Nationalgeographic.co.id—Pada tahun 1820, tahun naik takhta George IV, datanglah Yang Mulia Gregor yang Pertama ke London dari Benua Amerika.
Ia mengaku sebagai seorang Pangeran Berdaulat Negara Bagian Poyais dan Daerah-daerah Ketergantungannya, dan Cacique Bangsa Poyer. Sang pangeran tiba tanpa pengumuman dan tanpa upacara. Namun dalam beberapa bulan, namanya melesat bak meteor.
Petualang muda dari Skotlandia mencari peruntungan di Venezuela
Sembilan tahun sebelumnya, pada tahun 1811, seorang petualang muda Skotlandia berlayar ke Venezuela pada usia 25 tahun. Ia mencari peruntungan dalam perang kemerdekaan yang diperjuangkan oleh koloni-koloni Spanyol di Amerika Latin.
"Bernama Gregor MacGregor, ia berasal dari keluarga pejuang," tulis Victor Allan di laman History Today.
Kakeknya adalah seorang anggota klan terkenal, yang dalam bahasa Gaelik disebut Gregor yang Tampan. Sang kakek menjadi salah satu perwira awal Black Watch. Di masa pensiunnya, sang kakek mendapatkan gelar Laird of Inverardine.
Tradisi keprajuritan ini dibawa ke Venezuela oleh cucunya yang juga merupakan orang yang memiliki nama yang sama. Seorang pemuda yang sopan namun angkuh, ia memiliki kepribadian yang unggul.
Gregor muda memiliki imajinasi tak terbatas dan keberanian yang membara. Dengan beberapa tahun pengabdian di tentara Inggris yang mengabadikan jasa-jasanya, MacGregor pun diberi tugas oleh Simon Bolivar.
Kariernya selanjutnya dalam dinas Liberator sangat memukau. Dalam waktu yang sangat singkat, ia ditugaskan, dengan pangkat kolonel, ke staf Jenderal Miranda.
Ketika Spanyol akhirnya mengalami kekalahan di Pantai Karibia, MacGregor, yang haus akan penaklukan baru pun meninggalkan Venezuela. Ia melakukan perang pribadinya sendiri.
Beroperasi dari pangkalan-pangkalan terpencil di antara pulau-pulau kecil, MacGregor mengorganisasi dan memimpin banyak pertempuran. MacGregor melawan pos-pos terdepan Spanyol yang bertahan.
Baca Juga: Sejarah Oktoberfest, Awalnya Merupakan Perayaan Pernikahan Kerajaan
MacGregor menemukan wilayah bekas koloni Inggris
Kemudian, pada musim semi tahun 1820, ia mendarat bersama beberapa rekannya di daratan Nikaragua. Wilayah tersebut dikenal sebagai Pantai Mosquito. Daerah pesisirnya berawa dan penuh hama dan hanya dihuni oleh suku-suku pengembara Suku Mosquito.
Pada abad ke-17, pantai-pantai ini menjadi tempat berkumpulnya semua orang jahat di Maine. Pada tahun 1670, beberapa kapten bajak laut mendirikan markas mereka di pantai.
Oleh karena itu, suku Indian menawarkan untuk mengakui kedaulatan Inggris atas wilayah mereka dengan imbalan perlindungan. Dengan demikian, wilayah tersebut menjadi koloni Inggris. Namun pada tahun 1788, pantai tersebut ditinggalkan dan pendirian kolonial ditarik.
Kehilangan perlindungan dari pemerintah mereka membuat beberapa pemukim secara bertahap menjauh. Seiring berjalannya waktu, jejak terakhir permukiman pun terhapuskan.
Ketika MacGregor tiba pada tahun 1820, ia memiliki rencana untuk rekolonisasi. Ia pun membujuk penguasa Indian yang sudah tua itu untuk memberinya konsesi besar-besaran atas wilayahnya. Kemudian MacGregor segera berangkat ke Inggris untuk mempromosikan usaha yang luar biasa. Apa rencananya?
MacGregor memberi nama wilayah kekuasaannya: Poyais. Ia pun menggelari dirinya sebagai Pangeran Poyais. Dengan impian memiliki kerajaan, pangeran gadungan itu tiba di London untuk mencari dana dan rakyat.
Dua dekade perang kontinental telah membuat Inggris miskin dan terkuras. Penduduknya siap mengikuti godaan keberuntungan apa pun yang menjanjikan pelarian dari kesuraman dunia pascaperang. Mungkin karena itulah MacGregor begitu mudah membuat orang London tahun 1820 terkesan.
Laporan tentang kariernya yang cemerlang dalam perang Amerika Tengah pun beredar di tengah masyarakat Inggris. Kemudian, seperti seorang pembawa berita Atlantis yang hilang, ia membentangkan gambaran tentang sebuah negeri. Bak negeri dongeng nan menakjubkan.
Poyais, kepingan surga di Bumi
Poyais adalah surga, memiliki musim panas yang tiada henti. Tanah subur menghasilkan semua kebutuhan manusia tanpa perlu bekerja keras. Dari pegunungan yang megah, sungai-sungai mengalir ke laut di atas pasir emas murni.
Baca Juga: Bayangan 'Raja Kafir' Buat Melayu-Nusantara Menggandeng Ottoman
Ada juga emas di pegunungan itu – tonjolan berkilau yang darinya siapa pun dapat meramal nasib dengan kapak tangan. Batu-batu berharga dapat dikumpulkan seperti kerikil dari lereng bukit.
Jalan-jalan yang rindang melintasi kerajaan di antara perkebunan tebu, kopi, kapas, dan nila. Kawanan besar ternak digemukkan di padang rumput, buah-buahan langka tumbuh liar dalam jumlah banyak. Burung-burung eksotis berkelebat di bawah sinar matahari. Seolah-olah semua impian umat manusia telah menjadi kenyataan.
Gambaran tentang Poyais dan isi kerajaannya sebenarnya tampak tidak masuk akal. Namun tingkat penipuan yang dilakukan Gregor MacGregor untuk menjerat warga London tampak luar biasa.
Tak lama kemudian, kisah Poyais dan sosok pangerannya disiarkan melalui berbagai cara yang tersedia. Pamflet dan buku dicetak. Kantor-kantor dibuka di London dan Edinburgh. Berbidang-bidang lahan di Poyais dijual bebas seharga 4 shilling per hektar. Tanah yang ditawarkan laris manis bak kacang goreng.
Rombongan pertama menuju ke Poyais
Pada tanggal 10 September 1822, rombongan pertama yang terdiri dari 50 pemukim berlayar dari Leith dengan kapal Honduras Packet. Kebanyakan dari mereka adalah pria dan wanita yang sudah berumur dan berkecukupan.
Mereka adalah petani, perajin dan pedagang yang telah menjual usaha dan menutup toko-tokonya. Bahkan ada kelompok profesional yang diangkat oleh Pangeran Gregor sebagai pejabat negara.
Para pemukim menukar mata uang Skotlandia mereka yang asli dengan uang kertas yang dapat dibayarkan di Bank of Poyais. Ada sekitar 70.000 uang Poyais dicetak di Edinburgh. Bersemangat, penuh harapan, dan sama sekali tidak curiga, kelompok kecil perintis itu pun berlayar.
“Bola salju” penipuan yang digulirkan oleh MacGregor menjadi tak terkendali. Pelayaran selanjutnya harus diatur. Biaya melonjak, pasukan agen dan fungsionaris terus bertambah. Sang pangeran mendapati dirinya kekurangan dana.
"Karena itu, ia mendatangi bankir Perring & Company di London," tambah Allan. Ia mengajukan proposal untuk menerbitkan pinjaman kepada pemerintahnya. Kepala bank tersebut, Sir John Perring, adalah mantan wali kota. Perring juga merupakan salah satu orang paling berpengalaman dalam urusan kota.
Baca Juga: Makna Islam, Tauhid dan Ma’rifat dalam Surat Petisi ke Ottoman
Meski memiliki banyak pengalaman, Perring gagal mendeteksi penipuan tersebut. Perring pun memberikan pinjaman sebesar £200.000 dengan harga penerbitan sebesar 80 persen. Pinjaman itu dijamin dengan sumber daya umum Poyais.
Penerbitan obligasi tersebut merupakan keberhasilan yang luar biasa. Para pemegang saham diberi pilihan untuk menukar obligasi dengan tanah hak milik di Poyais dengan nilai yang setara. Alhasil, ribuan orang bergegas untuk mengambil surat utang tersebut. Bagi MacGregor, tidak ada yang bisa salah.
Pemukim pertama mencapai Poyais
Sementara itu, pemukim pertama mencapai Pantai Mosquito. Di geladak, para emigran bersemangat. Mereka mengenakan mantel, gaun, dan topi terbaik. Semua berusaha keras untuk melihat sekilas menara dan puncak menara ibu kota Poyais. Kapal berlabuh di lepas pantai dan melepaskan tembakan, menunggu otoritas pelabuhan. Penantian itu sia-sia.
Para penumpang menemukan diri mereka di pantai tak berpenghuni, berkilauan dalam panas, sunyi dan mengancam. Percaya bahwa mereka hanya tersesat, mereka turun dan mulai membongkar perbekalan dan barang-barang.
Sementara beberapa orang berangkat ke pedalaman untuk mencari kota. Seakan masalah belum cukup banyak, kapal lain tiba dari Skotlandia membawa 200 orang pria, wanita dan anak-anak.
Sebelum setengah dari barang-barang mereka berhasil didaratkan, badai melanda pantai dan kedua kapal terbawa ke laut. Kapal-kapal itu meninggalkan para pemukim terdampar. Tanpa tempat berlindung, barang-barang mereka berserakan.
Tumpukan perabotan melepuh karena panasnya Pantai Karibia. Para pemukim pun membuat perkemahan darurat. Kelompok-kelompok yang putus asa berjalan di sepanjang pantai untuk mencari bantuan.
Musim hujan semakin dekat, penyakit menyebar dengan cepat di antara mereka. Tak lama kemudian seluruh rombongan menyerah pada malaria dan demam kuning. Fakta tragis itu dicatat oleh seorang penyintas, Edward Lowe.
“Tidak seorang pun,” tulisnya, “yang mampu membantu yang lain dari sekian banyak orang. Dan banyak dari mereka yang baru datang dari Skotlandia sudah lanjut usia. Mereka datang ke sini untuk mengakhiri hari-hari dengan damai dan nyaman.”
Berita tentang kesulitan mereka akhirnya sampai ke koloni Inggris di Honduras, 800 km ke utara. Jenderal Edward Codd, gubernur, segera mengirim bantuan. Sementara penduduk Inggris di Belize bersiap untuk menerima dan merawat yang sakit. Beberapa sudah meninggal, tetapi yang selamat diselamatkan secara bergiliran dan dibawa ke koloni. Total kematian melebihi dua pertiga dari jumlah semula.
Dan ini baru permulaan. Kapal-kapal lain sedang dalam perjalanan. Langkah-langkah harus diambil oleh pihak berwenang di Honduras untuk mencegat dan memperingatkan para pendatang baru sebelum mereka terdampar.
Memang, selama sebagian besar tahun berikutnya, pemerintah kolonial kewalahan dengan masalah penyelamatan dan pemulangan korban tipuan besar ini. Secara keseluruhan, tujuh kapal emigran berlayar dari berbagai pelabuhan di Kepulauan Inggris.
“Pangeran Poyais” melarikan diri
Sementara itu, MacGregor dan rombongannya diam-diam pindah ke Prancis. Seakan belum cukup, di Prancis pun mereka terus melakukan penipuan. Pada tahun 1825, sejumlah perusahaan telah dibentuk di Paris untuk tujuan mengeksploitasi kekayaan Poyais. Pada bulan September tahun itu, sebuah ekspedisi Prancis berlayar dari Le Havre.
Selain itu, dengan keamanan kantor pusatnya yang baru di Paris, sang pangeran membuat kontrak dengan lembaga keuangan London. Thomas Jenkins & Company menerbitkan pinjaman untuk Poyais sebesar £300.000. Pinjaman itu dijamin dengan pendapatan dari tambang emas imajiner Paulaza.
Saat itu, sudah banyak yang menyadari soal penipuan sang pangeran gadungan. Tetapi tercatat dalam kronik bursa efek bahwa ada kegembiraan besar menyertai penawaran umum perdana saham. Dan banyak investor yang gegabah membeli saham tersebut.
Pangeran Poyais akhirnya ditangkap
MacGregor tetap berada di Benua Eropa hingga tahun 1827. Karena merasa Paris terlalu panas untuk menampungnya, ia kembali ke London. Ia segera ditangkap dan dipenjara di Tothill Fields.
Namun, keberuntungannya yang luar biasa masih ada. Ia mungkin memiliki teman-teman di istana, atau mungkin nama-nama yang lebih besar darinya terlibat. Apa pun alasannya, kasus yang memberatkan terhadapnya dibatalkan dan ia segera dibebaskan.
MacGregor tidak membuang waktu untuk kembali ke Paris. Di sana ia mendapat ganjaran berupa kurungan singkat di penjara La Force. Setelah dibebaskan kembali, ia tampaknya telah hidup tenang di Prancis selama beberapa tahun dengan sisa-sisa harta rampasannya.
Namun, saat itu jumlahnya tidak seberapa. Banyak orang lain yang telah berbagi harta rampasan. Sejumlah besar uang telah dihamburkan untuk kemewahan kerajaan fiktif yang telah ia pertahankan selama ini. Ia juga perlu menyewa dan melengkapi kapal-kapal emigran ke Nikaragua.
Pada tahun 1839, uang dan teman-temannya telah habis. MacGregor memohon kepada Pemerintah Venezuela untuk dinaturalisasi dan dikembalikan ke pangkat militer sebelumnya. Ia bahkan menyebutkan tentang jasanya dalam perang kemerdekaan di bawah Bolivar.
Kawan lamanya, Jenderal Carlos Soublette, adalah tokoh terkemuka di antara para pemimpin Republik. Keduanya pernah menghadapi bahaya di Pertempuran Ocumare. Karena itu, permohonannya dikabulkan.
MacGregor segera berangkat ke Venezuela, di mana ia diangkat kembali ke pangkat jenderal divisi dan diberi pensiun.
Bintang Gregor MacGregor tidak pernah meredup. Roda berputar penuh dan membawanya kembali ke posisi yang ia perjuangkan dengan pedang. Pada tahun 1845, ia meninggal pada usia 59 tahun, meninggalkan nama yang dihormati, setidaknya, dalam daftar nama tentara Venezuela.
Source | : | History Today |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR