maroko modern. Kota Chefchaouen dan Ketama menjadi pusat pariwisata ganja selama beberapa dekade. Kelompok sufi yang menggunakan ganja dalam ritual pun banyak dilakukan di sini.
Pada Mei 2021, parlemen Maroko melegalisasi penggunaan ganja untuk medis, kosmetik, dan industri. Dengan demikian, Maroko adalah negara Islam modern pertama dalam sejarah dunia yang memperbolehkan penggunaan ganja.
Sudut Pandang Baru Peluang Bumi, Pameran Foto dan Infografis National Geographic Indonesia di JILF 2024
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR