Nationalgeographic.co.id—Berdasarkan anjuran ilmiah, ketika seseorang mengalami kesulitan napas atau henti napas, pertolongan pertama yang diberikan adalah napas buatan baik secara manual atau dengan menggunakan alat bantu pernapasan.
Napas buatan sendiri merupakan bagian dari resusitasi paru (RPJ) atau cardiopulmonary resuscitation (CPR), yakni teknik pertolongan pertama pada kondisi henti napas atau henti jantung.
Rupanya, tidak hanya manusia yang melakukan pertolongan pertama pada henti napas. Temuan sains menunjukkan bahwa beberapa tikus juga kedapatan mencoba menghidupkan kembali teman-teman mereka dengan 'pertolongan pertama' seperti yang dilakukan manusia.
Tentu tikus melakukannya dengan cara yang berbeda. Hewan pengerat tersebut melakukannya dengan cara mencakar, menggigit, dan menarik lidah teman-teman mereka yang tidak sadar.
Penelitian ilmiah bahkan bahkan mampu mengidentifikasi daerah-daerah otak yang berbeda yang penting untuk perilaku ini.
Temuan ilmiah tersebut mengisyaratkan bahwa perilaku tersebut mungkin umum dilakukan hewan-hewan pada teman-temannya mereka.
Ada bukti anekdotal tentang perilaku yang dilakukan hewan ini, termasuk menyentuh, merawat, menyenggol, dan terkadang memukul. Perilaku ini juga telah diidentifikasi pada gajah, simpanse, dan lumba-lumba.
Meski tindakan yang dilakukan para hewan ini mengingatkan kita pada respons manusia dalam situasi darurat, sulit untuk menentukan sifat sebenarnya dari tindakan para hewan ini.
Selain itu, sulit pula untuk mengetahui seberapa umum tindakan ini dan mekanisme apa yang mungkin mendasarinya.
Dilansir IFL Science, dalam sebuah penelitian ilmiah baru, para peneliti menggunakan tikus laboratorium untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
Mereka menghadirkan tikus yang dibius dan tidak reponsif, lalu merekam respons yang dilakukan teman-temannya yang masih sadar.
Baca Juga: 'Rat Torture', Metode Penyiksaan Paling Sadis dalam Sejarah Dunia
Ketika tikus-tikus itu bertemu dengan pasangan yang dikenalnya dalam keadaan tidak sadar, mereka menunjukkan perilaku yang sangat berbeda terhadap pasangannya.
Perilaku ini biasanya berubah dari tindakan yang lebih lembut seperti mengendus dan merawat menjadi perilaku yang lebih keras seperti menggigit tikus lain atau menjulurkan lidahnya.
Tindakan yang dilakukan tikus-tikus ini jarang terlihat saat pasangannya sedang dalam kondisi aktif atau hanya tidur.
Mereka juga berhenti menggigit atau menjulurkan lidah saat pasangannya mereka kembali tersadar.
Tindakan yang dilakukan tikus-tikus itu cenderung lebih nyata saat kedua tikus saling mengenal.
Selama interaksi selama 13 menit, tikus menghabiskan lebih dari 47 persen waktunya, rata-rata, untuk berinteraksi dengan tikus yang tidak responsif.
Sebaliknya, hanya 5,8 persen waktunya yang didedikasikan untuk tikus yang aktif.
Tindakan yang diarahkan ke mulut atau lidah diamati dalam semua kasus. Selama 50 persen dari waktu tersebut, tikus-tikus itu berhasil menarik lidah pasangannya yang tidak responsif, seolah-olah untuk mencegah penyumbatan saluran udara.
Dalam satu pengujian ilmiah, yang melibatkan benda asing yang dimasukkan ke dalam mulut tikus yang tidak sadar, tikus yang 'merawat' berhasil mengeluarkan benda tersebut 80 persen dari waktunya.
Tampaknya upaya ini berhasil. Tikus yang telah direcoki (dirawat oleh tikus aktif) terbangun dan dapat berjalan kembali lebih cepat daripada yang tidak.
Tim peneliti menulis bahwa pembersihan benda asing dari mulut, pembukaan jalan napas yang lebih baik, dan pemulihan yang lebih cepat menunjukkan upaya yang mirip dengan upaya pemulihan.
Baca Juga: Karni Mata, Kisah Kuil di India yang Dihuni oleh 25.000 Ekor Tikus
Penelitian ilmiah ini bahkan dapat menemukan kekuatan pendorong di balik perilaku ini, dengan mengidentifikasi neuron pelepas oksitosin di amigdala dan hipotalamus yang memicunya.
Mudah untuk melakukan antropomorfisasi (pengenaan ciri-ciri manusia pada binatang) di sini dan melabeli upaya pertolongan pertama hewan pengerat sebagai 'CPR'.
Para peneliti mengatakan bahwa temuan ilmiah tersebut menunjukkan bahwa hewan menunjukkan respons darurat seperti saat menyadarkan kembali teman-temannya.
Ketika mereka membantu anggota kelompok yang tidak responsif, hal itu mungkin merupakan perilaku bawaan yang banyak terdapat di antara hewan sosial.
Perilaku seperti itu kemungkinan berperan dalam meningkatkan kohesi dan kelangsungan hidup kelompok.
Baca Juga: Dunia Hewan: Perubahan Iklim Mengancam Lemur Tikus di Madagaskar
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR