“Yey! Siap, Ayah. Reka tunggu yaaa,” sambutku
Selesai berberes di Food Conctruction, aku dan ayah kembali ke rumah. Waktu menunjukkan pukul 13.00. Aku bergegas lari ke dalam rumah begitu pintu dibuka. Ayah yang melihat tingkahku hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia bergegas memburuku, hendak menyuruhku tidur siang.
“Reka, ayo tidur siang,” teriak ayah dari ruang makan tapi tidak aku hiraukan.
“Tidak mau, Ayah. Reka ingin bermain.”
“Mainnya bisa nanti. Ayo, Reka tidur siang dulu.” Tampak ayah muncul sambil membawa segelas susu putih. Ayah menaruh gelas itu di nakas samping ranjang dan mulai menidurkanku di ranjang.
Aku mulai menutup mata, merasakan sentuhan halus dari ayah, tetapi ketika suara pintu menutup terdengar oleh telingaku, mataku tiba-tiba terbuka kembali. "Tek tek tek." Suara detikan jam menandakan kesunyian kamarku. Aku terdiam di atas tempat tidur, tak bisa tidur dan sekarang aku bingung harus berbuat apa. Aku menoleh ke arah kanan, sebuah kandang kerbau yang didominasi warna merah kecokelatan menarik perhatian pandanganku. Kandang Bobo seolah-olah menjadi panggilan bagiku untuk bangun dari tidur. Aku segera bangun dan dengan langkah pelan aku membuka pintu menuju kandang Bobo.
Kini, aku berada di depan kandang Bobo. Ketika hendak membuka pintu kandang, aroma tak sedap menusuk penciumanku. Perlahan, tapi pasti, aku menoleh ke bawah. “Aaaaaaaa, Ayah!” teriakku sekeras mungkin.
Ayah yang mendengar teriakanku bergegas menghampiriku. Dengan wajah khawatir, ia bertanya “Apa yang terjadi, Reka? Kenapa kau bisa di sini? Kenapa kau tidak tidur siang? Bukankah ayah sudah menyuruhmu tidur siang?”
Aku menunduk, menyesali perbuatanku. “Reka minta maaf, Ayah.”
“Apakah kau terluka?” tanya ayah memastikan kondisiku.
“Tidak, Ayah. Reka hanya terkejut melihat kandang Bobo yang penuh kotoran dan bau.”
Baca Juga: Sedimen Dasar Laut, 'Area Mati' yang Justru Penting dalam Ekosistem 'Blue Carbon'
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR