Nationalgeographic.co.id—Tefnut adalah dewi Mesir kuno yang melambangkan kelembapan, hujan, dan air. Selain itu, ia juga memainkan peran penting dalam mitologi penciptaan Mesir.
Tefnut merupakan bagian dari Ennead Heliopolitan, jajaran sembilan dewa utama yang dipuja di Heliopolis. Dalam wujudnya yang ikonik, Tefnut sering digambarkan sebagai wanita berkepala singa betina. Hal tersebut menandakan kekuatan dan dualitas perannya: pemberi kehidupan sekaligus pembawa amarah.
Menurut kosmologi Mesir, Tefnut dan saudara kembarnya, Shu (dewa udara), tercipta melalui kekuatan penciptaan diri dari dewa Atum. Bersama-sama, mereka menjadi orang tua Nut (dewi langit) dan Geb (dewa bumi).
Hubungan ini melambangkan keseimbangan dunia: hujan yang turun dari langit (Tefnut) menyuburkan bumi (Geb), sementara udara (Shu) menciptakan ruang di antara mereka, menjadikan dunia layak huni.
Namun, Tefnut tidak hanya terkait dengan kelembutan hujan dan kesuburan. Dalam wujud singanya, ia juga mencerminkan amarah yang bergejolak.
Ketidakhadirannya dalam mitos sering dikaitkan dengan bencana seperti kekeringan, gelombang panas, dan gagal panen. Ini memperkuat keyakinan bahwa ia tidak sekadar pemberi kehidupan, tetapi juga pengatur kosmis yang menjaga keseimbangan dunia.
Kekuatan dan Peran Tefnut
"Sebagai dewi yang mengendalikan hujan dan kelembapan, Tefnut memegang kekuasaan besar atas kehidupan Mesir kuno," ungkap Syed Rafid Kabir dalam Tefnut: Egyptian Goddess of Moisture and Rain sebagaimana dimuat pada laman History Cooperative.
"Curah hujan yang ia bawa menyuburkan Sungai Nil, sumber kehidupan dan keberlangsungan peradaban Mesir," lanjutnya.
Sungai Nil menjadi urat nadi masyarakat Mesir, memastikan hasil panen yang melimpah dan stabilitas negara. Meskipun ia bukan dewi langit seperti Nut, Tefnut tetap menjadi tokoh penting dalam siklus kosmis.
Hujan yang ia turunkan mendinginkan suhu terik Mesir, membuatnya dipuja sebagai pelindung dan pemberi berkah. Kehadirannya dalam mitologi mencerminkan kesadaran bangsa Mesir akan pentingnya air dalam menghadapi kondisi alam yang keras.
Baca Juga: Kutukan Aphrodite dan Pembantaian Pria di Pulau Lemnos dalam Mitologi Yunani
"Dengan demikian, Tefnut bukan sekadar dewi hujan, melainkan penjaga kehidupan itu sendiri, memastikan bahwa Mesir tetap makmur dan terlindungi di bawah kuasa air yang ia bawa," jelasnya.
Apakah Tefnut dan Sekhmet Dewi yang Sama?
Pertanyaan tentang apakah Tefnut dan Sekhmet adalah dewi yang sama sering muncul dalam diskusi mitologi Mesir. Keduanya memang memiliki kemiripan dalam ikonografi Mesir kuno, terutama karena sering digambarkan sebagai wanita berkepala singa betina. Namun, peran dan simbolisme mereka berbeda.
Sekhmet adalah dewi perang, pelindung Ra, dan simbol pembalasan ilahi. Ia dikenal sebagai “Mata Ra,” manifestasi murka dewa matahari yang dikirim untuk menghukum umat manusia.
Di sisi lain, Tefnut lebih terkait dengan kelembapan, hujan, dan kesuburan, menjadikannya simbol kehidupan dan kesuburan alami. Meski demikian, Tefnut juga disebut sebagai “Mata Ra,” yang mencerminkan kekuatan ilahi yang melindungi dan memelihara.
Tampilan dan Simbolisme Tefnut
Tefnut biasanya digambarkan dengan kepala singa betina, telinga runcing, dan hiasan kepala datar dengan cakram surya di atasnya, diapit dua ular kobra yang saling berlawanan.
Ia memegang tongkat kekuasaan di tangan kanan dan Ankh, simbol kehidupan, di tangan kiri. Dalam beberapa penggambaran, ia muncul sebagai ular berkepala singa, menyoroti sisi amarahnya yang penuh kekuatan.
Simbol-simbol Tefnut mencerminkan dualitas sifatnya. Singa betina melambangkan kekuatannya sebagai pelindung dan penguasa padang pasir yang ganas, sementara Ankh menunjukkan kemampuannya membawa kehidupan melalui air yang ia kendalikan.
Cakram surya mempertegas hubungannya dengan Ra dan kekuasaan kosmis, sementara ular kobra melambangkan perlindungan dan pertahanan.
Sebagai dewi kelembapan, Tefnut juga terhubung dengan air tawar dan oasis, mencerminkan pemberian hidup di tengah kondisi gurun yang keras. Peran ini membuatnya menjadi figur penting dalam menjaga keseimbangan alam dan kehidupan di Mesir kuno.
Baca Juga: Firaun Sneferu Menghirup Kekuatan Ilahi Sekhmet, Siapa Dewi Ini?
Keluarga Tefnut
Tefnut, dewi kelembapan dan hujan dalam mitologi Mesir kuno, berasal dari keluarga yang penuh dengan figur ilahi terkemuka. Ayahnya adalah Ra-Atum, dewa pencipta yang mewakili perpaduan kekuatan Ra (dewa matahari) dan Atum (dewa penciptaan).
Dalam beberapa mitos, ia hanya disebut sebagai anak Ra atau Atum. Uniknya, Tefnut lahir melalui proses partenogenesis—tanpa ibu—yang membuatnya menjadi simbol penciptaan ilahi yang murni.
Saudara kembarnya adalah Shu, dewa udara kering dan suaminya dalam mitologi. Bersama Shu, Tefnut memiliki dua anak: Geb, dewa bumi, dan Nut, dewi langit.
Dari pasangan Geb dan Nut, lahirlah dewa-dewi besar seperti Osiris, Isis, Set, dan Nephthys, menjadikan Tefnut nenek buyut Horus, salah satu dewa terpenting dalam mitologi Mesir.
Selain Shu, Tefnut juga memiliki beberapa saudara lain yang terkenal, seperti Hathor (dewi cinta dan musik), Bastet (dewi pelindung rumah tangga), dan Sekhmet (dewi perang dan pembalasan).
Hubungan antar-dewa ini menciptakan jaringan mitologi yang rumit namun saling terkait, mencerminkan konsep kehidupan dan kosmos Mesir kuno.
Syed juga menjelaskan bahwa legenda asal-usul Tefnut penuh dengan simbolisme dan keajaiban. "Menurut mitos penciptaan Heliopolis, Tefnut dan Shu tercipta dari bersin atau ludah Atum saat proses penciptaan dunia."
"Dalam versi lain, Atum menciptakan mereka melalui tindakan simbolis penyemaian benih di pasir padang gurun Mesir," ungkapnya.
Setiap versi cerita ini mencerminkan gagasan penciptaan dari unsur-unsur alam, menghubungkan Tefnut dengan kehidupan, kesuburan, dan pengaturan alam semesta.
Sebagai dewi hujan dan kelembapan, ia menjadi lambang keseimbangan antara kehidupan yang penuh berkah dan kekuatan alam yang tak terkendali.
Baca Juga: Kematian Tragis Naga Ladon di Taman Hesperides dalam Mitologi Yunani
Tefnut dan Penciptaan Manusia
"Tefnut memiliki hubungan yang jauh lebih mendalam dengan manusia daripada yang Anda kira," lanjut Syed.
"Hal itu muncul melalui satu mitos penciptaan tertentu di mana satu peristiwa yang berputar di sekelilingnya benar-benar mengarah pada pembentukan semua manusia."
Kisah ini berlatar waktu ketika Tefnut belum benar-benar ditunjuk menjadi Mata Ra, dan dewa pencipta tinggal di jurang yang tenggelam (Nu) sebelumnya.
Ra-Atum (ayah Tefnut) sedang bersantai di kehampaan yang luas ketika ia tiba-tiba mendengar bahwa Shu dan Tefnut melarikan diri dari jurang tepat setelah mereka lahir.
Ra-Atum (singkat saja menjadi Ra) mulai berkeringat di dahinya, takut akan ketidakhadiran anak-anaknya. Jadi, ia mengirim Mata-nya ke jurang untuk mencari anak-anak dan membawa mereka kembali.
Karena sangat efisien dalam pekerjaannya, Mata itu tidak membuang waktu untuk melihat-lihat dan menemukan Tefnut dan Shu beberapa kilometer jauhnya di balik kehampaan.
Di rumah, Ra menangis sejadi-jadinya (dengan maksud tertentu), menunggu anak-anaknya tiba. Begitu dewi kelembaban dan dewa udara tiba, air mata Ra berubah menjadi air mata kebahagiaan, dan ia memeluk anak-anaknya dengan sangat erat.
Ketika Ra melihat anak-anaknya kembali, ia menangis bahagia. Air mata yang menetes ke bumi berubah menjadi manusia pertama, menciptakan kehidupan baru di tanah Mesir.
Untuk memastikan Tefnut tetap berada dalam batasannya, Ra menjadikannya sebagai Mata baru dan mengangkat Shu sebagai dewa angin di bumi, sehingga kedua anaknya dapat menjalani kehidupan suci.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR