Nationalgeographic.co.id—Para ilmuwan di seluruh Asia dan Pasifik, dengan dukungan krusial dari Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA), telah mencapai terobosan signifikan.
Mereka berhasil mengidentifikasi sumber karbon yang terperangkap dalam tanah bakau, sebuah penemuan yang membuka jalan bagi pengelolaan dan restorasi lahan basah yang lebih baik.
Lahan basah adalah sekutu tak ternilai dalam perang melawan perubahan iklim. Mereka berfungsi sebagai penyerap karbon atmosfer yang luar biasa efisien. Melalui fotosintesis, bakau menyerap karbon dalam jumlah besar dari udara dan menyimpannya di dalam tanah basah melalui sistem akarnya.
Karbon organik yang terkunci di ekosistem laut ini, yang dikenal sebagai 'karbon biru', dapat bertahan selama berabad-abad, bahkan ribuan tahun.
Namun, ekosistem vital ini sangat rentan terhadap tekanan manusia dan lingkungan. Upaya konservasi dan pengelolaan lahan basah sering terhambat oleh kurangnya data ilmiah yang komprehensif mengenai layanan ekosistem yang mereka berikan.
Masalah ini sangat relevan di kawasan Asia-Pasifik, rumah bagi beberapa lahan basah terbesar di dunia, termasuk keindahan Taman Nasional Wasur di Indonesia.
Ketika Hutan Bakau Hilang, Karbon Pun Dilepaskan
Kerusakan hutan bakau di Indonesia telah melepaskan sejumlah besar karbon yang tersimpan dalam vegetasi ke atmosfer, secara signifikan menghambat kemampuan penyerapan 'karbon biru' di tanah.
Namun, ada harapan. Dengan dukungan program kerja sama teknis IAEA, para ilmuwan di Teluk Lampung, Indonesia, telah menggarisbawahi pentingnya bakau dalam akumulasi karbon.
Dengan menganalisis sampel inti dari hutan bakau, mereka menggunakan teknik isotop stabil dan radiometrik untuk menentukan laju akumulasi dan sumber karbon.
Analisis isotop stabil adalah metode ampuh yang digunakan untuk memahami aliran energi dan nutrisi, serta dinamika jaring makanan, terutama di lahan basah.
Baca Juga: Demi Lindungi Ekosistem Pesisir, Proyek Karbon Biru Ambisius Diluncurkan di Jakarta
KOMENTAR