Kisah oleh Sherlyta Nurria Meisasi, Siswa SMK Negeri 1 Purwosari, Kabupaten Pasuruan
Nationalgeographic.co.id—Di luar jendela, dunia kini terlihat tak lagi seindah dulu. Udara semakin panas dan langit yang dulu jernih kini dipenuhi kabut tipis tak terlihat, hasil dari jejak karbon kita di bumi.
Karbon dioksida, gas tak kasat mata yang dilepaskan oleh setiap kendaraan, pabrik, hingga aktivitas sehari-hari, perlahan tapi pasti merusak harmoni alam. Gas ini berkumpul di atmosfer, menjerat panas matahari, membuat suhu bumi terus naik tanpa henti.
Kita sering kali tak menyadari bahwa setiap lampu yang menyala lebih lama dari seharusnya atau setiap mobil yang melaju kencang di jalanan, meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus begitu saja.
Akibatnya, iklim yang dulu ramah, mulai bergeser, mengancam keseimbangan ekosistem yang selama ini menopang kehidupan kita. Musim yang dulu teratur kini kacau, es yang beku ribuan tahun mulai mencair. Panas bumi semakin terasa menyengat seolah alam sedang berteriak meminta tolong.
Salah satu penyebab utama peningkatan karbon dioksida adalah penggunaan energi fosil. Di negeri kita yang memiliki sumber daya alam melimpah ini, ada cerita yang tidak kita sadari tentang listrik yang kita nikmati setiap hari. Ternyata, kebanyakan dari listrik yang kita nikmati masih bersumber dari bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam.
Sayangnya, ada sisi gelap dari cerita ini. Sektor energi, terutama yang bergantung pada batu bara, menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Penggunaan batu bara secara masif untuk pembangkit listrik telah menyebabkan emisi melonjak tinggi, terutama sepanjang 1990 hingga 2019. Pada 2019 saja, sekitar 27 persen dari total emisi GRK Indonesia datang dari pembangkit listrik, dan kebanyakan disebabkan oleh si hitam batu bara. (MDPI, 2023 dan Climate Transparency, 2020)
Inilah potret negeri dengan kekayaan alam yang luar biasa, tapi masih bergantung pada sumber energi yang perlahan mengancam lingkungan kita. Apabila energi fosil menjadi masalah, maka solusinya adalah memanfaatkan energi terbarukan. Namun, energi terbarukan tak harus selalu berasal dari alam bahkan aktivitas manusia bisa menjadi sumber energi baru.
“Jika manusia mampu menghasilkan begitu banyak karbon dioksida hanya dengan melakukan aktivitas sehari-hari, bukankah seharusnya kita juga bisa melakukan sesuatu yang sebaliknya?” gumamku dengan semangat baru.
Mengurangi karbon dengan aktivitas yang sama? Di tengah keresahan yang melanda terpikir ide untuk menciptakan sesuatu yang dapat berkontribusi mengatasi krisis iklim, yaitu melalui inovasi energi terbarukan dari energi kinetik.
Baca Juga: Seperti Apa Kebijakan Dekarbonisasi untuk Menghadapi Krisis Iklim?
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR