“Yang namanya kandang pasti bau, Reka,” ucap ayah tenang, mencoba membuatku mengerti.
“Lalu, apakah tidak ada cara untuk mengurangi aroma bau ini, Ayah?” tanyaku meminta solusi dari ayah.
Ayah berpikir sejenak. “Oh iya, Reka tahu tidak? Kotoran kerbau bisa diolah menjadi pupuk organik lo. Selain berguna untuk menyuburkan tanaman, pengelolaan kotoran hewan juga bisa mengurangi emisi metana dalam rumen penyebab gas rumah kaca.”
“Apabila kotoran kerbau dibiarkan begitu saja, kotoran kerbau akan mengalami pembusukan anaerobik (tanpa oksigen). Proses ini menghasilkan gas metana, salah satu gas rumah kaca yang paling kuat dalam memerangkap panas di atmosfer, sedangkan proses pengolahan pupuk organik dari kotoran kerbau melibatkan pengomposan aerobik. Dalam kondisi kaya oksigen, mikroorganisme, seperti Bacillus sp, Pseudomonas sp, Actinomycetes, jamur Aspergillus sp, dan jamur Trichoderma sp akan menguraikan bahan organik, berupa sisa pakan, hasil ekskresi, dan mikroorganisme dalam kotoran kerbau menjadi humus dan nutrisi tanaman. Kondisi ini menghambat pertumbuhan bakteri penghasil metana, sehingga mencegah pelepasan gas metana ke atmosfer. Nah, Reka, hasil akhir dari proses ini dinamakan humus. Humus adalah bahan organik yang terbentuk dari hasil penguraian sisa- sisa tanaman maupun hewan yang kaya akan karbon. Karbon yang terikat dalam humus akan tersimpan dalam tanah dalam jangka waktu yang lama, sehingga mengurangi jumlah karbon di atmosfer. Humus inilah yang menjadi komponen utama pupuk organik,” jelas ayah panjang lebar.
“Lalu, bagaimana cara membuat komposnya, Yah? Apakah sulit?” Aku tertarik bertanya lebih jauh pada ayah.
“Tentu saja mudah, Reka. Sini biar ayah tunjukkan”
Aku dan ayah bergegas menuju halaman belakang. Di sana, ayah mempersiapkan berbagai alat dan bahan yang aku tidak tahu akan dibuat menjadi apa ditangan kreatif ayah. Ayah mulai mengambil kotoran Bobo menggunakan sekop kecil.
“Untuk mengolah kotoran Bobo menjadi pupuk, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan dan mencampurkan kotoran hewan dengan bahan organik lainnya, seperti gulma, jerami, dan dedaunan. Hal ini bertujuan untuk menciptakan rasio yang optimal antara karbon dan nitrogen untuk pertumbuhan mikroorganisme. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat. Selanjutnya, mikroorganisme seperti bakteri dan jamur akan mulai mengurai bahan organik kompleks dalam campuran menjadi senyawa yang lebih sederhana. Proses ini dinamakan dekomposisi yang melibatkan berbagai reaksi enzimatik yang kompleks, seperti hidrolisis, oksidasi, dan reduksi.”
Kata-katanya tidak pernah kudengar sebelumnya. Kumohon pada ayah untuk menjelaskannya lebih dalam kepadaku.
“Begini, hidrolisis adalah proses pemecahan molekul kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana dengan bantuan air. Misalnya, protein dipecah menjadi asam amino dan karbohidrat dipecah menjadi gula sederhana. Oksidasi adalah proses pelepasan elektron dari suatu zat oleh mikroorganisme untuk menghasilkan energi, sedangkan reduksi adalah proses penerimaan elektron oleh suatu zat,” ayah menjelaskan dengan sabar.
“Lalu, apa yang terjadi setelah itu, Ayah?” tanyaku kembali.
“Setelah itu, senyawa-senyawa sederhana hasil dekomposisi tadi akan bergabung membentuk molekul yang lebih besar dan kompleks, yaitu humus. Humus memiliki struktur yang stabil dan tahan terhadap dekomposisi lebih lanjut. Akhirnya, sebagian bahan organik akan terurai lebih lanjut menjadi mineral- mineral yang dapat diserap langsung oleh tanaman, seperti nitrogen, fosfor, dan kalium,” ayah kembali menjelaskan.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR