Namun, perjumpaan dengan harimau memang tidak terelakkan. Harimau dikenal suka berjalan di setapak, punggung bukit, dan jalur lintasan yang bersih. Ia tidak menerabas belukar, kecuali saat berburu sembunyi-sembunyi.
Baca Juga : Sempat Menjadi Sajian Mewah, Begini Sejarah Es Batu di Indonesia
Penduduk hutan akhirnya mengembangkan sebentuk adaptasi hidup bersama harimau berdasarkan campuran kearifan daerah asal dan setempat. Kearifan Jawa terlihat dari panggilan hormat bagi gajah dan harimau: simbah, atau eyang, nenek. “Gajah kita panggil simbah gede, harimau kita panggil simbah loreng, atau simbah karet: yang mencakar sambil menyeret,” ujar Ismanu yang mewakili generasi pendatang dengan pandangan budaya Jawa.
Jarang sekali penduduk di bentang alam Bukit Barisan Selatan memakai kata harimau. Mereka memakai beragam kata ganti: simbah, nenek, dia, ‘yang itu’, ‘yang satu itu’, si kumis, si loreng ataupun ‘binatang itu’. Menyebut kata harimau, dipercayai hanya mencari perkara: memanggil si predator. Harimau punya telinga bumi. Bila menyebut harimau, kata ini merambat di dalam tanah, ia mendengar, lalu datang.
Saat membuka hutan, papar Ismanu, orang membawa golok dalam sarung kayu yang bisa berbunyi sewaktu berjalan. Tujuannya, harimau tidak mendekat. “Atau, kita merokok sehingga bau asapnya mengusir ia pergi. Malam pun bila melihat kilatan lampu senter, ia akan menyimpang. Itu sifatnya.”
Penulis | : | Lajovi Pratama |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR