Nationalgeographic.co.id - Beberapa wilayah memiliki makanan atau minuman khas untuk berbuka puasa. Salah satunya adalah cincau hitam atau janggelan yang selalu dicari saat memasuki bulan Ramadan. Dengan tambahan es dan gula, janggelan menjadi minuman istimewa Saat berbuka puasa.
Salah satu pembuat cincau hitam yang terkenal adalah Sumarni (63), warga Dusun Jetak Desa Tanjung Sari Kabupaten Magetan Jawa Timur. Janggelan buatan Sumarni bukan hanya dikonsumsi masyarakat Magetan, namun juga dikirim ke Ponorogo, Madiun, Ngawi, Solo, Yogyakarta hingga Klaten.
Kompas.com mencoba melihat pabrik pembuatan janggelan milik Sumarni. Lagu langgam campur sari sayup diputar dari pabrik janggelan yang terbuat dari anyaman bambu, Rabu (22/5/2019) siang. Sejumlah pekerja terlihat sibuk di tiga tungku panas yang digunakan untuk memasak janggelan yang masih berbentuk cair.
Janggelan cair yang berwarna hitam dan masih panas itu memenuhi bak putih setinggi 50 cm saat keran yang terhubung dengan panci besar setinggi dua meter tersebut dibuka.
Baca Juga: Ragam Makanan Khas dan Ngabuburit, Ini Tradisi Unik Ramadhan di Berbagai Dunia
Supardi, salah satu pekerja dengan cekatan mengganti ember yang penuh lalu dipindahkan ke tengah ruangan untuk didinginkan. Ia mengaku sudah tiga tahun terakhir bekerja sebagai pembuat janggelan di pabrik milik Sumarni.
Selama memasuki bulan Ramadhan permintaan janggelan ditempatnya meningkat dratis. Saat hari biasa, pabrik janggelan milik Sumarni hanya memperkerjakan empat orang. Namun jumlahnya akan bertambah dua kali lipat saat bulan puasa.
“Subuh itu sudah mulai manasin di tungku pertama. Selesainya kadang tengah malam,” ujarnya Supardi.
Untuk membuat janggelan harus melewati beberapa tahap. Yang pertama, pekerja memotong bahan baku utama yaitu daun janggelan yang telah dikeringkan. Lalu potongan janggelan tersebut dimasak di tungku bejana yang berukuran dua meter dan bisa menampung 100 kilogram daun janggelan yang sudah dipotong.
Untuk memasak janggelan tahap pertama dibutuhkan waktu sekitar lima jam. Lalu air rebusan janggelan disaring dan ditiriskan. Air rebusan janggelan tersebut kemudian di masak lagi di dalam bejana yang ukurannya lebih kecil dengan suhu yang lebih tinggi.
Pabrik janggelan milik Sumarni sampai saat ini masih menggunakan kayu bakar. Ia beralasan memasak dengan menggunakan kayu akan menghasilkan panas yang lebih stabil.
“Di tungku dua nggak lama. Paling setengah jam sudah masak,” imbuh Supardi.
Dari tungku kedua, cairan janggelan yang sudah masak akan dipindah ke tungku ke tiga. Di tungku ini, cairan janggelan diaduk dengan campuran tepung terigu dan terus masak dengan suhu mencapai 100 derajat celcius.
Setelah bahan dipastikan tercampur rata, cairan janggelan akan dicetak ke dalam ember seukuran 23 kilogram atau ember kecil dengan ukuran 10 kilogram. "Satu ember besar kita jual Rp 40.000, kalau ember kecil kita jual Rp 20.000,” ujar Sumarni pemilik pabrik.
Baca Juga: Santri-santri Bengal Zaman Kolonial
Selama memasuki bukan puasa, Sumarni mengaku pabrik janggelan miliknya menghabiskan bahan baku hingga 300 kilogram dengan jam kerja dari subuh hingga tengah malam dan menghasilkan sedikitnya 400 ember janggelan per hari.
Padahal di hari biasa, pabriknya hanya memproduksi janggelan setiap tiga hari sekali dengan bahan baku sebanyak 50 kilogram. “Pedagang sendiri yang ngambil kesini,” ucapnya.
Sumarni merintis usaha janggelan di Magetan sejak tahun 2001 lalu. Sebelumnya, ia hanya memasok kebutuhan bahan baku pembuatan janggelan ke Palembang karena di desa tempat tinggalnya dulu merupakan pembudidaya tanaman janggelan. Warga menanam sebagai tanaman sela saat musim kemarau.
"Dulu satu rumah warga punya berton-ton janggelan kering. Sekarang sudah nggak ada yang mau nanam, karena harga janggelan sempat murah. Dulu janggelan kering hanya Rp 2.500,” katanya.
Karena tak ada lagi warga Magetan yang menanam tanaman janggelan, Sumarni terpaksa mendatangkan janggelan dari Kabupaten Pacitan, Ponorogo, Wonogiri, higga Kota Trenggalek. Kelangkaan bahan baku membuat harga bahan baku janggelan melonjak tajam. "Satu kilo sekarang Rp 45.000. Itupun barangnya susah dicari,” keluhnya.
Selama bulan Ramadhan Sumarni mengaku mampu meraup penghasilan lebih dari Rp 10 juta per hari. Sayangnya kelangkaan dan tingginya harga bahan baku pembuatan keuntungan Sumarni menipis.
Untuk menyiasati hal tersebut, Sumarni mengaku akan mencoba memproduksi agar-agar dari rumput laut. "Kita mau mencoba untuk membuat agar-agar dari rumput laut selain memproduksi janggelan,” katanya.
Janggelan yang siap konsumsi banyak diburu masyarakat di bulan Ramadhan untuk campuran membuat minuman berbuka puasa. Beragam minuman bisa dibuat dari campuran janggelan seperti cendol janggelan hingga minuman coklat yang dicampur dengan serutan janggelan.
Baca Juga: Telisik Awal Sastra Melayu-Tionghoa Lewat Syair Iklan Abad ke-19
Salah satu warga Magetan, Yeni mengaku membeli janggelan di pabrik Sumarni untuk bahan baku pembuatan minuman es campur yang dijualnya. "Untuk jualan es campur di bazar Ramadhan. Selain itu ada juga cendol janggelan,” ujarnya.
Menurut Sumarni, janggelan kaya akan serat serta berkhasiat untuk mencegah panas dalam. Tingginya serat dalam hasil olahan janggelan juga diyakini bisa mencegah gangguan pencernaan dan menurunkan tekanan darah tinggi.
Janggelan juga bisa dimanfaatkan untuk menurunkan berat badan atau diet. "Paling bagus yang saringan pertama yang paling pahit. Disimpan di kulkas baru dikonsumsi. Khasiatnya banyak, kalau kita konsumsi kan rasanya langsung terasa di perut jadi adem,” jelasnya.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR