Nationalgeographic.co.id—Mitolgi Yunani kuno seringkali menyimbolkan pengetahuan ilmiah akan alam semesta dalam wujud personifikasi. Begitu juga dengan unsur lapisan udara dari permukaan bumi ke langit yang diceritakan dalam mitologi Yunani kuno mempunyai pembagian tersendiri untuk siapa saja ia digunakan bernapas.
Dalam tingkatan yang paling atas, terdapat lapisan udara murni yang hanya dihirup oleh para dewa dan dalam personifikasinya menjadi dewa awal udara atas bernama Aether.
Aether adalah salah satu dewa awal yang berada satu golongan bersama Chaos (Kekosongan), Gaia (Bumi), Tartarus (Dunia Bawah), dan Eros (Cinta), dan sering dikaitkan dengan cahaya, surga, dan alam surgawi.
Aether dalam bahasa Yunani berarti udara segar dan murni. Orang Yunani kuno percaya bahwa hamparan langit biru cerah di atas bumi sebenarnya adalah kabut dari Aether.
Aether sering digambarkan sebagai perwujudan cahaya surgawi yang mengisi ruang antara Bumi dan alam para dewa di Olympus. Ia adalah atmosfer atas yang hanya dihirup oleh para dewa. Orang Yunani kuno percaya bahwa makhluk yang berbeda menghirup udara yang berbeda.
Warna biru cerah Aether menyelimuti bulan, bintang, matahari, awan, dan puncak gunung yang membentuk wilayah kekuasaan Aether.
Aether memiliki pasangan bernama Aethra yang diyakini sebagai ibu dari bulan, matahari, dan langit cerah. Kedua entitas tersebut digantikan oleh dewi Titan bernama Theia, dalam kisah-kisah selanjutnya.
Bangsa Yunani Kuno percaya bahwa dewa Uranus, yang merupakan personifikasi langit, adalah kubah padat yang menyelimuti seluruh Bumi, atau Gaia dan di dalam Langit, terdapat berbagai representasi udara.
Dewa Udara Awal dalam Mitologi Yunani Kuno
Dalam tradisi Yunani kuno, Aether adalah salah satu dari tiga dewa udara awal. Orang-orang zaman dahulu percaya bahwa cahaya terang dewa Aether memenuhi atmosfer antara Uranus dan kabut transparan dewa awal lainnya, Chaos.
Menurut penyair Yunani kuno Hesiod, yang merinci silsilah dewa-dewi Yunani, Chaos adalah makhluk pertama yang muncul di awal mula alam semesta.
Baca Juga: Erysichthon, Tokoh Mitologi Yunani yang Dikutuk Karena Merusak Alam
Beberapa dewa awal lainnya muncul dari jurang kekosongan menganga yang disebut Chaos. Mereka adalah Gaia (Bumi), Eros (Cinta), dan Tartarus (lubang suram di dasar alam semesta).
Chaos bukan hanya makhluk yang memicu terjadinya penciptaan, tetapi ia juga salah satu dewa udara awal. Chaos adalah dewa yang mewakili udara normal pada umumnya yang mengelilingi Bumi.
Oleh karena itu, Chaos merujuk pada udara yang dihirup oleh manusia. Gaia menciptakan kubah padat langit, Uranus, yang di dalamnya terdapat tiga bagian udara, yang masing-masing dihirup oleh makhluk yang berbeda.
Selain Chaos dan Aether, ada dewa Erebus yang merupakan personifikasi kegelapan. Kabut hitam pekat Erebus memenuhi bagian terendah dan terdalam Bumi. Kabut Erebus mengisi Dunia Bawah dan ruang di bawah Bumi.
Aether dalam Mitologi Yunani
Berbeda dengan personifikasi sifat manusia yang menjadi ciri para dewa dan dewi generasi selanjutnya, Olympus, dewa-dewi awal Yunani kuno dipandang secara berbeda. Mereka murni bersifat unsur dan tidak diberi bentuk fisik layaknya manusia.
Dewa-dewa awal adalah personifikasi dari elemen yang mereka wakili. Orang Yunani kuno menganggap udara atas yang murni dari atmosfer bumi sebenarnya adalah dewa awal, Aether. Orang-orang kuno percaya bahwa kabut Aether mengisi ruang kosong di atas kubah langit.
Dalam mitologi Yunani kuno, Aether dianggap sebagai pelindung manusia. Cahaya Aether yang bersinar memisahkan bumi dari bagian terdalam dan tergelap di alam semesta, Tartarus. Tartarus adalah penjara suram di dasar alam semesta yang akhirnya menjadi tingkat yang paling ditakuti di wilayah kekuasaan Hades, Dunia Bawah.
Dewa Aether diberi peran sebagai pelindung karena ia memastikan kabut gelap Erebus yang merembes dari Tartarus, tempat segala macam makhluk menakutkan ditempatkan di tempat yang seharusnya. Dalam beberapa sumber, Aether disamakan dengan api. Dewa purba ini terkadang diberi kemampuan untuk menyemburkan api.
Menurut silsilah dewa-dewi Yunani secara lengkap yang ditulis oleh penyair Yunani Hesiod berjudul Theogony, Aether adalah putra Erebus (kegelapan) dan Nyx (malam) dan saudara dari Hemera (siang hari). Theogony karya Hesiod secara luas dianggap sebagai sumber silsilah dewa-dewi Yunani kuno yang paling terpercaya.
Baca Juga: Sebelum Tercipta Cahaya, Kegelapan Total Semesta Itu Bernama 'Erebus'
Demikian pula, sumber-sumber lain menyebutkan bahwa Aether adalah makhluk pertama yang muncul saat alam semesta diciptakan. Dalam kosmologi ini, Aether adalah induk dari dewa-dewa awal yang mewakili Bumi (Gaia), Laut (Thalassa), dan Langit (Uranus).
Aether dan Kepercayaa Orphisme
Naskah Orphic kuno berbeda secara signifikan dari silsilah Hesiod. Orphisme merupakan aliran kepercayaan mistis yang berkembang sekitar abad ke-6 SM yang didasarkan pada sosok Orpheus, seorang penyair, musisi, dan pahlawan Yunani Kuno. Dalam naskah tersebut Aether digambarkan sebagai putra dewa waktu, Chronus, dan dewi keniscayaan, Ananke.
"Orphisme muncul pada abad ke-5 atau ke-6 SM, periode yang sama ketika Hesiod diyakini menulis Theogony," ungkap Rachel Lockett dalam Aether: Primordial God of the Bright Upper Sky, sebagaimana dimuat History Cooperative.
"Masyarakat pada waktu itu yang membaca naskah Orphic tentang mitos penciptaan dan silsilah para dewa percaya bahwa Orpheus telah melakukan perjalanan ke Dunia Bawah dan kembali lagi ke bumi," jelasnya.
Dalam setiap sumber Orphic, Aether menjadi salah satu kekuatan pertama yang muncul ketika dunia baru diciptakan. Aether kemudian menjadi kekuatan yang membentuk telur kosmik dengan dirinya sendiri berada di dalamnya.
Ananke dan Chronus kemudian berubah menjadi bentuk ular dan melingkari telur itu. Mereka melilitkan diri sangat kencang hingga telur itu pecah menjadi dua bagian. Serpihan pecahan itu kemudian meyusun dirinya kembali, serpihan yang lebih ringan dan halus menjadi Aether (udara) dan Chaos (kekosongan) yang jernih. Sementara yang berat menggumpal membentuk Bumi.
Dalam teogoni Orphic, telur kosmik yang terbuat dari Aether menggantikan Chaos sebagai sumber penciptaan. Sebaliknya, hermafrodit awal bernama Phanes atau Protogonus menetas dari telur yang bersinar. Dari makhluk inilah semua dewa lainnya kemudian diciptakan.
Teogoni Orphic
Ada beberapa teks Orphic yang masih ada (Papirus Derveni, Himne Orphic, Theogony Heironyman, dan Theogony Rhapsodic) menyebutkan bahwa Aether merupakan dewa udara atas yang murni.
Baca Juga: Hemera: Dewi Yunani Kuno yang Berevolusi Bersama Fajar Menyinsing
"Teks tertua yang masih ada adalah Derveni Theogony atau Derveni Papyrus, yang ditulis pada abad ke-4. Aether disebutkan sebagai unsur yang ada di mana-mana dan bertanggung jawab atas awal mula terciptanya dunia," tulis Lockett.
Dalam Theogony Heironyman, Aether adalah putra Waktu dan digambarkan sebagai makhluk yang lembab. Theogony Rhapsodic juga menjadikan Waktu sebagai ayah Aether. Dalam kedua Theogony, Aether adalah saudara Erebus dan Chaos.
Dalam Himne Orphic untuk Aether, ia digambarkan memiliki kekuatan tak terbatas, dan berkuasa atas matahari, bulan, dan bintang. Aether dikatakan mampu menyemburkan api dan ia sendiri serupa percikan yang memulai penciptaan.
Dalam Theogony karya Hesiod, dewa Aether mengadakan pernikahan suci dengan saudarinya, dewi siang, Hemera. Pasangan ini bekerja sama erat dalam mitos-mitos awal untuk melaksanakan salah satu tugas terpenting, yaitu membuat siklus siang ke malam.
Dalam tradisi Yunani kuno, siang dan malam diyakini sebagai entitas yang terpisah dari matahari dan bulan. Orang Yunani kuno bahkan mengembangkan dewa-dewi yang terpisah untuk mewakili benda-benda langit. Matahari dipersonifikasikan oleh dewa Helios, dan bulan dipersonifikasikan oleh dewi Selene.
Adanya cahaya dianggap tidak selalu berasal dari matahari, ada cahaya biru cemerlang yang dipercaya berasal dari Aether yang suci.
Dalam mitologi Yunani kuno, malam dimulai ketika dewi Nyx, dewi malam, menarik bayangannya melintasi langit. Bayangan ini menutupi cahaya terang milik Aether, dewa atmosfer atas yang biru bercahaya, sehingga dunia menjadi gelap.
Saat pagi tiba, Hemera, dewi siang dan istri Aether, menghalau kabut gelap yang ditinggalkan oleh ibunya, Nyx. Dengan begitu, cahaya biru Aether kembali terlihat, dan siang pun tiba.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR