Enryaku-ji dengan cepat berkembang menjadi kota tersendiri dengan banyak kuil, tempat tinggal biksu, dan institusi pendidikan. Sosoknya juga memainkan peran penting dalam perkembangan Buddhisme Jepang, memunculkan beberapa sekte berpengaruh lainnya seperti Tanah Suci, Zen, dan Nichiren.
Biksu prajurit, atau sōhei, dari Enryaku-ji adalah fitur unik dari Buddhisme Jepang abad pertengahan. Mereka adalah biksu yang mengangkat senjata untuk melindungi kompleks biara dan kepentingannya.
Sōhei bukanlah kelompok yang bersatu melainkan kumpulan biksu yang terorganisir secara longgar dari berbagai kuil dan sekte. Mereka paling menonjol selama periode Heian dan Kamakura (794-1333).
Sōhei dikenal karena keterampilan bela diri dan kesediaan mereka untuk terlibat dalam perselisihan. Mereka sering bertugas sebagai tentara bayaran untuk bangsawan dan tokoh kuat lainnya, dan mereka tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk melindungi kepentingan mereka atau untuk mempengaruhi hasil politik.
Kekuasaan dan otonomi mereka merupakan faktor penting dalam lanskap politik dan agama Jepang abad pertengahan.
Kebangkitan Oda Nobunaga
Oda Nobunaga lahir pada tahun 1534 dari klan Oda, sebuah keluarga panglima perang kecil di Provinsi Owari.
Terlepas dari permulaannya yang relatif sederhana, Nobunaga menunjukkan pemikiran strategis yang tajam dan ambisi yang kejam yang membedakannya.
Menyusul kematian ayahnya, Oda Nobuhide, pada tahun 1551, Nobunaga mengambil alih kepemimpinan klan di tengah perselisihan internal dan ancaman eksternal.
Awal pemerintahannya ditandai dengan serangkaian kampanye militer yang ditujukan untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya di Owari.
Ambisi Nobunaga jauh melampaui batas provinsi asalnya. Dia membayangkan Jepang yang bersatu di bawah pemerintahannya, sebuah mimpi yang membutuhkan penaklukan daimyo saingan dan menetralkan potensi ancaman.
Kebijakannya mencerminkan ambisi ini. Dia mempromosikan pertumbuhan ekonomi, mendorong perdagangan, dan menerapkan reformasi tanah.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR