Nationalgeographic.co.id - Setiap kebudayaan memiliki tradisi dan ritual berkabung. Di Kekaisaran Tiongkok, ritual berkabung sangat penting dan diatur oleh kekaisaran. Gagal menjalani ritual berarti hukuman menanti. Bahkan, ritual dan tradisi berkabung bisa memengaruhi segala aspek kehidupan, termasuk karier dan politik.
Hari ketujuh sejak kematian seseorang
Hari ketujuh (touqi) sejak kematian seseorang adalah saat roh mereka berada di dunia orang hidup untuk terakhir kalinya. Tradisi itu masih dilakukan hingga kini, seperti ketika Tiongkok mendeklarasikan hari berkabung nasional setelah gempa Sichuan tahun 2008.
Banyak keluarga saat ini masih mengikuti praktik berkabung touqi. Anggota keluarga menyiapkan altar dengan dupa, lilin, dan persembahan lainnya. Keluarga almarhum juga membakar uang kertas pada hari ketujuh setelah kematian orang yang dicintai.
Di malam hari, makanan disiapkan untuk menyambut arwah almarhum pulang ke rumah. Akan tetapi keluarga harus menghindari bangun di malam hari. “Pasalnya, jika roh melihat mereka dan menjadi terikat pada kehidupan dunia ini, mereka bereinkarnasi,” tulis Liu Jue di laman The World of Chinese.
Ritual berkabung sangat penting di Kekaisaran Tiongkok
Ritual berkabung sangat penting dalam masyarakat Tiongkok kuno. Pengadilan kekaisaran akan mengumumkan masa berkabung nasional (guosang) ketika seorang penguasa atau anggota penting keluarga kerajaan meninggal dunia.
Selama periode Musim Semi dan Musim Gugur (770–476 Sebelum Masehi), mengobarkan perang melawan kekaisaran selama masa berkabung nasional dianggap tidak bermoral. The Commentary of Zuo mencatat beberapa kasus penarikan pasukan ketika guosang diumumkan di tengah perang.
Aturan selama masa berkabung
Berkabung, disebut jusang atau shousang, juga dianggap sebagai ritus penting untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat Konfusianisme. Lamanya masa berkabung, makanan, perilaku yang pantas, kondisi hidup, dan pakaian adalah aspek penting dari ritual berkabung. Itu semua diatur dalam Kitab Etiket dan Upacara dan Kitab Ritus, sebuah teks Konfusius klasik tentang kesopanan dan perilaku di Dinasti Zhou.
Menurut teks-teks ini, masa berkabung bisa berlangsung dari 3 bulan hingga 3 tahun. Lamanya tergantung kedekatan hubungan dan senioritas almarhum dengan keluarga yang ditinggalkan. Selama ini, makan daging, minum alkohol, mengadakan pernikahan, dan menikmati segala jenis hiburan dilarang.
Pakaian berkabung dibagi menjadi lima kelas. Pakaian yang dikenakan oleh mereka yang dianggap paling dekat dengan almarhum adalah yang paling kasar. Pakaian itu terbuat dari rami kasar yang dipotong dengan pisau. “Ini melambangkan tingkat kesedihan yang paling dalam,” tambah Jue lagi.
Di luar itu, semua pakaian terbuat dari linen yang tingkat kehalusannya berbeda-beda, tergantung pada hubungannya dengan almarhum.
The Analects mencatat murid bernama Zaiwo pernah menantang Konfusius tentang periode tiga tahun yang diperlukan untuk berkabung bagi orang tua. Dia berargumen bahwa ini adalah waktu yang terlalu lama untuk tidak mengadakan upacara atau bermain musik. Pasalnya, ritus dan musik sangat penting bagi kepercayaan Konfusianisme.
Konfusius menjelaskan karena anak menghabiskan tiga tahun pertamanya di pelukan orang tua, adalah adil untuk membalasnya dengan masa berkabung yang sama panjangnya.
Setelah Konfusius meninggal, murid-muridnya memperlakukannya sebagai seorang ayah dan berkabung untuknya selama tiga tahun. Meskipun mereka melakukannya tanpa kostum berkabung, yang diperuntukkan bagi kerabat darah.
Ritual berkabung siswa terhadap gurunya ini disebut xinsang (kesedihan hati). Salah satu murid Konfusius yang paling setia, Zigong, bahkan membangun dan tinggal di gubuk kecil. Di sana ia menjaga makam gurunya selama 6 tahun.
Ritual berkabung kekaisaran dan keluarga
Selama Dinasti Qin dan awal Dinasti Han, berkabung nasional merupakan peristiwa besar. Saat kaisar meninggal, seluruh negeri harus berpakaian berkabung selama 3 tahun. Selama itu pula rakyat hidup tanpa daging, anggur, pernikahan, atau hiburan. Semuanya ditegakkan oleh hukum.
Namun kaisar Han ketiga, Kaisar Wen, memutuskan bahwa ini adalah beban yang terlalu serius bagi rakyat. Maka ia mempersingkat waktunya menjadi 36 hari. Juga hanya bangsawan dan pejabat yang boleh melakukan sebagian besar kegiatan yang dilarang. Pada Dinasti Tang, masa berkabung nasional dipersingkat menjadi 27 hari.
Tetap saja, ritual berkabung keluarga tidak kalah pentingnya. Di dinasti Tang, menyembunyikan kematian orang tua atau suami dan tidak melakukan ritual berkabung dapat dihukum setahun kerja paksa.
Akan tetapi aturan yang paling absurd adalah bahwa wanita tidak boleh hamil dalam 27 bulan. Ini mengisyaratkan bahwa pasangan tidak boleh berhubungan seks selama masa berkabung. Kegagalan untuk mematuhi juga dapat dihukum satu tahun kerja paksa.
Pada Dinasti Ming, orang awam biasa mengadakan ritual keagamaan selama pemakaman dan masa berkabung. Di masa itu, Buddhisme, Taoisme, dan kepercayaan rakyat tentang reinkarnasi berkembang.
Pemerintah Ming kemudian menganggap praktik semacam itu bertentangan dengan gagasan Konfusianisme tentang berkabung yang khusyuk. Pejabat memutuskan untuk mencambuk tuan rumah ritual ini dan memaksa biksu yang terlibat untuk kembali ke kehidupan sekuler.
Namun, berbagai catatan dari periode tersebut menunjukkan bahwa undang-undang ini tidak selalu ditegakkan secara ketat. Itu memberi ruang bagi masyarakat umum untuk mengembangkan banyak kebiasaan berkabung rakyat yang melibatkan nyanyian, tarian, dan biksu. Sebagian tradisi bertahan hingga kini.
Ritual berkabung memengaruhi karier politik
Ritual berkabung juga bisa memengaruhi politik. Salah satu ritual berkabung yang penting bagi pejabat di Dinasti Han mewajibkan mereka untuk menunda karier ketika orang tuanya meninggal.
Disebut dingyou, pejabat harus segera mengundurkan diri dan kembali ke kampung halamannya untuk berkabung selama 27 bulan hingga 3 tahun. Para sarjana, di sisi lain, dilarang mengikuti ujian kekaisaran selama masa berkabung.
Meskipun mereka dapat kembali ke posisi semula, cuti berkabung biasanya merupakan kemunduran bagi karier. Lawan politik juga dapat mengambil kesempatan untuk mencari kesalahan dan melaporkan setiap pelanggaran ke pengadilan. Pada akhirnya itu dapat berujung pada penurunan pangkat.
Baca Juga: Setelan Baju Batu Giok Abadi dari Makam Elite Dinasti Kaisar Tiongkok
Baca Juga: Pembantaian Wu Hu, Kekejaman Jenderal Ran Min di Kekaisaran Tiongkok
Baca Juga: Shang Mereformasi Kekaisaran Tiongkok Dinasti Qin, Tapi Tewas Tragis
Penyair Tang terkenal dan pejabat Bai Juyi adalah korban dari skema semacam itu. Selama masa berkabung untuk ibunya, dia menulis dua puisi berjudul “Menghargai Bunga” dan “Sumur Baru”. Padahal, sang ibu meninggal akibat terjatuh ke sumur saat mengangumi bunga. Namun puisi Bai tidak ada kaitannya dengan ibunya.
Ini dilaporkan ke pengadilan kekaisaran oleh lawan-lawannya, yang mengeklaim itu sebagai tindakan tidak berbakti. Bai diturunkan dari posisinya di pemerintahan pusat ke posisi provinsi.
Tentu saja, selalu ada pengecualian. Jika kaisar menganggap pejabat tertentu terlalu penting untuk meninggalkan tugasnya, dia dapat memerintahkan mereka untuk tetap bertugas selama masa berkabung.
Salah satu insiden terkenal melibatkan politisi Dinasti Ming, Zhang Juzheng, yang memegang jabatan tertinggi di pemerintahan.
Dia berada di tengah-tengah reformasi politik ketika mengetahui ayahnya meninggal dunia. Meskipun dia berkali-kali memohon kepada kaisar untuk mengundurkan diri, kaisar menolak. Zhang harus tetap bekerja dan menemukan cara untuk berkabung sambil menjalani kehidupan sehari-harinya.
Seiring dengan berjalannya waktu, ritual berkabung dan aturannya mengalami perubahan. Namun sebagian kecil tradisi dari masa lalu masih ditemukan di zaman modern.
Source | : | The World of Chinese |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR