Laporan ini muncul di tengah kekhawatiran global mengenai kapasitas penyerapan karbon alami yang semakin tertekan.
Hutan, lautan, dan tanah di seluruh dunia selama ini berperan sebagai penyerap karbon utama, menyerap sekitar setengah dari total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan manusia.
Namun, peningkatan suhu global telah mengganggu keseimbangan ini. Di wilayah Arktik, yang mencakup wilayah Siberia, Alaska, negara-negara Nordik, dan Kanada, perubahan iklim telah memicu transformasi signifikan dalam siklus karbonnya.
Arktik, dengan cadangan karbon tanahnya yang setara dengan hampir setengah dari total cadangan karbon tanah global, menyimpan potensi risiko yang sangat besar. Sebagian besar karbon ini tersimpan dalam bentuk beku di dalam permafrost.
Namun, seiring dengan kenaikan suhu, permafrost mulai mencair. Proses pencairan ini memungkinkan mikroorganisme mengurai bahan organik yang sebelumnya beku, melepaskan karbon dalam bentuk gas rumah kaca ke atmosfer.
Fenomena ini, yang dikenal sebagai umpan balik permafrost-karbon, semakin mempercepat pemanasan global dan menciptakan lingkaran setan yang sulit dihentikan.
Anna Virkkala, penulis utama studi ini, menekankan pentingnya pemantauan terhadap perubahan yang terjadi di wilayah Arktik.
Menurutnya, "Ada banyak karbon di tanah Arktik. Jumlahnya mendekati setengah dari kumpulan karbon tanah Bumi. Itu jauh lebih banyak daripada yang ada di atmosfer. Ada reservoir potensial yang sangat besar yang idealnya harus tetap berada di dalam tanah."
"Ketika suhu menjadi lebih hangat, tanah menjadi lebih hangat. Di permafrost, sebagian besar tanah telah sepenuhnya membeku sepanjang tahun. Tetapi sekarang suhunya lebih hangat, ada lebih banyak bahan organik yang tersedia untuk dekomposisi, dan karbon dilepaskan ke atmosfer. Ini adalah umpan balik permafrost-karbon, yang merupakan pendorong utama di sini."
KOMENTAR