Nationalgeographic.co.id—Bencana tsunami yang melanda timur laut Jepang pada 11 Maret 2011 merenggut nyawa sekitar 18.500 orang. Banyak nyawa bisa diselamatkan jika peringatan dini tentang tsunami yang akan datang telah memasukkan prediksi yang akurat tentang seberapa tinggi air akan mencapai titik-titik berbeda di sepanjang garis pantai dan lebih jauh ke pedalaman.
Kini, area pesisir di Jepang itu telah memiliki jaringan sensor terbesar di dunia untuk memantau pergerakan dasar laut. Sebanyak 150 stasiun lepas pantai yang membentuk jaringan ini memberikan peringatan dini tsunami.
Namun, agar bermakna, data yang dihasilkan oleh sensor perlu diubah menjadi tinggi dan luasan tsunami di sepanjang garis pantai. Upaya pemrosesan data inilah yang menjadi tantangan.
Untuk menghasilkan data tinggi dan luasan tsunami, biasanya dibutuhkan penyelesaian persamaan nonlinear yang sulit secara numerik yang biasanya memakan waktu sekitar 30 menit pada komputer standar. Namun, tsunami 2011 telah melanda beberapa bagian pantai hanya 45 menit setelah gempa.
Saat ini, Iyan Mulia dari Laboratorium Ilmu Prediksi RIKEN dan rekan-rekan kerjanya telah menggunakan pembelajaran mesin (machine learning) untuk memangkas waktu perhitungan tersebut menjadi kurang dari satu detik. RIKEN adalah lembaga penelitian terbesar di Jepang yang komprehensif, terkenal untuk penelitian berkualitas tinggi dalam berbagai disiplin ilmu
“Keunggulan utama metode kami adalah kecepatan prediksi, yang sangat penting untuk peringatan dini,” jelas Mulia, peneliti asal Indonesia, seperti dikutip dari keterangan tertulis RIKEN.
“Pemodelan tsunami konvensional memberikan prediksi setelah 30 menit, yang terlambat. Tapi model kami dapat membuat prediksi dalam hitungan detik.”
Karena tsunami jarang terjadi, tim melatih sistem pembelajaran mesin mereka menggunakan lebih dari 3.000 peristiwa tsunami yang dihasilkan komputer. Mereka kemudian mengujinya dengan 480 skenario tsunami lainnya dan tiga tsunami sebenarnya.
Hasilnya, model berbasis pembelajaran mesin mereka itu dapat mencapai akurasi yang sebanding hanya dengan 1% upaya komputasi.
Baca Juga: Kedua Kalinya Sebuah Tsunami Menyebar ke Tiga Samudra, Kok Bisa?
Baca Juga: BNPB Belajar Mitigasi Tsunami dari Smong, Kearifan dari Simeulue
Baca Juga: Gempa Cianjur Tergolong Sedang, 162 Orang Tewas: 'Kita Harus Belajar'
Pendekatan pembelajaran mendalam (deep learning) yang sama dapat digunakan untuk skenario bencana lainnya di mana waktu sangat penting. “Langit adalah batasnya—Anda dapat menerapkan metode ini untuk prediksi bencana apa pun yang batasan waktunya sangat terbatas,” kata Mulia.
Iyan Mulia pertama kali tertarik mempelajari tsunami setelah tsunami Samudera Hindia tahun 2004 atau juga dikenal sebagai tsunami Aceh menghancurkan wilayah pesisir di negara asalnya, Indonesia. "Saya sekarang sedang mengerjakan prediksi gelombang badai, juga menggunakan pembelajaran mesin."
Mulia mencatat bahwa metode ini hanya akurat untuk tsunami besar yang lebih tinggi dari sekitar 1,5 meter. Jadi, dia dan timnya sekarang berusaha meningkatkan akurasinya untuk tsunami yang lebih kecil.
Mulia meyakini bahwa dalam konsisi tsunami atau bencana apa pun, waktu sedikit apa pun, bahkan sepersekian detik, sangatlah berharga dan krusial untuk menyelamatkan ini. Jadi, teknologi peringatan dini ini berpotensi untuk bisa menyelamatkan banyak nyama di situasi-situasi genting semacam itu.
Hasil studi Mulia dan rekan-rekan kerjanya itu telah diulas dan dipublikasikan pada 19 September 2022. Makalah studi mereka dapat dibaca di jurnal Nature Communications ini.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR