Nationalgeographic.co.id—Konsumen, terutama Milenial, semakin ingin merek yang peduli tujuan dan keberlanjutan. Produk dengan klaim berkelanjutan tumbuh dua kali lipat dibanding produk biasa.
Namun, ada paradoks: 65% responden ingin membeli merek berkelanjutan, tapi hanya 26% yang benar-benar melakukannya. Unilever memperkirakan 70% jejak karbonnya tergantung pada pilihan dan penggunaan produk oleh konsumen.
Mengatasi "kesenjangan niat-tindakan" ini, menurut Katherine White, David J. Hardisty dan Rishad Habib di laman Harvard Business Review, penting. Ada lima cara perusahaan dapat mendorong konsumsi berkelanjutan: pengaruh sosial, pembentukan kebiasaan, efek domino, daya tarik emosi atau logika, dan preferensi pengalaman.
Memanfaatkan Pengaruh Sosial
Pengaruh sosial efektif mendorong perilaku pro-lingkungan. Pada tahun 2010, Calgary meluncurkan program grasscycling. Kampanye informasi kurang berhasil. Kemudian, pesan yang menyoroti norma sosial ("Tetangga Anda melakukan grasscycling. Anda juga bisa") hampir menggandakan partisipasi dalam dua minggu.
Memberi tahu pembeli online bahwa orang lain membeli produk ramah lingkungan meningkatkan pembelian berkelanjutan sebesar 65%. Menginformasikan pengunjung prasmanan tentang norma tidak mengambil terlalu banyak mengurangi limbah makanan sebesar 20,5%. Orang lebih mungkin memasang panel surya jika tetangga mereka melakukannya. Memberi tahu mahasiswa bahwa menggunakan transportasi berkelanjutan membuat mereka lima kali lebih mungkin mengikutinya.
Namun, jika sedikit orang yang terlibat, ini bisa menjadi bumerang. Advokat yang telah melakukan perilaku tersebut lebih meyakinkan. Jack Daniel's berhasil mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam merek maskulinnya. Pesan keberlanjutan harus disesuaikan dengan identitas politik konsumen. Menyoroti atribut positif seperti inovasi dan keamanan juga penting.
Membuat perilaku berkelanjutan lebih terlihat, seperti di Halifax, Nova Scotia, dengan kantong sampah bening, mengurangi sampah sebesar 31%. Membuat komitmen publik, seperti tamu hotel yang menggantung kartu (meningkatkan penggunaan kembali handuk 20%) atau memakai pin (meningkatkan 40%), juga efektif.
Kompetisi sehat antar kelompok sosial, seperti yang dilakukan World Wildlife Fund (WWF) untuk Earth Hour (dimulai di Sydney, Australia, tahun 2007, mencapai 188 negara dengan 3,5 miliar penyebutan media sosial pada Januari-Maret 2018, dan mematikan lampu di hampir 18.000 landmark selama Earth Hour 2018), juga berhasil.
Membentuk Kebiasaan Baik
Kebiasaan dipicu oleh isyarat. Perusahaan dapat menghilangkan kebiasaan negatif dan menggantinya dengan yang positif. Menjadikan perilaku berkelanjutan sebagai opsi default sangat efektif. Di Jerman, ketika listrik hijau menjadi default di bangunan tempat tinggal, 94% orang tetap menggunakannya. Di restoran di California, sedotan plastik tidak lagi diberikan kecuali diminta.
Baca Juga: Sustainability: Apa yang Dimaksud dengan Keberlanjutan dalam Bisnis?
KOMENTAR