Ambil contoh, "pada tahun 1830 areal sawah di daerah Sindanglaut yang menjadi perkebunan tebu, cukup luas, bahkan di Desa Ender, dibuka areal persawahan baru. Sebagian dari areal sawah itu digunakan untuk penanaman tebu," imbuh Sobana.
Tahun 1834, lahan sawah yang menjadi perkebunan tebu di Cheribon Timur seluas 1.300 bau—satuan luas lahan, setara dengan 7000-7400 meter persegi. Hal itu menyebabkan timbulnya perlawan dari para petani terhadap pihak pemerintah kolonial.
Pada gilirannya, pengalihan fungsi lahan pertanian telah dianggap melanggar prinsip-prinsip petani sehingga muncul gejolak akibat diberlakukannya sistem Tanam Paksa.
Meski demikian, antara Tanam Paksa dan Pelabuhan menjadi kunci dari geliat perekonomian Cheribon pada abad ke-19.
Selain Tanam Paksa yang jadi kunci, menurut Peter Post dalam bukunya he Kwee Family of Ciledug (2018) bahwa Cheribon juga memiliki komunitas Tionghoa atau Peranakan Cina yang besar pada saat itu, dan kebanyakan menganut Islam. Mereka jadi kunci dari geliat ekonomi Cheribon sejak lama.
Para pemimpin komunitas etnis Cina di Cheribon memiliki hubungan dekat dengan istana kesultanan Cirebon. Kota pelabuhan Cheribon sejak abad ke-15 telah menjalin hubungan dagang yang erat dengan Tiongkok selatan.
Setelahnya, menurut Sobana, ketika Tanam Paksa diterapkan di Cheribon, banyak etnis Cina yang turut mengelola perkebunan. Mereka jadi pesaing para pengelola onderneeming (perkebunan Belanda).
Peter Post juga menguatkan data, "seperti halnya di wilayah lain di Jawa, industri gula di Cheribon juga dirintis oleh pabrik gula asal Tiongkok."
Sebagai gambaran, selain beberapa pabrik gula Cina yang lebih kecil, pabrik gula modern Loewoenggadjah di distrik Sindang Laut juga dimiliki oleh konglomerat Cina, Tan Tiang Keng, yang juga memiliki pabrik Tjiledoek (Ciledug) di distrik yang sama.
Para etnis Cina sendiri memiliki struktural politiknya sendiri, di mana mereka memilih seorang kapitan sebagai pemimpin etnis dan turunannya atau peranakannya. Pada tahun 1848, Tan Tiang Keng sendiri diangkat sebagai pejabat tinggi Cina di Cheribon.
Menjadi perwira Cina merupakan jabatan penting dalam pemerintahan kolonial Belanda. Sistem perwira Cina (Chineesch Bestuur) diperkenalkan sejak era VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) pada tahun 1619.
Dua Pendaki Wanita Meninggal dalam Tragedi Puncak Cartenz Papua, Ini Profil dan Kronologinya
Source | : | Cirebon dalam Lima Zaman (2011) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR