Nationalgeographic.co.id—Jambi, sebuah nama yang tak lepas dari ingatan kolektif Indonesia akan tragedi 2015. Kala itu, asap pekat mengepung, hasil dari lebih dari 2,5 juta hektar lahan yang terbakar di seluruh negeri.
Di Jambi sendiri, sekitar 138.000 hektar luluh lantak, sebagian besar di lahan gambut yang rentan, meliputi Tanjung Jabung Barat, Muaro Jambi, dan Tebo.
Bencana ini bukan sekadar angka; ia adalah jeritan ekologi, memuntahkan 1,6 miliar metrik ton setara CO2 ke angkasa, menyingkirkan keanekaragaman hayati, dan mengancam habitat satwa langka seperti orangutan, harimau, dan gajah.
Kabut asap beracun bak selimut kematian, mencekik kota-kota di Sumatra dan Kalimantan. Lebih dari 500.000 jiwa terserang infeksi pernapasan, sekolah-sekolah sepi berminggu-minggu, dan bandara-bandara lumpuh dalam hening.
Kerugian ekonomi? Sebuah luka menganga yang diperkirakan melampaui 16 miliar Dolar Amerika. Di tengah derita itu, para petani kecil di Jambi kehilangan lahan produktif, memaksa pemerintah untuk merangkul sektor swasta dalam inisiatif pencegahan, seperti Program Desa Bebas Api dan upaya pembasahan kembali lahan gambut.
Menganyam Harapan dari Tangan Muda
Dari balik bangku sekolah di Singapura, Warren Xie, seorang pemuda Jakarta berusia 17 tahun, merasakan perihnya kabut asap yang tak hanya menyelimuti negerinya, namun juga negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Bersama dua rekannya, sejak Agustus 2024, ia menginisiasi gerakan Nectarmas.
Sebuah gerakan yang berlandaskan pada gagasan inovatif: mengajak masyarakat desa di Tanjung Jabung Barat, Jambi, untuk beralih dari tradisi bakar-membakar lahan menjadi budidaya lebah madu (apikultur).
Sebuah simfoni alam yang terencana, di mana lebah-lebah bekerja, menari di antara bunga, menghasilkan madu dan produk lebah lainnya, sekaligus menjadi penjaga hutan.
Aksi nyata Warren dan kawan-kawan tak bertepuk sebelah tangan. Belum genap setahun, Nectarmas telah merajut kemitraan dengan 22 Kelompok Petani Madu (KPM). KPM Tungkung, yang beroperasi di sekitar kawasan hutan produksi, menjadi mercusuar, membuktikan bahwa apikultur tanpa pembakaran lahan adalah mungkin.
Baca Juga: Simpan Lebih Banyak Karbon Dibandingkan Seluruh Hutan di Dunia, Lahan Gambut Justru Diabaikan?
"Sebagai anak bangsa, saya merasa terpanggil untuk ikut memikirkan solusinya," ujar Warren Xie, pendiri dan CEO Nectarmas. Ia percaya, kunci keberhasilan terletak pada kolaborasi yang menguntungkan masyarakat lokal.
Maka, pelatihan dan pendampingan pun digulirkan, membimbing para petani KPM di Tanjung Jabung Barat, Jambi, menuju budidaya lebah yang ramah lingkungan dan menjanjikan nilai ekonomi tinggi.
Panen Berkah, Mencegah Bencana, Merajut Inovasi
Pelatihan teknis adalah jembatan menuju madu berkualitas prima.
"Buktinya, para petani yang tergabung dalam KPM Tungkung kini sudah mampu menghasilkan madu berkualitas tinggi dari sarang-sarang lebah yang matang, sehingga dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi," Warren menjelaskan dengan semangat.
Peningkatan pendapatan keluarga petani madu adalah buah nyata, menjadikan mereka garda terdepan dalam pelestarian hutan dan pencegahan kebakaran lahan di Jambi.
Kemitraan berkelanjutan dengan Nectarmas membuka gerbang pasar yang lebih luas, bahkan hingga ke kancah internasional. Ini adalah pemantik semangat bagi petani untuk terus meningkatkan praktik apikultur mereka, baik kualitas maupun keberlanjutannya.
Lebih dari itu, insentif ekonomi ini adalah magnet, menarik petani menjauhi praktik pembukaan lahan dengan cara membakar. Dengan budidaya lebah, mereka kini punya alasan kuat untuk merawat hutan.
Saat ini, hasil kerja keras Nectarmas dan 15 KPM di Tanjung Jabung Barat, Jambi, telah membuahkan satu ton madu per bulan, memberikan tambahan pendapatan Rp4-5 juta per kepala keluarga setiap bulannya.
Namun, visi Warren tak berhenti di situ. Ia dan timnya tengah merajut masa depan dengan "Smart Beehive", sebuah sarang lebah cerdas berteknologi Internet of Things (IoT).
Baca Juga: Gambut dan Mangrove Jadi Kunci Pengurangan Emisi Karbon di Asia Tenggara
Inovasi ini, yang meraih medali perunggu di International Exhibition of Inventions di Jenewa, Swiss, pada April 2025, akan mengotomatiskan perawatan sarang lebah. Warren menjelaskan, dari 210 jam per tahun yang dibutuhkan dengan sistem tradisional, "Smart Beehive" mampu memangkasnya menjadi sekitar 100 jam per tahun, menghemat lebih dari 50 persen waktu.
"Smart Beehive" memantau suhu, kelembaban, hama, dan aktivitas lebah dari jarak jauh, menjaga lebah dari stres dan memastikan produksi madu optimal.
Melalui proyek Octahive, Warren Xie dan kawan-kawan terus menyempurnakan "Smart Beehive" untuk eliminasi hama kutu dan pemanenan madu otomatis. Mereka bahkan mengintegrasikan tenaga surya agar teknologi ini dapat menjangkau daerah terpencil.
"Dengan mengurangi kebutuhan tenaga manusia dalam merawat dan juga meningkatkan produktivitas madu lebah, kami berharap proyek Beehive ini dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat, khususnya para petani lebah," pungkas Warren.
Jaring Asa, Menuai Kesejahteraan
Fitrah Febriyansah, Ketua KPM Tungkung, bersaksi bahwa program budidaya lebah madu Nectarmas sangat membantu anggotanya dalam mengelola lahan gambut secara lestari.
"Kami merasa terbantu oleh adanya gerakan Nectarmas yang dengan konsisten memberikan pendampingan dan dukungan hingga saat ini. Semoga program ini bisa terus berkelanjutan sehingga dapat memberikan manfaat serta berdampak positif bagi kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di desa kami," tutur Fitrah.
Dolly Priatna, Direktur Eksekutif Belantara Foundation, mengakui tantangan budidaya madu: kualitas yang tak konsisten dan sulitnya akses pasar. Namun, kehadiran Nectarmas yang digerakkan Gen Z ini adalah bukti nyata bahwa generasi muda adalah agen perubahan, mampu merajut masa depan yang lebih baik melalui pemanfaatan teknologi cerdas. Warren dan kawan-kawan adalah teladan, menunjukkan bagaimana inovasi dapat menjadi solusi jitu untuk budidaya lebah madu, sekaligus mencegah terulangnya bencana karhutla di Jambi.
Nectarmas diharapkan menjadi jawaban atas berbagai tantangan petani madu. Melalui "Smart Beehive", produksi dan kualitas madu meningkat, tenaga kerja berkurang, harga jual premium tercapai, dan yang terpenting, keuntungan finansial masyarakat bertambah signifikan.
Dr. Sih Kahono, pakar lebah dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menegaskan pentingnya lebah dalam ekosistem melalui penyerbukan tumbuhan.
"Budidaya lebah penghasil madu sangat berpotensi untuk dikembangkan dalam upaya meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan, sehingga bisa menjadi entry point atau pintu masuk untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga dan melestarikan hutan," ungkap Kahono, yang telah lebih dari 30 tahun meneliti lebah.
"Dengan demikian, harapan kita mengembangkan ekonomi hijau berkelanjutan bisa terwujud sesuai dengan target nasional dan Sustainable Development Goals."
Akankah inisiatif Nectarmas mampu menjadi model keberlanjutan bagi daerah lain di Indonesia?
--
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Dapatkan berita dan artikel pilihan tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui WhatsApp Channel di https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News di https://shorturl.at/xtDSd. Jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan ilmu dan informasi!
KOMENTAR