Nationalgeographic.co.id—Lanskap pedesaan dan bentang alam tropis adalah keajaiban yang pernah ada di Bumi Pertiwi. Begitupun faktanya, keindahan alam merupakan salah satu tujuan utama para pelancong untuk datang menyaksikannya.
Pada abad ke-19, keindahan alam tropis yang terbentang di khatulistiwa menjadi fantasi yang terbayangkan oleh bangsa-bangsa Barat, seperti halnya Amerika dan Eropa.
Pesona dan eksotisme alam tropis seakan menyihir para petualang, evolusionis, ilmuwan, orientalis dan masyarakat awam dari bangsa Barat. Mereka datang untuk menjelajahi Nusantara.
Gregorius Andika Ariwibowo dalam jurnalnya menyebut bahwa keanekaragaman hayati, pesona eksotika budaya timur, alam liar yang misterius, kehidupan manusia yang sederhana dan tradisional, menjadi imajinasi yang menumbuhkan rasa penasaran orang-orang kulit putih untuk datang dan berkunjung.
Ia menulisnya dalam jurnal Patanjala berjudul Wisata Alam di Keresidenan Priangan Pada Periode Akhir Kolonial (1830-1942) yang terbit pada September 2015.
"Di Eropa, dunia tropis Nusantara pertama kali muncul melalui cerita-cerita perjalanan dan buku-buku yang berisi tentang situasi dan kondisi kehidupan alam, budaya, dan masyarakatnya," tulisnya.
Nusantara yang kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Belanda, Hindia Belanda, mulai bergerak dalam industri pariwisata alam. Tulisan mengenai Hindia Belanda, terutama Jawa pertama kali disusun oleh Thomas Stamford Raffles melalui bukunya yang berjudul History of Java (1817).
Buku ini berisi tentang banyak hal mengenai Pulau Jawa, mulai dari flora dan fauna, kekayaan alam yang dimiliki, kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya. Ada pula tentang sistem pemerintahan dan ekonomi, serta peninggalan sejarah di pulau ini.
Salah satu faktor penting yang mendukung kunjungan para pelancong ke Hindia Belanda adalah keberadaan Pameran Kolonial Internasional yang digelar pertama kali di Amsterdam, Belanda pada tahun 1883.
"Pertunjukan dan penampilan budaya dari Hindia Belanda justru menjadi daya tarik utama dari pameran ini," imbuh Gregorius.
Pada Pameran Kolonial Internasional pertama ini, ditampilkan keseluruhan bentuk pedesaan tradisional di Jawa, serta keseharian dari para penduduknya yang tinggal di Hindia Belanda.
Menurut Christiane Demeulenaere Douyère pameran kolonial ini membawa dampak bagi perkembangan turisme di kawasan daerah-daerah jajahan.
Hal ini terjadi karena pameran kolonial ini mempertemukan antara dua kebudayaan dan peradaban yang meskipun dibatasi oleh diskriminasi dan rasisme yang terjadi pada masa itu. Namun, itu justru mengundang ketertarikan bangsa Eropa.
Baca Juga: Penyakit Kelamin Menjangkiti Kekuatan Militer Hindia Belanda
Baca Juga: Bon Rojo Berkisah: Ruang Terbuka Hijau di Blitar dari Zaman Belanda
Baca Juga: Melongok Taman Sriwedari Sebagai Hiburan Jawa Zaman Hindia Belanda
Baca Juga: Catatan Tionghoa, Ketika Putra Mahkota Tsar Rusia Melancongi Batavia
Bloembergen dalam tulisan Gregorius mengatakan bahwa ini merupakan suatu ajang pamer dunia “primitif” dan “eksotis” dari peradaban “lain” di belahan dunia timur kepada masyarakat “modern” Eropa.
Namun, menurutnya, hal ini juga mendorong ketertarikan orang-orang Eropa untuk mempelajari dan mengetahui, kemudian mengunjungi agar dapat melihat langsung kelestarian pedesaan dan kehidupan penduduk bumiputera di Hindia Belanda yang eksotis.
Melalui rangkaian foto, berita perjalanan, buku-buku, dan pameran kolonial ini, dunia timur yang tadinya merupakan terra incognita (dunia yang tidak diketahui), menjadi terra fantastica (Dunia yang menakjubkan).
Source | : | jurnal Patanjala |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR