Kesederhanaan teknik ini menjadikannya unik. Tidak memerlukan peralatan yang rumit, hanya kesabaran dan naluri alami hewan.
Lidah kambing tidak dirancang untuk menjadi hukuman yang cepat. Kekejamannya terletak pada sifatnya yang lambat dan metodis.
Kedua faktor itu memperpanjang penderitaan korban selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Siksaan psikologis ini—mengetahui rasa sakitnya hanya akan meningkat—merupakan bagian dari hukuman seperti halnya penderitaan fisik.
Dipercaya bahwa hal itu merupakan hukuman atas pelanggaran ringan. Pasalnya, hukuman ini jarang mengakibatkan kematian tetapi menjamin ketidaknyamanan dan penghinaan.
Aspek psikologisnya sama menghancurkannya. Bayangkan jika Anda menangis karena sesuatu yang tidak berbahaya seperti seekor kambing!
Mengapa ada metode hukuman yang aneh seperti lidah kambing?
Jika merenungkan hukuman aneh seperti 'lidah kambing', orang mungkin bertanya-tanya mengapa metode yang aneh seperti itu pernah ada. Jawabannya terletak pada kecenderungan manusia untuk bereksperimen dengan kekuasaan, ketakutan, dan kendali.
Dalam masyarakat kuno, penyiksaan tidak hanya berfungsi sebagai metode hukuman tetapi juga sebagai alat untuk pencegahan dan tontonan suram untuk memperkuat otoritas.
Dengan menggunakan hewan sehari-hari seperti kambing, bentuk hukuman ini juga menjadi pengingat suram akan garis tipis antara yang biasa dan yang mengerikan. Seekor kambing, simbol kehidupan dan makanan, diubah menjadi alat penderitaan, yang menumbangkan citranya yang baik.
Warisan yang menyakitkan
'Lidah kambing' adalah pengingat yang mengerikan tentang sejauh mana manusia berusaha menimbulkan rasa sakit. Meskipun aneh dan ganjil, lidah kambing adalah jendela ke dalam jiwa manusia. Hukuman itu menunjukkan bagaimana kekejaman dapat terjadi dalam bentuk yang tidak terduga sekaligus mengerikan.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Mengapa Tidak Ada Penjara dalam Peradaban Yunani Kuno?
Idulfitri dan Kesehatan Mental: Ketika Kumpul Keluarga Malah Memicu Stres, Apa yang Salah?
Source | : | Ancient Origins |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR