Nationalgeographic.co.id—Bayangkan sebuah dunia di mana bisnis tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga memberikan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat.
Konsep sustainability (keberlanjutan) menawarkan visi tersebut, tetapi banyak yang masih bertanya-tanya: apakah ini hanya sekadar tren sesaat, ataukah sebuah transformasi fundamental dalam dunia bisnis?
Temukan bagaimana perusahaan-perusahaan terkemuka di dunia telah mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam strategi mereka, dan bagaimana hal ini telah membuka peluang baru untuk inovasi dan pertumbuhan.
Memahami konsep keberlanjutan
Keberlanjutan, secara umum, adalah kemampuan untuk mempertahankan suatu proses secara terus menerus dalam jangka panjang, terutama dalam konteks bisnis dan kebijakan. Tujuannya adalah untuk mencegah penipisan sumber daya alam dan fisik agar tetap tersedia untuk generasi mendatang.
Kebijakan berkelanjutan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap manusia, ekosistem, dan ekonomi, didorong oleh kekhawatiran global mengenai perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi. Praktik bisnis berkelanjutan dan investasi teknologi hijau semakin diterapkan sebagai solusi.
Konsep keberlanjutan sering dibagi menjadi tiga pilar utama: ekonomi, lingkungan, dan sosial. Keberlanjutan ekonomi berfokus pada konservasi sumber daya alam sebagai input produksi, baik yang terbarukan maupun tidak.
Keberlanjutan lingkungan lebih menekankan pada sistem pendukung kehidupan seperti atmosfer dan tanah yang penting untuk keberlangsungan hidup dan produksi ekonomi.
Sementara itu, seperti dilansir Investopedia, keberlanjutan sosial menyoroti dampak sistem ekonomi pada manusia, termasuk upaya mengatasi kemiskinan, kelaparan, dan ketidaksetaraan.
Pada tahun 1983, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk World Commission on Environment and Development, dipimpin oleh Gro Harlem Brundtland, untuk meneliti hubungan antara ekologi, ekonomi, dan keadilan sosial.
Pada tahun 1987, komisi ini menerbitkan laporan yang mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai "memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri." Definisi ini menjadi standar dan cetak biru dalam mencapai keberlanjutan.
Baca Juga: 5 Tips Jitu dari Pakar untuk Tingkatkan Sustainability di Bisnis Anda
Lebih dari sekadar lingkungan
Keberlanjutan korporasi kini dipandang lebih luas dari sekadar isu lingkungan.
Harvard Business School menekankan bahwa keberlanjutan bisnis harus diukur dari dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat, dengan tujuan memberikan kontribusi positif pada setidaknya salah satu aspek tersebut.
Perusahaan didorong untuk menyeimbangkan keuntungan jangka pendek dengan manfaat jangka panjang, serta mengadopsi tujuan yang inklusif dan ramah lingkungan.
Praktik berkelanjutan mencakup berbagai tindakan seperti pengurangan emisi, efisiensi energi, penggunaan produk perdagangan adil, dan pengelolaan limbah yang bertanggung jawab.
Banyak perusahaan telah menetapkan target keberlanjutan yang ambisius. Walmart, misalnya, berjanji mencapai nol emisi pada tahun 2040.
Morgan Stanley menargetkan nol emisi yang dibiayai pada tahun 2050, sementara Google bahkan lebih progresif dengan target operasi bebas karbon pada tahun 2030.
Sektor energi juga bergerak ke arah keberlanjutan, dengan fokus pada sumber energi terbarukan seperti angin, air, dan matahari.
Namun, perlu diwaspadai praktik "greenwashing," di mana perusahaan memberikan kesan ramah lingkungan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Selain itu, upaya pemotongan biaya seperti pemindahan produksi ke negara dengan regulasi yang lebih lemah dapat mempersulit evaluasi keberlanjutan.
Baca Juga: Sustainability: Terobosan Brilian Ini Ampuh Kurangi Penggunaan Pupuk dalam Pertanian
Sebuah studi terhadap 1.080 perusahaan multinasional menunjukkan bahwa praktik keberlanjutan secara signifikan memengaruhi keputusan pemindahan produksi ke luar negeri (Lartey et al., International Business Review, 2021, vol. 30, no. 5, hlm. 101789).
Hal ini menimbulkan tantangan dalam menilai dampak produksi terhadap pekerja dan lingkungan secara komprehensif.
Tantangan keberlanjutan untuk bisnis
Perubahan menuju keberlanjutan bisnis menghadapi beberapa tantangan signifikan.
Institut Santa Fe menyoroti tiga hambatan utama: sulitnya mengukur dampak lingkungan perusahaan secara akurat, menentukan peringkat dampak lingkungan dari berbagai aktivitas, dan memprediksi respons pelaku ekonomi terhadap perubahan insentif.
Meskipun survei investasi berkelanjutan menunjukkan bahwa sekitar setengah atau lebih investor menganggap keberlanjutan sebagai aspek "fundamental" dalam strategi investasi mereka, tidak semua pihak memiliki pandangan yang sama.
Sebagai contoh, Hester Peirce, seorang Komisaris Securities and Exchange Commission (SEC), pada Juli 2021 menyampaikan kekhawatiran bahwa mandat pengungkapan ESG dapat melampaui wewenang SEC dan berpotensi merusak stabilitas keuangan dan ekonomi.
Peirce berpendapat bahwa metrik keberlanjutan bersifat "politis" dan dirancang untuk mengarahkan modal ke bisnis tertentu, yang bertentangan dengan pendekatan "agnostik historis" SEC.
Senada dengan pandangan skeptis ini, Eiji Hirano, mantan ketua dewan pengunjung Dana Investasi Pensiun Pemerintah Jepang, dalam wawancara dengan Bloomberg News, menyatakan kekhawatiran tentang adanya "gelembung" dalam investasi ESG dan mendesak untuk mengevaluasi kembali investasi ESG.
Manfaat keberlanjutan pada bisnis
Keberlanjutan bisnis tidak hanya memberikan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat, tetapi juga menghadirkan keuntungan finansial signifikan bagi perusahaan.
Baca Juga: Energyfish: Pelopor Teknologi Tenaga Mikro Hidro yang Mengusung Sustainability
Praktik bisnis yang berkelanjutan, seperti penggunaan sumber daya yang efisien, dapat menjamin kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang. Selain itu, pengurangan limbah dan polusi secara langsung berkontribusi pada penghematan biaya operasional perusahaan.
Sebagai contoh konkret, investasi pada sistem penerangan dan perpipaan yang lebih efisien dapat mengurangi tagihan utilitas sekaligus meningkatkan citra publik perusahaan. Pemerintah juga seringkali menawarkan insentif pajak bagi perusahaan yang menerapkan praktik keberlanjutan tertentu.
Keberlanjutan juga menjadi daya tarik utama bagi investor. Riset dari HEC Paris pada tahun 2019 menunjukkan bahwa investor sangat menghargai dimensi etika perusahaan, bahkan bersedia membayar premium AS$0,70 (setara Rp11.453) per saham untuk perusahaan yang memiliki program amal yang kuat.
Sebaliknya, perusahaan yang dinilai memberikan dampak sosial negatif justru mengalami penurunan valuasi. Harvard Business Review, melalui wawancara dengan 43 eksekutif investasi global, juga menegaskan bahwa pandangan lama yang menganggap isu lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) sebagai isu pinggiran dalam investasi sudah tidak relevan lagi.
Pergeseran besar dalam sikap investor terhadap keberlanjutan ini didukung oleh peningkatan komitmen pada Principles for Responsible Investment (PRI) yang diinisiasi PBB.
Pada tahun 2006, saat peluncurannya, PRI telah menarik komitmen dari 63 perusahaan investasi dengan total aset kelolaan AS$6,5 triliun (setara Rp98 triliun). Angka ini melonjak drastis menjadi 1.715 perusahaan dengan aset AS$81,7 triliun (setara Rp1.325 triliun) pada tahun 2018.
Pertumbuhan eksponensial ini menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan lagi sekadar tren, melainkan telah menjadi faktor krusial dalam dunia investasi modern.
KOMENTAR