Nationalgeographic.co.id—Konsep fundamental dari Ekonomi Sirkular merepresentasikan sebuah paradigma konsumsi yang inovatif, dirancang untuk memperpanjang secara signifikan siklus hidup suatu produk.
Pendekatan ini diwujudkan melalui serangkaian strategi terintegrasi, mencakup praktik penggunaan kembali, upaya perbaikan yang teliti, proses pembaruan untuk mengembalikan fungsi, serta daur ulang material di akhir masa pakai produk.
Tujuan utama yang ingin dicapai melalui penerapan model ekonomi ini adalah meminimalisir timbulan sampah hingga tingkat sekecil mungkin, seraya mengoptimalkan dan mempertahankan nilai intrinsik dari setiap produk dan material yang beredar dalam sistem.
Ini adalah pergeseran mendasar dari model ekonomi linier yang dominan saat ini, di mana material diambil, produk diproduksi, digunakan sebentar, lalu dengan cepat dibuang sebagai sampah, dengan Ekonomi Sirkular berupaya keras untuk menjaga material dan produk tetap berada dalam aliran ekonomi selama periode waktu yang jauh lebih lama.
Landasan filosofis dan operasional Ekonomi Sirkular, seperti dilansir laman Action Sustainability, secara kokoh bertumpu pada tiga prinsip utama, sebagaimana telah dijabarkan dan dipromosikan oleh The Ellen MacArthur Foundation.
Pertama, prinsip menghilangkan limbah dan polusi menjadi krusial; transisi menuju Ekonomi Sirkular secara fundamental berarti melepaskan diri dari cengkeraman model ekonomi linier yang mengambil bahan baku, membuat produk, dan akhirnya membuangnya menjadi sampah yang menumpuk di tempat pembuangan akhir atau diubah menjadi abu melalui insinerasi.
Prinsip kedua adalah mensirkulasikan produk dan material (pada nilai tertinggi); ini menekankan betapa pentingnya memastikan material terus bergerak dalam sistem penggunaan, baik dalam wujud produk utuh maupun sebagai material komponen ketika produk aslinya telah usai masa pakainya, dengan demikian tidak ada yang benar-benar menjadi limbah, dan nilai material dapat dipertahankan pada level tertingginya.
Terakhir, prinsip ketiga berfokus pada pemulihan alam; dengan mengadopsi cara beroperasi yang lebih sirkular, kita secara aktif mendukung proses-proses alami ekosistem dan pada gilirannya, memberikan lebih banyak ruang serta kesempatan bagi alam untuk beregenerasi dan berkembang.
Implementasi Ekonomi Sirkular di Sepanjang Siklus Hidup Produk
Penerapan prinsip Ekonomi Sirkular terintegrasi ke dalam setiap tahapan siklus hidup produk, memungkinkan serangkaian tindakan spesifik yang mendukung transisi ini.
Pada tahap desain, misalnya, perancang memiliki kesempatan emas untuk menjadikan pengurangan limbah sebagai pertimbangan utama sejak awal; produk dapat didesain untuk efisiensi penggunaan material dan ketahanan yang optimal, bahkan mempertimbangkan bagaimana produk akan dibongkar atau diperbaiki di akhir masa pakainya, atau bagaimana sisa material produksi dapat diminimalisir.
Baca Juga: Sustainability: 5 Inovasi Praktis untuk Mendorong Ekonomi Sirkular Dimulai dari Rumah Anda
Selanjutnya, di fase manufaktur, produsen dapat mengambil langkah proaktif dengan memanfaatkan material yang diperoleh dari produk yang telah mencapai akhir masa pakainya, alih-alih bergantung sepenuhnya pada ekstraksi bahan baku baru yang sering kali merusak lingkungan.
Saat produk berada di tangan konsumen, pilihan yang sadar terhadap Ekonomi Sirkular dapat diwujudkan dengan memilih produk yang memang dirancang dan dibuat dengan standar ketahanan yang tinggi; kita dapat memilih barang-barang yang dirancang untuk digunakan berulang kali, dan ketika fungsinya telah berkurang, kita memiliki opsi untuk mendaur ulang atau menggunakannya kembali.
Pemeliharaan juga memainkan peran vital dalam memperpanjang masa pakai barang secara signifikan, sehingga secara langsung mengurangi kebutuhan akan produksi barang baru dan penimbunan limbah.
Ketika barang mendekati akhir masa pakainya namun masih memiliki potensi, tindakan penggunaan kembali atau pembaruan dapat memulihkan nilainya dan memberikannya fungsi baru, kembali lagi mengurangi dorongan untuk membeli barang baru dan menurunkan volume sampah.
Terakhir, daur ulang memastikan bahwa di penghujung siklus hidup produk, materialnya dapat dimanfaatkan kembali untuk produksi barang-barang baru, mencegahnya berakhir di tempat sampah dan mengunci nilainya dalam sistem ekonomi.
Prinsip-prinsip yang terintegrasi ini secara kolektif memfasilitasi pergeseran mendasar dari model ekonomi linier yang boros menuju cara beroperasi yang jauh lebih sirkular dan berkelanjutan.
Menerapkan Lensa Ekonomi Sirkular dalam Kehidupan Sehari-hari
Untuk lebih membumikan konsep ini, mari kita terapkan perspektif Ekonomi Sirkular pada barang-barang sehari-hari yang sangat akrab dengan kita, seperti pakaian. Di setiap tahapan siklus, kita dapat mengajukan pertanyaan reflektif:
Pada tahap desain, bisakah perancang atau merek mempertimbangkan untuk memproduksi pakaian dengan meminimalkan limbah sisa bahan sejak awal? Dapatkah mereka secara proaktif menggunakan bahan daur ulang dalam komposisi kain mereka?
Bagaimana dengan kemasan produk – bisakah itu dibuat dari material daur ulang, atau bahkan dirancang agar dapat digunakan kembali untuk pengiriman ke toko? Bisakah kita mengadopsi desain yang inherent efisien, sehingga tidak perlu memesan atau memotong material secara berlebihan?
Melangkah ke tahap manufaktur, pertanyaan muncul: Bisakah proses produksi pakaian diatur sedemikian rupa untuk menghasilkan sedikit atau bahkan tanpa sisa potongan kain yang terbuang?
Baca Juga: Kolaborasi, Kunci Cerahnya Masa Depan Ekonomi Sirkular di Indonesia
Pada fase konsumsi, kita dapat merenungkan: Bisakah kita mengonsumsi pakaian dengan lebih bijak, menahan diri dari membeli barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan atau yang hanya akan dikenakan sekali? Bisakah kita berkomitmen untuk memakai pakaian yang kita miliki berulang kali, dan merawatnya dengan baik agar tetap tahan lama?
Dalam hal pemeliharaan, jika pakaian kita mengalami kerusakan seperti robek, bisakah kita mengambil inisiatif untuk memperbaikinya agar fungsinya kembali dan dapat terus kita pakai?
Ketika pakaian sudah tidak lagi layak pakai sesuai fungsi aslinya, pada tahap penggunaan kembali/pembaruan, bisakah kita secara kreatif memanfaatkannya untuk keperluan lain atau mengubahnya menjadi barang yang berbeda?
Terakhir, pada titik di mana pakaian benar-benar tidak terpakai, di fase yang sering diasosiasikan dengan daur ulang (meskipun dalam Ekonomi Sirkular daur ulang adalah opsi terakhir setelah upaya lain), apabila pakaian tersebut masih dalam kondisi yang baik, bisakah kita memilih untuk menjualnya agar orang lain dapat memanfaatkannya, alih-alih segera membuangnya? Atau, bisakah kita menyumbangkan pakaian yang masih layak pakai kepada mereka yang lebih membutuhkan?
Mengadopsi pola pikir yang cermat ini secara konsisten mendorong kita untuk mempertimbangkan dan menghargai setiap tahap dalam "perjalanan" suatu barang, beralih dari kebiasaan linear yang hanya berujung pada perancangan, penggunaan, dan pembuangan.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
KOMENTAR