Oleh Ayu Jayani Sattung Patinggi dari SMA Kristen Barana'
Nationalgeographic.co.id—Halo, semuanya! Perkenalkan aku Mareka alias Mari Reduksi Karbon, tetapi orang-orang sering memanggilku Reka. Inilah kisahku di peternakan milik ayah. Aku punya banyak sekali teman. Ada Momo si sapi dan Bobo si kerbau. Kita bertiga punya hobi yang sama lo. Teman-teman tahu tidak? Ya, kami suka sekali menjaga alam. Bagi kami, menjaga alam adalah hal yang sangat penting. Yuk, lihat petualanganku dan teman-teman untuk masa depan yang berkelanjutan.
Pagi itu, matahari terbangun tanda dirinya siap memancarkan cahaya indahnya. Momo si sapi mulai ribut dengan lonceng di lehernya. Jangan lupakan hewan kekar nan kuat yang sedari tadi bersusah payah berlomba dengan napas yang memburu. Bobo namanya. Seekor kerbau peliharaan ayah yang menjadi kerbau kesayangan di peternakan, sedangkan aku sudah sibuk membantu ayah memberi makan puluhan ternak di peternakan.
“Moo..mooo.” Momo, sapi bontot milik ayah memulai amuknya lantaran tidak mendapatkan jelai di dalam palungan. “Sssttt. Diamlah, Momo!” gerutuku sambil mengatur pakan sapi-sapi agar semuanya kebagian. Momo sangat menyukai jelai racikanku. Nah, kira-kira bagaimana caraku membuat makanan untuk Momo? Mari lihat proses pembuatan jelai yang dikonsumsi Momo.
"Food Construction." begitulah tulisan di atas sebuah gubuk kayu yang kini dimasuki ayah dan kuikuti dari belakang sambil tertatih membawa dua buah ember di tangan kanan dan kiriku. Ruangan ini adalah pusat dari produksi pakan semua hewan di peternakan keluargaku. Aku dan ayah berjalan menuju unit pembuatan pakan sapi. Di sana, kulihat berbagai macam biji-bijian yang akan diolah menjadi makanan Momo. Sejak dahulu, keluargaku selalu membuat pakan sapi berbasis biji-bijian. Menurut teman-teman, apakah proses pembuatan pakan yang aku dan ayah lakukan sudah benar?
Pola makan merupakan salah satu faktor yang sangat memengaruhi emisi karbon dan mikroba penghasil metana dalam rumen ternak. Sektor peternakan menyumbang 31% emisi karbon dalam produksi pakan. Sumbangan karbon ini disebabkan oleh penggunaan biji-bijian sebagai pakan ternak. Mikroba yang terlibat dalam pencernaan makanan sapi menghasilkan kadar metana yang berbeda. Mikroba yang terlibat untuk mencerna makanan kaya karbohidrat, seperti biji-bijian berbeda dengan mikroba untuk mencerna makanan kaya selulosa, seperti rumput, jerami, dan tanaman hijau lainnya. Sapi yang diberi makan tinggi biji-bijian dan rendah tanaman hijau menghasilkan 42% metana lebih banyak dibandingkan sapi yang diberi makan rendah biji-bijian dan tinggi tanaman hijau (Boadi et al., 2004). CH 4 jika diuraikan akan menghasilkan karbon dan hidrogen berdasarkan reaksi berikut.
Pada dasarnya, karbon merupakan unsur kimia non-logam dan memiliki elektron valensi 4 yang memungkinkan unsur ini membentuk empat ikatan kovalen, dengan simbol C serta nomor atom 6 pada tabel periodik. Pakan yang diberikan pada sapi memengaruhi rasio karbon yang dihasilkan. Karbon dapat bergabung dengan senyawa lain, seperti hidrogen dan oksigen. Ketika karbon bertemu dengan hidrogen, maka dihasilkanlah metana (CH 4). Berarti, semakin besar penggunaan biji-bijian sebagai pakan sapi, maka jumlah karbon yang dihasilkan semakin banyak pula. Pakan tinggi biji- bijian memliki kadar fermentasi karbohidrat tinggi yang menghasilkan metana untuk dilepaskan ke atmosfer.
Mesin tua dari kayu itu mengeluarkan bunyi karena engsel yang berkarat, sudah lama tak diganti. Ayah terlihat sangat telaten membuat pakan untuk para sapi. Kusebut dia tampan dan pemberani. Pro player, pikirku. Bayang-bayang kekhawatiran tiba-tiba ikut masuk dalam benakku, dasar tamu tak diundang! Aku melihat banyaknya bijian yang akan diolah menjadi pakan sapi dan itu tandanya ancaman metana penyebab emisi gas rumah kaca juga semakin mendekat. Ayah masih sibuk dengan mesin tua itu, sementara aku merenung memikirkan apa yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan Bumi ini. Bayang-bayang itu masih terus menghantui pikiranku, sampai tiba- tiba cuplikan acara televisi yang pernah kunonton ikut terlintas dalam pikiranku. Acara itu membahas tentang pentingnya menjaga Bumi agar terhindar dari emisi gas rumah kaca. Dari sana, aku belajar bahwa salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, adalah mereduksi karbon penyebab emisi gas rumah kaca dengan cara mengganti pakan yang diberikan pada ternak.
Tap. Ayah mendekat ke arahku yang sedari tadi hanyut dalam khayalanku. Aku terkejut merasakan ada tangan yang tiba-tiba memegang pundakku. “Astaga, Ayah, ngagetin aja," ucapku.
“Maaf, Nak. Habisnya dari tadi kamu melamun terus. Memangnya hero ayah sedang melamun tentang apa?” tanya ayah sambil ikut berjongkok di sampingku.
“Ini lo, Yah. Reka tiba-tiba ingat acara TV yang pernah kita nonton sama-sama,” ucapku.
Baca Juga: AC: Teman atau Musuh? Saat Kenyamanan Menjadi Beban untuk Bumi
“Yang mana, Nak?” Tanya Ayah.
“Penanggulangan emisi gas rumah kaca, Yah,” jelasku.
“Kenapa memangnya?” Ayah kembali bertanya.
“Begini, Ayah. Acaranya bilang kalau produksi emisi gas rumah kaca di peternakan dapat dikurangi dengan cara mengganti pakan yang diberikan kepada ternak,” aku mencoba menjelaskan
“Ohhhh, lalu apa yang salah dengan pakan di peternakan ayah?” tanya ayah.
Aku berdiri berlagak bak seorang dosen yang sedang menjelaskan kepada mahasiswanya. “Begini, Ayah. Mikroba yang terlibat dalam pencernaan makanan kaya selulosa dan makanan kaya karbohidrat berbeda serta akan menghasilkan kadar metana yang berbeda. Makanan yang kaya tanaman hijau dan rendah biji-bijian akan menghasilkan lebih sedikit metana karena produksi propionat, penyerap hidrogen akan menghilangkan H 2 dari produksi metana.”
Ayah masih serius memperhatikanku yang sedari tadi tidak berhenti melantur dengan kedua telapak tangan ditaruh pada dagu dan tatapan yang tidak teralihkan dariku.
“Karbohidrat yang mudah dicerna dapat mengubah komposisi mikroba dalam rumen. Beberapa jenis bakteri yang lebih efisien dalam mencerna karbohidrat cenderung menghasilkan metana lebih sedikit, misalnya Asam Lemak Volatile (VFA). Bakteri ini merupakan jenis mikroorganisme yang membantu proses penguraian anaerobik untuk menghasilkan asam lemak volatil dan senyawa monokarboksilat alifatik rantai pendek linier, seperti asam asetat, asam propionat, dan asam butirat. VFA memiliki dua (asam asetat) hingga enam (asam kaproat) atom karbon, yang berfungsi sebagai penghasil energi bagi ternak serta menghasilkan asetat dan propionat. Diet kaya karbohidrat, terutama yang mudah dicerna, dapat meningkatkan populasi bakteri penghasil VFA. Dengan meningkatnya populasi bakteri penghasil VFA, secara tidak langsung akan menekan pertumbuhan bakteri metanogen karena persaingan nutrisi. Contoh makanan kaya karbohidrat yang dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan biji-bijian adalah pati yang mudah dicerna oleh sapi. Pati dapat diperoleh dari tanaman berupa jagung, sorgum, gandum, dan ubi jalar. Pati yang mudah dicerna akan mempercepat proses fermentasi oleh bakteri penghasil asam lemak volatil, seperti asetat dan propionat, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri matanogen. Selain itu, pati juga dapat meningkatkan pH rumen, yang dapat menghambat aktivitas bakteri metanogen tertentu.”
“Oh, betul, Nak. Sekarang ayah sudah ingat. Hebat sekali kamu. Masih kecil sudah peduli lingkungan, sudah mengalahkan ayah rupanya,” kata ayah sambil menepuk-nepuk pelan kepalaku.
“Iya dong, Yah. Reka kan anak ayah, berarti harus hebat seperti Ayah,” balasku.
“Kalau begitu, nanti Ayah akan ganti pakan untuk Momo dan sapi yang lain, tetapi tunggu pasokan bijinya habis dulu. Kalau Ayah buang bijinya sekarang, yang ada nanti limbah semakin banyak dan semakin bahaya dong buat lingkungan,” Ayah menjelaskan.
Baca Juga: Ribuan Tahun Jadi 'Lemari Pembeku', Kenapa Arktik Kini Jadi Penyumbang Emisi?
“Yey! Siap, Ayah. Reka tunggu yaaa,” sambutku
Selesai berberes di Food Conctruction, aku dan ayah kembali ke rumah. Waktu menunjukkan pukul 13.00. Aku bergegas lari ke dalam rumah begitu pintu dibuka. Ayah yang melihat tingkahku hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia bergegas memburuku, hendak menyuruhku tidur siang.
“Reka, ayo tidur siang,” teriak ayah dari ruang makan tapi tidak aku hiraukan.
“Tidak mau, Ayah. Reka ingin bermain.”
“Mainnya bisa nanti. Ayo, Reka tidur siang dulu.” Tampak ayah muncul sambil membawa segelas susu putih. Ayah menaruh gelas itu di nakas samping ranjang dan mulai menidurkanku di ranjang.
Aku mulai menutup mata, merasakan sentuhan halus dari ayah, tetapi ketika suara pintu menutup terdengar oleh telingaku, mataku tiba-tiba terbuka kembali. "Tek tek tek." Suara detikan jam menandakan kesunyian kamarku. Aku terdiam di atas tempat tidur, tak bisa tidur dan sekarang aku bingung harus berbuat apa. Aku menoleh ke arah kanan, sebuah kandang kerbau yang didominasi warna merah kecokelatan menarik perhatian pandanganku. Kandang Bobo seolah-olah menjadi panggilan bagiku untuk bangun dari tidur. Aku segera bangun dan dengan langkah pelan aku membuka pintu menuju kandang Bobo.
Kini, aku berada di depan kandang Bobo. Ketika hendak membuka pintu kandang, aroma tak sedap menusuk penciumanku. Perlahan, tapi pasti, aku menoleh ke bawah. “Aaaaaaaa, Ayah!” teriakku sekeras mungkin.
Ayah yang mendengar teriakanku bergegas menghampiriku. Dengan wajah khawatir, ia bertanya “Apa yang terjadi, Reka? Kenapa kau bisa di sini? Kenapa kau tidak tidur siang? Bukankah ayah sudah menyuruhmu tidur siang?”
Aku menunduk, menyesali perbuatanku. “Reka minta maaf, Ayah.”
“Apakah kau terluka?” tanya ayah memastikan kondisiku.
“Tidak, Ayah. Reka hanya terkejut melihat kandang Bobo yang penuh kotoran dan bau.”
Baca Juga: Sedimen Dasar Laut, 'Area Mati' yang Justru Penting dalam Ekosistem 'Blue Carbon'
“Yang namanya kandang pasti bau, Reka,” ucap ayah tenang, mencoba membuatku mengerti.
“Lalu, apakah tidak ada cara untuk mengurangi aroma bau ini, Ayah?” tanyaku meminta solusi dari ayah.
Ayah berpikir sejenak. “Oh iya, Reka tahu tidak? Kotoran kerbau bisa diolah menjadi pupuk organik lo. Selain berguna untuk menyuburkan tanaman, pengelolaan kotoran hewan juga bisa mengurangi emisi metana dalam rumen penyebab gas rumah kaca.”
“Apabila kotoran kerbau dibiarkan begitu saja, kotoran kerbau akan mengalami pembusukan anaerobik (tanpa oksigen). Proses ini menghasilkan gas metana, salah satu gas rumah kaca yang paling kuat dalam memerangkap panas di atmosfer, sedangkan proses pengolahan pupuk organik dari kotoran kerbau melibatkan pengomposan aerobik. Dalam kondisi kaya oksigen, mikroorganisme, seperti Bacillus sp, Pseudomonas sp, Actinomycetes, jamur Aspergillus sp, dan jamur Trichoderma sp akan menguraikan bahan organik, berupa sisa pakan, hasil ekskresi, dan mikroorganisme dalam kotoran kerbau menjadi humus dan nutrisi tanaman. Kondisi ini menghambat pertumbuhan bakteri penghasil metana, sehingga mencegah pelepasan gas metana ke atmosfer. Nah, Reka, hasil akhir dari proses ini dinamakan humus. Humus adalah bahan organik yang terbentuk dari hasil penguraian sisa- sisa tanaman maupun hewan yang kaya akan karbon. Karbon yang terikat dalam humus akan tersimpan dalam tanah dalam jangka waktu yang lama, sehingga mengurangi jumlah karbon di atmosfer. Humus inilah yang menjadi komponen utama pupuk organik,” jelas ayah panjang lebar.
“Lalu, bagaimana cara membuat komposnya, Yah? Apakah sulit?” Aku tertarik bertanya lebih jauh pada ayah.
“Tentu saja mudah, Reka. Sini biar ayah tunjukkan”
Aku dan ayah bergegas menuju halaman belakang. Di sana, ayah mempersiapkan berbagai alat dan bahan yang aku tidak tahu akan dibuat menjadi apa ditangan kreatif ayah. Ayah mulai mengambil kotoran Bobo menggunakan sekop kecil.
“Untuk mengolah kotoran Bobo menjadi pupuk, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan dan mencampurkan kotoran hewan dengan bahan organik lainnya, seperti gulma, jerami, dan dedaunan. Hal ini bertujuan untuk menciptakan rasio yang optimal antara karbon dan nitrogen untuk pertumbuhan mikroorganisme. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat. Selanjutnya, mikroorganisme seperti bakteri dan jamur akan mulai mengurai bahan organik kompleks dalam campuran menjadi senyawa yang lebih sederhana. Proses ini dinamakan dekomposisi yang melibatkan berbagai reaksi enzimatik yang kompleks, seperti hidrolisis, oksidasi, dan reduksi.”
Kata-katanya tidak pernah kudengar sebelumnya. Kumohon pada ayah untuk menjelaskannya lebih dalam kepadaku.
“Begini, hidrolisis adalah proses pemecahan molekul kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana dengan bantuan air. Misalnya, protein dipecah menjadi asam amino dan karbohidrat dipecah menjadi gula sederhana. Oksidasi adalah proses pelepasan elektron dari suatu zat oleh mikroorganisme untuk menghasilkan energi, sedangkan reduksi adalah proses penerimaan elektron oleh suatu zat,” ayah menjelaskan dengan sabar.
“Lalu, apa yang terjadi setelah itu, Ayah?” tanyaku kembali.
“Setelah itu, senyawa-senyawa sederhana hasil dekomposisi tadi akan bergabung membentuk molekul yang lebih besar dan kompleks, yaitu humus. Humus memiliki struktur yang stabil dan tahan terhadap dekomposisi lebih lanjut. Akhirnya, sebagian bahan organik akan terurai lebih lanjut menjadi mineral- mineral yang dapat diserap langsung oleh tanaman, seperti nitrogen, fosfor, dan kalium,” ayah kembali menjelaskan.
“Oh, begitu rupanya, Yah.”
“Iya, Reka. Lihat! Pupuknya sudah jadi. Mudah, bukan?”
“Mudah sekali, Ayah. Lalu, pupuk ini akan ditaruh di mana, Yah?”
“Reka lihat tanaman di pojok itu?” Ayah menunjuk tanaman yang batangnya sudah tak mampu menahan bobot seluruh tanaman itu.
“Wah, kasihan. Tanaman itu sudah layu. Apakah kita bisa menolongnya, Yah?”
Ayah tersenyum “Tentu saja, Nak. Ayo ikut Ayah”
Aku mengikuti langkah besar ayah walaupun seringkali aku tertinggal jauh karena tak mampu mengejar langkahnya. Ketika jarak kami dengan tanaman sudah dekat, ayah mengeluarkan pupuk yang sudah dibuatnya tadi dan mencampurnya dengan tanah dalam pot.
Ayah lalu menjelaskan, “Nah, ini dia salah satu kegunaan pupuk organik yang sudah kita buat. Pupuk organik mengandung banyak nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman untuk tumbuh dan menekan produksi metana dari kotoran ternak yang tidak terkendali.”
“Wah, meskipun Reka tidak suka aromanya, tapi ternyata kotoran hewan sangat bermanfaat, ya, Ayah,” ungkapku.
“Iya, Reka. Makanya, Reka harus belajar mengolah bahan yang tampaknya sudah tidak berguna menjadi barang yang bermanfaat,” papar ayah.
Pagi itu, suara bising dari ruangan bertuliskan Food Conctruction kembali menyibukkan telingaku. Semua mesin tua milik ayah berlomba memperdengarkan suara karat siapa yang paling baik. Sekalipun demikian, ada satu hal yang berbeda. Pasokan biji-bijian yang dulunya memenuhi karung berwarna putih, kini digantikan oleh berbagai macam tanaman hijau kesukaan Momo dan Bobo. Aroma bau dari kotoran Bobo juga sudah tidak kukeluhkan. Setiap pekan, kuolah kotoran tadi menjadi pupuk yang bermanfaat bagi tanaman dan hasilnya kubagikan kepada seluruh warga kampung. Sejak saat itu, aku banyak belajar dari peternakan ayah. Aku sadar, lingkungan harus dijaga dan hal itu dapat terwujud jika dimulai dari kesadaran diri sendiri. Aku dan ayah mulai belajar mengelola peternakan ramah lingkungan. Aku sadar, jika pola pengelolaan peternakan ayah tidak diubah, maka permasalahan lingkungan akan semakin sulit teratasi. Pemanasan global, emisi gas rumah kaca berlebih, dan dampak lingkungan yang dihasilkan hanyalah sebagian kecil dari akibat negatif yang dirasakan apabila manajemen karbon di Bumi tidak dilaksanakan dengan baik.
Perubahan datang seperti badai, mengguncang dan menyapu, membawa serta harapan baru. Misi yang kujalankan di peternakan ayah ditemani Momo dan Bobo membawa manfaat positif bagi lingkungan. Aku sudah mengurangi emisi karbon untuk mencegah rumah kaca. Sekarang, giliran teman-teman yang melanjutkannya dari langkah kecil di lingkungan sekitar. Mulai dari diri sendiri, reduksi karbon untuk masa depan yang berkelanjutan.
Artikel ini merupakan bagian kerjasama National Geographic Indonesia dan Toyota Indonesia dalam gelaran Toyota Eco Youth 13.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR