Nationalgeographic.co.id—Asia Timur, dengan garis pantainya yang luas, keterikatan budayanya yang dalam terhadap laut, dan kerentanannya terhadap perubahan lingkungan, berdiri di garis depan revolusi "pangan biru."
Revolusi ini berjanji untuk membentuk kembali ketahanan pangan dan keberlanjutan di wilayah yang padat penduduk ini. Saat ini, sistem pangan berbasis darat menghadapi tantangan yang semakin meningkat seperti degradasi lahan, kelangkaan air, dan iklim yang tidak menentu.
Pangan biru, yang mengacu pada makanan dari sistem akuatik, menawarkan solusi yang sangat dibutuhkan untuk mendiversifikasi pasokan pangan, meningkatkan nutrisi, dan membantu adaptasi iklim.
Wilayah ini merupakan kekuatan pendorong ekonomi biru global, yang menopang jutaan mata pencarian. Peran Tiongkok sangat menonjol, menyumbang sekitar 35,5 persen dari total ikan dan makanan laut dunia pada tahun 2022.
Namun, ekspansi saja tidak cukup. Banyak perikanan di Laut Cina Timur dan Laut Kuning telah dieksploitasi secara berlebihan, menyoroti kebutuhan mendesak untuk beralih dari model pertumbuhan yang agresif ke pendekatan produksi yang lebih berkelanjutan secara ekologis.
Di Jepang, misalnya, penurunan stok ikan dan populasi nelayan yang menua mengancam keberlangsungan perikanan skala kecil, sehingga menuntut pergeseran ke akuakultur bernilai tinggi dan berdampak rendah.
Menuju Produksi Pangan Biru yang Berkelanjutan
Untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat secara berkelanjutan, Asia Timur harus beralih dari sekadar skala produksi ke akuakultur berbasis ekosistem dan efisiensi.
Bivalvia dan makroalga (rumput laut), yang sudah umum di wilayah ini, menawarkan alternatif berdampak rendah dan tangguh iklim. Bivalvia berperan dalam siklus nutrisi dan pemurnian air, sementara rumput laut menyerap karbon dan mengurangi tekanan pada tanaman darat.
Hanya saja, sistem ini, meskipun menawarkan manfaat ganda untuk keanekaragaman hayati dan mitigasi iklim, masih menghadapi kendala terkait infrastruktur, pasar, dan koherensi regulasi.
"Kebutuhan mendesak ini melampaui perluasan produksi hingga pembentukan kerangka kerja tata kelola yang memprioritaskan model akuakultur berkelanjutan, disesuaikan dengan konteks ekologi dan sosial-ekonomi unik di Asia Timur," papar Shoba Suri dan Subhasree Ray di laman eastasiaforum.org.
Baca Juga: Bagaimana Teluk Lampung Mengajarkan Ilmuwan Dunia tentang Karbon Biru?
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR