Seiring tersebarnya laporan tentang “perang”, ketertarikan publik pun tumbuh. Orang-orang tertarik dengan para penyintas yang pemberani. Para penyintas bahkan membentuk “unit” dengan pengintai untuk menghindari penangkapan. Pengemudi truk gagal menggiring emu ke arah penembak. Mereka melaporkan bahwa burung-burung itu berlari kencang di tanah yang tidak rata dengan kecepatan 80 km per jam. Bahkan ada satu truk yang menabrak saat mengejar.
Saksi mata lainnya tercengang dengan dugaan kemampuan emu untuk bertahan hidup dari tembakan yang meleset. Kepala perwira, Gwynydd Purves Wynne-Aubrey Meredith, pernah berkata, “Burung emu dapat menghadapi senapan mesin dengan kekebalan bak sebuah tank.”
45 hari setelah dimulainya operasi, para prajurit hanya membunuh sekitar 2.500 ekor emu, hanya sebagian kecil dari populasi. Para petani tidak memperoleh keuntungan apa pun. Segera setelah itu, seruan untuk perlakuan manusiawi terhadap hewan-hewan itu dikumandangkan dan pemerintah menghentikan operasi tersebut. Emu muncul sebagai pemenang perang unik dalam sejarah dunia itu.
Emu sang penyintas perang
Perang Emu bukan sekadar bukti kebodohan militer. Perang ini menggarisbawahi ketahanan burung yang luar biasa. Dengan tinggi hampir 180 cm, dengan langkah lebih dari 90 cm, emu merupakan bagian dari ratite. Ratite adalah kelompok burung yang tidak dapat terbang yang merupakan keturunan dinosaurus.
Emua adalah satu-satunya burung yang memiliki otot betis, yang membantu mendorong mereka maju. Otot kaki mereka yang kuat memberi mereka kecepatan dan daya tahan yang luar biasa. Otot kakinya memungkinkan mereka berlari hingga 80 km per jam. Burung emu mengikuti pola curah hujan untuk berjalan sejauh 24 km sehari untuk mencari makanan.
“Saya akan menyebut emu sebagai hewan yang menyebar daripada bermigrasi. Pergerakan mereka agak tidak dapat diprediksi dan dapat terjadi ke segala arah,” kata Rowan Mott, seorang ahli ekologi di Bush Heritage Foundation.
Meskipun emu sering mencari makan sendiri atau dalam kelompok keluarga kecil, kekeringan dapat menyatukan mereka dalam kawanan besar. Kekeringan akan mengubah pengembaraan emu yang biasanya menyendiri menjadi pergerakan massal di seluruh pedesaan. Konvergensi perilaku alami ini menjadi latar belakang untuk apa yang disebut “Perang Emu” pada awal tahun 1930-an.
Namun, emu lebih dari sekadar penyintas. Sebagai pemakan oportunistik, mereka memainkan peran ekologis yang vital dengan menyebarkan benih ke jarak yang sangat jauh. Hal ini pun membantu meregenerasi vegetasi di seluruh Australia.
Penelitian telah menemukan lusinan spesies tanaman dalam kotoran emu. Comacchio mengatakan emu berperan penting dalam menyebarkan quandong, buah persik lokal. “Banyak hewan lain juga memakan tanaman itu. Anda akan melihatnya tumbuh di padang pasir di mana tanaman lain mungkin tidak tumbuh,” katanya. “Penyebaran benih-benih itu oleh emu merupakan manfaat besar bagi ekosistem, yang pada gilirannya menguntungkan semua orang.”
Simbol Australia
Selain peran ekologisnya, emu memiliki makna budaya yang mendalam. Emu memiliki simbolisme yang signifikan dalam beberapa cerita penciptaan Aborigin sebagai bangsa pertama. Emu sering kali mewakili ketahanan, kekuatan, dan hubungan yang mendalam dengan tanah. Dalam beberapa cerita, emu adalah roh pencipta yang membimbing alam, dan dalam cerita lainnya, ia muncul sebagai sosok surgawi di Bima Sakti.
Hubungan emu dengan Australia begitu mendalam. Sebagai bukti, emu muncul di lambang negara, koin 50 sen, dan bahkan logo tim olahraga.
“Mereka cukup ikonik: sangat ingin tahu, tidak takut, cukup percaya diri,” kata Comacchio yang memperhatikan perilaku unik burung tersebut. Emu kerap melompat dengan gembira dari satu kaki ke kaki lainnya. “Orang-orang mencintai mereka.”
Perang Emu mungkin berakhir dengan kegagalan militer. Alih-alih dimusnahkan, perang berhasil mengukuhkan burung-burung ini sebagai simbol kelangsungan hidup dan kemampuan beradaptasi.
Dilindungi berdasarkan hukum lingkungan Australia sejak 1999, populasi emu tetap kuat. Ada lebih dari 600.000 emu liar melintasi benua tersebut.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR