Biarkan lidah kambing menjadi kisah peringatan—dan mungkin alasan untuk tidak pernah meremehkan seekor kambing.
Awalnya, sensasi itu mungkin terasa geli, bahkan lucu. Namun, saat kambing terus bekerja tanpa henti, humornya memudar. Kekasaran lidah kambing secara bertahap mengikis kulit di kaki, memperlihatkan jaringan yang mentah dan sensitif.
Apa yang awalnya merupakan ketidaknyamanan yang aneh segera berubah menjadi rasa sakit yang membakar. Pasalnya lapisan demi lapisan kulit terkelupas.
Prosesnya tidak hanya berhenti pada siksaan fisik. Luka terbuka berisiko tinggi terkena infeksi, terutama di era ketika kebersihan dan perawatan medis masih sangat sederhana.
Mulut kambing, yang jauh dari kata steril, dapat memasukkan sejumlah bakteri ke dalam luka baru. Hal ini menyebabkan infeksi yang berpotensi fatal.
Bahkan jika infeksi tidak terjadi, kerusakan parah pada kaki sering kali membuat korban tidak dapat bergerak, sehingga memperparah penderitaan mereka.
Meskipun metode penyiksaan 'lidah kambing' telah lama tidak dipraktikkan, warisannya tetap ada sebagai bukti kapasitas manusia untuk melakukan kekejaman.
Kisah-kisah seperti ini mengingatkan kita pada bab-bab yang lebih gelap dalam sejarah manusia. Kecerdikan digunakan bukan untuk kemajuan tetapi untuk hukuman.
Saat ini, kita dapat bersyukur bahwa praktik-praktik biadab seperti itu telah menjadi bagian dari sejarah. Masyarakat modern mungkin memiliki kekurangannya, tetapi setidaknya kita tidak lagi hidup dalam ketakutan dijilati sampai mati oleh seekor kambing.
Idulfitri dan Kesehatan Mental: Ketika Kumpul Keluarga Malah Memicu Stres, Apa yang Salah?
Source | : | Ancient Origins |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR