Nationalgeographic.co.id—Awal Maret 2025, Jabodetabek kembali direndam banjir. Bukan sekadar genangan biasa, air meluap hingga setinggi atap rumah, memaksa ribuan warga mengungsi.
Pertanyaan yang mengemuka: apakah ini hanya siklus alamiah, atau ada faktor lain yang memperparah situasi? Tentu, hujan deras adalah penyebab utama, tetapi apakah ada yang membuatnya lebih intens, lebih sering? Di sinilah sains berperan.
Para ilmuwan iklim telah lama memperingatkan tentang dampak perubahan iklim terhadap pola cuaca. Peningkatan suhu global, pencairan es kutub, dan perubahan arus laut—semuanya berkontribusi pada cuaca ekstrem. Hujan lebat yang dulu jarang terjadi kini menjadi langganan, badai yang dulu lemah kini bertransformasi menjadi monster.
Lalu, bagaimana itu bisa terjadi? Mari bersama-sama, kita akan mencari jawaban atas pertanyaan krusial ini merujuk pada uraian yang dilansir Greenly.
Curah hujan yang semakin meningkat
Salah satu dampak signifikan dari pemanasan global adalah peningkatan curah hujan. Atmosfer yang lebih hangat memiliki kemampuan untuk menampung dan melepaskan lebih banyak uap air.
Sebagai ilustrasi, seiring dengan peningkatan suhu atmosfer bumi akibat perubahan iklim, udara dapat menampung uap air hingga 7% lebih banyak untuk setiap kenaikan suhu sebesar 1°C.
Ketika udara yang kaya uap air ini mengalami pendinginan secara cepat, uap air tersebut akan berubah menjadi tetesan air yang kemudian bergabung membentuk hujan dengan intensitas tinggi.
Implikasinya sangat jelas: pemanasan global memproyeksikan peningkatan signifikan dalam peristiwa curah hujan lebat. Beberapa ilmuwan bahkan memperkirakan bahwa pada akhir abad ini, kita berpotensi mengalami curah hujan hingga tiga kali lipat dari rata-rata historis.
Peningkatan intensitas curah hujan ini, atau curah hujan yang berlangsung dalam waktu yang lama, dapat mengakibatkan tanah menjadi jenuh dan meningkatkan volume air di sungai serta aliran air. Kondisi ini secara langsung meningkatkan risiko terjadinya banjir.
Lebih lanjut, peningkatan curah hujan juga mempercepat proses pencairan salju. Hal ini berarti sungai-sungai yang sumber airnya berasal dari salju yang mencair akan mengalami peningkatan aliran air yang signifikan, yang juga meningkatkan potensi banjir.
Baca Juga: Banjir Jabodetabek 2025: Kota-kota Ini Sukses Atasi Banjir Lewat Solusi Berbasis Alam
Badai yang lebih sering dan lebih dahsyat
Data yang ada menunjukkan bahwa perubahan iklim turut berkontribusi pada peningkatan frekuensi dan tingkat keparahan badai, termasuk angin topan dan siklon.
Sebagai contoh, di wilayah cekungan Atlantik, diprediksi akan terjadi peningkatan sebesar 80% pada angin topan kategori 4 dan 5 pada akhir abad ini.
Situasi ini diperburuk oleh fakta bahwa badai-badai ini juga diperkirakan akan membawa curah hujan yang lebih lebat. Kombinasi antara badai yang lebih sering terjadi dan curah hujan yang lebih intens akan menghasilkan peristiwa banjir bandang yang lebih sering pula.
Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah badai-badai ini juga disertai dengan angin yang lebih kencang dan gelombang badai yang lebih besar, yang sangat mematikan.
Sebagai contoh, Badai Katrina pada tahun 2005 menghasilkan gelombang badai setinggi 28 kaki, menyebabkan banjir yang meluas dan mengakibatkan hilangnya nyawa hampir 1.500 orang.
Akibat pemanasan global, gelombang badai diperkirakan tidak hanya akan meningkat dalam ukuran, tetapi juga akan menerjang lebih jauh ke daratan, sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih besar dan ancaman yang lebih serius bagi keselamatan manusia.
Pencairan es yang mempercepat kenaikan permukaan air laut
Seiring dengan meningkatnya suhu udara dan laut, gletser dan lapisan es di seluruh dunia mencair dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Proses pencairan ini menyebabkan permukaan air laut global terus meningkat.
Faktanya, permukaan air laut saat ini diperkirakan sudah 7 hingga 8 inci lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 1990. Para ilmuwan bahkan memperkirakan bahwa permukaan air laut di masa depan berpotensi naik setinggi 5 meter pada akhir abad ini.
Kondisi lapisan es kutub juga sangat mengkhawatirkan. Antartika saja telah kehilangan lebih dari 3 triliun ton es dalam 25 tahun terakhir. Akibatnya, permukaan air laut global telah naik sekitar 8mm.
Jika suhu global terus meningkat, kita dapat mengharapkan percepatan laju pencairan es yang lebih signifikan. Hal ini akan menjadi ancaman yang lebih besar bagi komunitas pesisir, yang mau tidak mau harus beradaptasi dengan banjir pantai dan kehilangan lahan secara permanen.
Baca Juga: Sains: Mengembalikan Lengkungan Alami Sungai dapat Mencegah Banjir
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR