Nationalgeographic.co.id—Dalam sejarah dunia, wanita melakukan hal-hal tertentu agar bisa tampil cantik dan menarik. Khusus di era Renaisans, kecantikan ditentukan oleh berbagai faktor yang berkaitan dengan status dan kekayaan.
Para wanita sering kali berusaha keras untuk menggambarkan diri mereka sebagai bagian dari kelas sosial elite. Mereka mempelajari saran-saran untuk mempercantik diri yang dimuat dalam buku-buku khusus.
Lewat buku panduan kecantikan, para wanita akan melapisi kulit dan rambut mereka dengan berbagai ramuan. Tujuannya untuk mendapatkan kulit pucat yang ideal, rambut halus, dan pipi merah
Beberapa riasan wajah Renaisans tidak berbahaya dan bahkan bermanfaat. Sementara jenis lainnya terbuat dari bahan-bahan beracun termasuk timbal dan arsenik yang dapat menyebabkan masalah kesehatan. Dalam kasus yang paling ekstrem, bahan-bahan tersebut bisa menyebabkan kematian.
Apa yang menentukan kecantikan selama era Renaisans?
Dalam sejarah dunia, standar kecantikan selama Renaisans ditetapkan berdasarkan struktur kelas. Wanita dari kelas atas menjalani kehidupan yang santai. Mereka menghabiskan hari-harinya untuk saling mengunjungi, menyulam, dan melakukan kegiatan santai di luar ruangan.
Tangan mereka bebas dari kapalan. Para wanita kelas atas tidak bekerja keras di luar ruangan di bawah terik matahari. Mereka pun menjaga wajah mereka tetap teduh dan pucat.
Wanita kelas atas di era Renaisans punya uang untuk membeli makanan yang lebih baik dan lebih banyak. “Termasuk daging yang berlimpah yang membuat tubuh mereka lebih lembut dan bulat,” tulis Erin Wright di laman The Collector.
Wanita menginginkan tubuh yang lebih berlekuk, sesuatu yang juga dianggap baik untuk melahirkan. Beberapa tren mode pada saat itu juga berupaya untuk menonjolkan area tubuh guna menambah volume.
Wajah pucat dan tangan dengan pipi kemerahan juga menjadi tren di masa itu. Dan meskipun efek pucat dan kemerahan itu dapat muncul secara alami, ada banyak ramuan yang dibuat untuk meningkatkan efeknya.
Buku-buku kecantikan dicetak dan diedarkan selama Renaisans yang membahas tentang cita-cita kecantikan. Buku tersebut juga membahas cara mencapai tampilan yang tren di masa itu.
Baca Juga: Membaca Peta Renaisans: Panduan Agar Tidak Tersesat Saat Melancong
Resep disertakan dalam buku-buku ini untuk tonik dan krim yang akan menghilangkan warna pada wajah, dari sengatan matahari. Buku-buku itu juga memberikan pelajaran tentang cara membuat rambut wanita panjang dan halus.
Tampilan alami lebih disukai di era Renaisans
Agama mendominasi budaya Eropa Barat. Banyak aktivitas atau barang yang dilarang atau dianggap tidak bermoral. “Hal ini termasuk kosmetik,” tambah Wright. Tampilan alami lebih disukai pada Abad Pertengahan hingga tampilan pucat menjadi tren selama Renaisans.
Kosmetik digunakan untuk mendapatkan kulit yang sempurna. Namun hal itu tidak berlaku untuk semua jenis kosmetik yang digunakan di era Renaisans. Warna bibir masih lebih disukai dalam warna yang lebih netral. Tapi warna merah tua yang tidak terlihat pada Abad Pertengahan mulai populer. Di era Renaisans, tampilan natural dianggap cantik.
Riasan tebal biasanya digunakan oleh wanita yang disebut bermoral rendah. Kelompok ini termasuk aktris ketika wanita mulai menghiasi panggung Inggris pada tahun 1660, penyanyi opera, dan pelacur.
Ragam kosmetik di era Renaisans, mulai dari yang aman hingga mematikan
Ada banyak tren kecantikan Renaisans menggunakan bahan-bahan seperti timbal atau arsenik. Di sisi lain, banyak resep yang mengandung bahan-bahan alami. Salah satu resepnya menggunakan bunga Rosemary.
The Conversation mengutipnya, “Ambil bunga rosemary dan rebus dengan anggur putih. Lalu basuh muka dengan air tersebut hingga bersih. Air rebusan itu juga bisa diminum. Wajah Anda akan menjadi sangat cantik dan napas Anda akan segar.”
Rosemary dapat membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan memiliki sifat antiperadangan yang tentunya dapat memperbaiki sirkulasi darah dan kulit. Warna bibir dapat ditingkatkan dengan mencampur buah beri dengan berbagai lemak.
Mencubit pipi dapat memberikan warna yang cerah dan sehat. Cubitan bisa menjadi alternatif yang lebih sehat jika seseorang tidak menggunakan beberapa bahan yang lebih kuat.
Dalam sejarah dunia, banyak zat berbahaya yang digunakan dalam tata rias selama Renaisans. Beberapa bedak dan krim wajah dicampur dengan racun, termasuk timbal, merkuri, arsenik, dan tanaman nightshade yang mematikan.
Kita semua mungkin sudah familier dengan efek berbahaya dari paparan timbal secara teratur saat ini. Namun, wanita selama Renaisans secara bebas mengoleskan krim yang dicampur timbal ke wajah dan tubuh mereka. Efek sampingnya termasuk sakit perut, sakit kepala, rambut rontok, masalah ingatan, infertilitas, anemia, kejang, koma, dan akhirnya kematian.
Merkuri dalam krim pemutih wajah juga menyebabkan efek negatif pada penampilan dan kemampuan kognitif pemakainya karena perlahan-lahan meracuni mereka. Dalam Artificial Embellishments Thomas Jeamson (1665), ia mengamati efek dari merkuri. Menurutnya, merkuri membuat wajah berkerut, napas bau, gigi tanggal dan busuk.
Arsenik digunakan sebagai insektisida topikal dan juga muncul dalam krim pemutih kulit era Renaisans. Keracunan akibat senyawa mematikan ini dapat menyebabkan rambut rontok, kerusakan ginjal, pertumbuhan tubuh, dan hilangnya pigmen pada kulit. Senyawa ini bekerja dengan membuat pemakainya pucat dengan membunuh sel darah merah, yang dapat berakibat fatal.
Deadly nightshade—atau atropa belladonna, adalah tanaman beracun dalam famili yang sama dengan tomat, kentang, dan terong. Jika tertelan, tanaman ini dapat menyebabkan delirium, halusinasi, dan kematian. Seperti banyak zat beracun lainnya selain kosmetik, tanaman ini juga memiliki sejarah panjang penggunaan dalam pengobatan.
Deadly nightshade digunakan pada masa Renaisans untuk "mencerahkan" mata. Sarinya digunakan sebagai obat tetes mata yang melebarkan pupil untuk memberikan penampilan bak boneka yang menggoda.
Sepanjang sejarah manusia, para wanita melakukan berbagai hal demi bisa tampak cantik menawan.
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR