Nationalgeographic.co.id—Beberapa waktu terakhir, muncul tren populer menjadikan beef tallow atau lemak sapi sebagai alternatif perawatan kulit atau skincare. Beberapa influencer dan pakar kesehatan membuat klaim ilmiah bahwa kandungan vitamin serta manfaat biokimia di dalamnya dapat membuat kulit lebih lembut dan bercahaya.
Tren ini muncul seiring dengan meningkatnya minat terhadap produk skincare yang 'alami' dan 'bersih'. Tak hanya lemak sapi, bahan lain dari hewan seperti lendir siput juga mulai banyak digunakan dalam industri kecantikan.
Namun, apakah lemak sapi benar-benar efektif dan aman sebagai pengganti skincare?
Para ahli mengungkap fakta ilmiah di balik tren ini, termasuk manfaat serta risikonya bagi kulit.
Apa Itu Lemak Sapi dan Mengapa Digunakan untuk Skincare?
Beef tallow atau lemak sapi adalah lemak yang diperoleh dari proses pelelehan dan pemurnian jaringan lemak sapi.
Dalam suhu ruangan, lemak ini berbentuk padat dan telah lama digunakan sebagai bahan utama untuk memasak, seperti memanggang dan menggoreng—termasuk dalam pembuatan kentang goreng asli McDonald’s. Selain itu, lemak sapi juga digunakan dalam produksi sabun alami dan bahkan biofuel.
Dalam setahun terakhir, TikTok telah mempopulerkan tren penggunaan lemak hewani dalam perawatan kulit.
Mulai dari body butter dengan aroma alami hingga balm organik dari sapi yang diberi makan rumput, beef tallow kini dipromosikan sebagai bahan skincare dengan klaim manfaat seperti 'perawatan wajah' dan 'penyembuhan masalah kulit'.
Produk berbahan dasar lemak sapi kini banyak dijual di pasaran dengan harga lebih dari AS$30 (sekitar Rp 500 ribu) untuk beberapa ons. Bahkan, beberapa orang memilih membeli lemak mentah dari tukang daging dan mengolahnya sendiri di rumah.
Menurut Geeta Yadav, dokter kulit bersertifikat dan pendiri FACET Dermatology, tren ini berkembang karena kombinasi dari gerakan clean beauty, tren diet karnivora yang populer di TikTok, serta meningkatnya skeptisisme masyarakat terhadap keamanan produk dan bahan kosmetik.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Praktik Kecantikan nan 'Mematikan' dari Era Renaisans
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR