Dzalisa, Georgia, 41°57\'39" LU, 44°37\'036" BT
Perkenalkan Maka Kozhara: seorang ahli anggur. Muda, cerdas, ramah.
Kozhara duduk di sebuah ruang bawah tanah yang besar di lembah hijau berlumpur di Republik Georgia. Ruang bawah tanah tersebut terletak di bawah sebuah tiruan istana Perancis. Kebun-kebun anggur di luar, ditanam dalam baris keriput, terbentang jauh bermil-mil. Suatu hari, pada akhir abad ke-19, pemilik chateau, seorang Francophile, seorang penjual anggur dan bangsawan Georgia yang eksentrik, memompa berbarel-barel sampanye yang dibuat di rumah melalui air mancur luar ruangan yang besar: semprotan emas gelembung-gelembung yang dapat diminum menyembur ke udara.
“Itu untuk sebuah pesta,” kata Kozhara. “Dia suka anggur.”
Kozhara memutar segelas anggur di tangannya. Dia mengangkat gelas ke atas hingga lampu langit-langit. Dia sedang memeriksa merah setempat–mengamati apa yang fisikawan sebut Gibbs-Maranoni Effect: Bagaimana tegangan permukaan cairan bervariasi tergantung pada struktur kimianya. Ini adalah alat diagnostik. Jika –tetesan-tetesan kecil anggur menempel pada bagian dalam gelas: anggur kering, vintage alkohol tinggi. Jika anggur menetes turun dengan lamban ke permukaan kaca: lebih wangi, nektar kurang beralkohol. Tetesan-tetesan yang halus tersebut dijelaskan, di antara para penikmat, sebagai “kaki-kaki” anggur. Tapi di sini di Georgia anggur juga memiliki kaki dari jenis yang berbeda. Kaki yang melakukan perjalanan. Yang menaklukkan. Yang berjalan keluar dari Kaukasus di Zaman Perunggu.
“Anggur bagi kami adalah agama,” kata Maka Kozhara di pabrik anggur Château Mukhrani. (Paul Salopek/National Geographic)
Akar tunggang anggur Georgia yang kuat dan sangat tua. Mereka menelusuri ke bawah ke batuan dasar waktu, ke dalam kubah terdalam dari ingatan manusia. Masyarakat yang menetap paling awal di dunia–kerajaan dari Fertile Crescent, Mesopotamia, Mesir, dan kemudian dari Yunani dan Roma–kemungkinan mengimpor rahasia pemeliharaan anggur dari lembah terpencil ini, ladang-ladang ini, tebing-tebing berkabut Eurasia ini. Georgia kuno terkenal membuat anggur mereka di dalam tong tanah liat yang disebut kvevri. Sekarang, bejana-bejana bulat ini masih diproduksi. Para penjual anggur masih mengisinya dengan anggur. Periuk-periuk tersebut menandai Georgia seperti telur dinosaurus raksasa. Mereka berada di bawah rumah petani, di restoran, di taman, di museum, di luar stasiun pengisian bahan bakar. Kvevri merupakan sebuah simbol dari Georgia: sumber kebanggaan, persatuan, kekuatan. Mereka pantas tampil di bendera nasional. Telah dikatakan bahwa salah satu alasan mengapa Georgia tidak pernah berubah secara massal menjadi Islam (Arab menginvasi wilayah di abad ketujuh) adalah karena keterikatan mereka pada anggur. Georgia menolak untuk menyerah minum.
Kozhara menuangkan saya segelas. Ini adalah vintage terbaik dari anggurnya, berwarna gelap seperti tinta, padat. Cairan tersebut bersinar di tanganku. Mengembuskan napas aroma tanin yang membumi. Ini adalah aroma yang sangat familiar, setua peradaban, yang masuk segera ke kepala.
“Anggur”—Kozhara menyatakan dengan tegas—“adalah agama kami.”
Yang mana satu-satunya tanggapan yang mungkin adalah: Amin.
“Kami tidak tertarik dalam membuktikan bahwa pembuatan anggur lahir di Georgia,” tegas David Lordkipanidze, direktur Museum Nasional Georgia, di Tbilisi. “Itu bukanlah tujuan kami. Terdapat banyak pertanyaan yang lebih baik untuk ditanyakan. Mengapa memulai pembuatan anggur? Bagaimana itu menyebar di seluruh dunia kuno? Bagaimana Anda menghubungkan varietas anggur saat ini dengan anggur liar? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan penting.”
Lordkipanidze mengawasi upaya yang luas, multinasional, dan ilmiah untuk menggali asal-usul anggur. Amerika memiliki NASA. Islandia memiliki Bjork. Tapi Georgia memiliki proyek “Penelitian dan Pempopuleran Budaya Buah Anggur dan Minuman Anggur Georgia”. Arkeolog dan ahli botani dari Georgia, ahli genetika dari Denmark, ahli Carbon-14 dari Israel, dan spesialis lain dari Amerika Serikat, Italia, Perancis dan Kanada telah berkolaborasi sejak awal 2014 untuk mengeksplorasi keterlibatan manusia primordial dengan tanaman anggur.
Peta perkebunan anggur kini, dan situs kuno tinggalan perihal anggur. (National Geographic)
Patrick McGovern, seorang arkeolog molekul dari University of Pennsylvania di Philadelphia dan seorang anggota kelompok intelektual ini, menyebut anggur mungkin “minuman yang paling konsekuensional” dalam kisah spesies kita.
“Bayangkan kelompok-kelompok pemburu-pengumpul bertemu untuk pertama kalinya,” ujar McGovern. “Anggur membantu mengumpulkan orang bersama-sama. Ini adalah dorongan sosial. Alkohol melakukan hal ini.”
Manusia telah mengkonsumsi alkohol begitu lama sehingga 10 persen enzim di dalam hati kita telah berevolusi untuk memetabolismenya menjadi energi: sebuah tanda pasti dari keantikan minum minuman keras. Bukti kuat tertua dari fermentasi buatan berasal dari Cina sebelah utara, di mana residu kimia dalam tembikar menunjukkan bahwa 9.000 tahun yang lalu nenek moyang kita meminum koktail asli dari beras, madu dan buah liar.
Minuman anggur dari buah anggur muncul sesaat kemudian. McGovern menduga bahwa inovasi mereka tidak disengaja: anggur liar hancur di bagian bawah wadah, jus mereka sudah buruk, sebagian dicerna oleh ragi udara. Selama ribuan tahun, proses fermentasi tetap menjadi misteri. Ini memberi anggur kekuatan dunia lainnya. “Anda memiliki substansi mengubah pikiran yang datang entah dari mana,” ujar McGovern, “dan demikianlah minuman ini mulai muncul di pusat agama kami. Anggur menjadi tertanam dalam kehidupan, dalam keluarga, dalam iman. Bahkan orang mati mulai dikuburkan dengan anggur.”
Sejak awal, anggur lebih dari sekedar memabukkan. Itu adalah obat mujarab. Kandungan alkohol dan resin pohonnya, yang pada zaman dahulu ditambahkan sebagai pengawet anggur, memiliki kualitas anti-bakteri. Berabad-abad ketika sanitasi buruk, minum anggur-atau mencampurnya dengan air mengurangi penyakit. Anggur menyelamatkan nyawa.
“Budaya yang membuat anggur yang pertama produktif, kaya,” kata Mindia Jalabadze, seorang arkeolog Georgia. “Mereka menanam gandum dan barli. Mereka memiliki domba, babi, dan sapi-mereka membesarkan mereka. Kehidupan yang baik. Mereka juga berburu dan memancing.”
David Lordkipanidze, pemimpin upaya multinasional untuk menggali asal-usul minuman anggur. “Kami tidak sekedar memperebutkan siapa yang pertama.” Museum Nasional Georgia, Tbilisi.(Paul Salopek/National Geographic)
Jalabadze sedang berbicara tentang budaya Neolitik yang disebut Shulaveri-Shomu yang memiliki situs gundukan di Georgia yang muncul selama siklus basah di Kaukasus sebelah selatan dan tanggal kembali ke gagasan pertama tentang pertanian, sebelum zaman logam. Para penduduk desa menggunakan alat-alat batu, alat dari tulang. Mereka membuat periuk-periuk raksasa seukuran lemari es. Wadah-wadah tersebut—pelopor untuk kvevri buatan—menyimpan gandum dan madu, namun juga anggur. Bagaimana kami bisa tahu? Salah satu periuk tersebut dihias dengan seikat buah anggur. Analisa biokimia mengenai tembikar, yang dilakukan oleh McGovern, menunjukkan bukti asam tartarat, sebuah petunjuk pertanda minuman anggur. Artefak-artefak ini berusia 8.000 tahun. Warisan pembuatan anggur Georgia mendahului temuan lain terkait anggur kuno di Armenia dan Iran berabad-abad. Tahun ini, researchers are Shulaveri-Shomu menyisir situs biji-bijian anggur prasejarah.
Arkeolog Mindia Jalabadze dan sebuah bejana anggur dari abad keenam SM situs desa di sebelah selatan Georgia. (Paul Salopek/National Geographic)
Suatu hari, saya mengunjungi sisa-sisa sebuah kota Romawi berusia 2.200 tahun di pusat Georgia: Dzalisa. Lantai mosaik yang indah dari sebuah istana bersembunyi, dengan aneh dipenuhi, dengan rongga tanah liat yang cukup besar untuk menampung seorang pria. Rongga-rongga tersebut adalah kvevri. Orang-orang Georgia pada abad pertengahan menggunakan reruntuhan arkeologi untuk membuat anggur. Selatan Tbilisi, pada mesa berbatu di atas ngarai sungai yang dalam, terletak temuan hominid tertua di luar Afrika: tempat penyimpanan di sarang hyena berusia 1.8 juta tahun yang berisi tengkorak Homo erectus. Pada abad kesembilan atau kesepuluh, pekerja menggali kvevri raksasa ke dalam situs, menghancurkan tulang pra-manusia yang tak ternilai.
Masa lalu Georgia dirusak oleh anggur. Memarinasi di dalam tanin.
Arkeolog David Sulkhanishvili menyentuh anggur khayalan—rincian anggur dari tahun 2.200 tahun mosaik Romawi di Dzalisa, Georgia. (Paul Salopek/National Geographic)
Selama lebih dari dua tahun, saya telah berjalan kaki ke arah utara keluar dari Afrika. Lebih dari 5.000 tahun yang lalu, anggur berjalan di arah yang berlawanan, selatan dan barat, keluar dari wilayah Kaukasus-nya.
“Migrasi manusia yang khusus melibatkan pembantaian massal,” kata Stephen Batiuk, seorang arkeolog dari University of Toronto. “Anda tahu, migrasi menggunakan pedang. Penggantian populasi. Namun bukan orang-orang yang membawa budaya anggur dengan mereka. Mereka menyebar dan kemudian hidup berdampingan dengan budaya tuan rumah. Mereka menjalin hubungan simbiosis.”
Batiuk sedang berbicara tentang diaspora ikonik dari dunia klasik: perluasan Budaya Trans-Kaukasia Awal (ETC), yang terpancar dari Kaukasus ke timur Turki, Iran, Suriah, dan seluruh dunia Levantin di milenium ketiga SM.
Batiuk dihantam oleh sebuah pola: Tembikar ETC unik mucul dimana pun terjadi budidaya anggur.
“Para migrant ini tampaknya menggunakan teknologi anggur sebagai kontribusi mereka kepada masyarakat,” ujarnya. “Mereka tidak ‘mengambil pekerjaan saya.’ Mereka muncul dengan biji atau stek tanaman anggur dan membawa sebuah pekerjaan baru—pemeliharan anggur, atau setidaknya perbaikan untuk pemeliharaan anggur. Mereka merupakan unsur aditif. Semacam demokratisasi anggur. Kemana pun mereka pergi, Anda melihat ledakan gelas anggur.”
Tembikar ETC bertahan sebagai sebuah tanda arkeologi khusus selama 700 hingga 1.000 tahun setelah meninggalkan Kaukasus. Hal ini mengejutkan para ahli seperti Batiuk. Sebagian besar budaya imigran menjadi terintegrasi, terserap, dan hilang hanya setelah tiga generasi. Namun tidak ada misteri di sini.
Di atas sebuah gunung tunggul pinus di atas Tbilisi, seorang laki-laki bernama Beka Gotsadze membuat anggur di rumah di sebuah gudang di luar rumahnya.
Beka Gotsadze. “Anda memasukkannya ke dalam tanah dan bertanya pada Tuhan: Akankah ini baik?” Sebuah kilang anggur di rumah di luar Tbilisi. Foto oleh Paul Salopek. (Paul Salopek/National Geographic)
Gotsadze: besar, ramah, berwajah merah. Dia adalah salah satu dari puluhan ribu keluarga Georgia biasa yang masih merapal mantra dari Vitis vinifera untuk kesenangan mereka sendiri. Dia menggunakan kvevri tanah liat yang dipendam di dalam tanah; bukit di bawah rumahnya adalah inkubatornya. Ia menyalurkan gulungan air keran rumah tangga di sekitar kendi untuk mengontrol fermentasi. Ia tidak menggunakan bahan kimia, tidak ada bahan aditif. Anggurnya terendam di dalam kegelapan dengan cara yang selalu dimiliki anggur Gregoria: buah anggur ditumbuk bersama-sama dengan kulit dan batangnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR