Nationalgeographic.co.id—Gempa bumi berkekuatan 7,7 skala Richter mengguncang Myanmar bagian tengah pada 28 Maret 2025 pukul 12:50 siang waktu setempat. Gempa bumi ini menyebabkan sedikitnya 144 orang dipastikan meninggal sejauh ini.
Bencana ini pun memicu kerusakan yang meluas di Myanmar dan Thailand. Bangunan-bangunan runtuh, jalan-jalan rusak dan sedikitnya satu bendungan dan jembatan runtuh. Gempa susulan berkekuatan 6,4 skala Richter terjadi hanya 10 menit kemudian.
Dengan kedua negara dinyatakan sebagai daerah bencana, para pekerja bantuan internasional bergegas membantu. Mereka menyiapkan pasokan dan menilai jumlah korban tewas dan kerusakan.
Seberapa rentan Myanmar terhadap gempa bumi?
Myanmar terletak di perbatasan antara dua lempeng tektonik. Negara ini merupakan salah satu negara dengan aktivitas seismik paling aktif di dunia.
“Meski demikian, gempa bumi besar dan merusak relatif jarang terjadi di Sesar Sagaing,” tulis David Stanway di laman Reuters.
“Batas lempeng antara Lempeng India dan Lempeng Eurasia membentang kira-kira dari utara ke selatan, membelah bagian tengah negara ini,” kata Joanna Faure Walker, seorang profesor dan pakar gempa bumi di University College London.
Dia mengatakan lempeng-lempeng tersebut bergerak melewati satu sama lain secara horizontal dengan kecepatan yang berbeda. Meskipun hal ini menyebabkan gempa “geseran lempeng” yang biasanya tidak sekuat gempa yang terjadi di “zona subduksi” seperti Sumatra, gempa tersebut masih dapat mencapai magnitudo 7 hingga 8.
Mengapa gempa di Myanmar begitu merusak?
Sesar Sagaing menyebabkan beberapa gempa dalam beberapa tahun terakhir. Gempa berkekuatan 6,8 skala Richter menyebabkan sedikitnya 26 orang tewas dan puluhan orang cedera pada akhir tahun 2012.
“Namun, gempa pada 28 Maret 2025 itu mungkin yang terbesar yang melanda daratan Myanmar dalam tiga perempat abad,” kata Bill McGuire, pakar gempa di UCL.
Baca Juga: Berkekuatan 7,7 Skala Richter, Apa Pemicu Gempa Bumi di Myanmar?
Roger Musson, peneliti kehormatan di Survei Geologi Inggris, mengatakan bahwa kedalaman gempa yang dangkal berarti kerusakannya akan lebih parah. Menurut Survei Geologi Amerika Serikat, episentrum gempa berada pada kedalaman hanya 10 km.
Hal ini sangat merusak karena terjadi pada kedalaman yang dangkal, sehingga gelombang kejut tidak hilang saat bergerak dari pusat gempa ke permukaan. Bangunan-bangunan menerima kekuatan penuh dari guncangan.”
“Penting untuk tidak berfokus pada episentrum. Pasalnya gelombang seismik tidak menyebar dari episentrum melainkan menyebar dari seluruh garis patahan,” tambah Musson.
Kehancuran akibat gempa bumi bukan hanya disebabkan oleh besarnya, tetapi juga lokasi dan kedalamannya. Gempa bumi dangkal, meskipun tidak terlalu kuat, dapat menyebabkan guncangan hebat di permukaan tanah. Hal ini pun menimbulkan ancaman bagi infrastruktur di daerah berpenduduk.
Gempa bumi yang terjadi di Myanmar memiliki tiga bahaya: gempa bumi tersebut kuat; dangkal, dengan episentrum hanya pada kedalaman 10 kilometer. Dan terjadi di wilayah berpenduduk padat dengan bangunan dan struktur lain yang rentan.
Berikut tiga hal yang perlu diketahui tentang bagaimana dan mengapa gempa bumi di Myanmar terjadi.
Gempa bumi ini merupakan gempa bumi geser. Likuefaksi merupakan bahaya yang diketahui di wilayah tersebut. Likuefaksi adalah fenomena hilangnya kekuatan lapisan tanah akibat beban getaran gempa.
Wilayah dengan lapisan tanah gembur yang tebal dapat rentan terhadap likuefaksi selama gempa bumi. Proses tersebut merupakan interaksi mematikan antara gelombang seismik dan sedimen yang untuk sementara menyebabkan tanah berperilaku seperti pasir hisap.
Gempa bumi sebelumnya di wilayah ini telah memicu tanah longsor dan likuefaksi yang menambah jumlah korban tewas dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Hal tersebut mungkin berkontribusi terhadap kehancuran gempa ini, meskipun masih terlalu dini untuk mengetahui tingkat kerusakannya.
Gempa bumi ini mungkin merupakan hasil dari gerakan menyamping, atau gerakan mendatar, di sepanjang Sesar Sagaing. Sesar Sagaing adalah patahan besar yang membentang dari utara ke selatan melalui Myanmar tengah, menurut Program Bahaya Gempa Bumi Survei Geologi AS.
Baca Juga: 7 Kapal Kuno yang Penemuannya Menggemparkan Sejarah Umat Manusia
Gempa bumi mendatar terjadi ketika dua blok kerak tektonik mencoba meluncur menyamping melewati satu sama lain. Blok kerak tersebut dapat terkunci sebentar karena gesekan, kemudian terlepas, melepaskan semburan energi seismik melalui tanah.
Sesar Sagaing merupakan bagian dari batas lempeng yang kompleks dan berbahaya.
Sesar tersebut menandai tabrakan antara lempeng tektonik India, yang meliputi anak benua India dan sebagian Samudra Hindia, dan Lempeng Sunda.
Saat Lempeng India bergeser ke utara, lempeng ini bergesekan menyamping dengan Lempeng Sunda di sebelah timur. Gesekan tersebut terkadang menimbulkan gempa bumi dahsyat. Wilayah Sesar Sagaing sendiri penuh dengan bahaya seismik. Banyak gempa bumi besar telah terjadi di wilayah tersebut selama seabad terakhir. Termasuk gempa berkekuatan 7,0 pada tahun 1990 dan gempa berkekuatan 7,9 pada tahun 1912, menurut USGS.
Dari tahun 1930 hingga 1956, terjadi enam gempa bumi berkekuatan lebih dari 7 di Sesar Sagaing itu sendiri yang menewaskan ratusan orang.
Pergerakan Lempeng India ke utara juga telah menempatkannya pada jalur tabrakan dengan Lempeng Eurasia. Benturan yang sedang berlangsung itu terus mendorong pegunungan Himalaya dan Dataran Tinggi Tibet. Benturan ini juga telah menyebabkan beberapa gempa bumi paling mematikan di wilayah Himalaya. Termasuk gempa bumi Kashmir tahun 2005 yang menewaskan puluhan ribu orang.
Seberapa siap Myanmar dalam menghadapi gempa bumi?
Program Bahaya Gempa Bumi USGS, mengatakan bahwa korban jiwa dapat mencapai antara 10.000 hingga 100.000 orang. Sedangkan dampak ekonomi dapat mencapai 70% dari PDB Myanmar. Musson mengatakan perkiraan tersebut didasarkan pada data dari gempa bumi sebelumnya. Serta didasarkan pada ukuran, lokasi, dan kesiapan Myanmar secara keseluruhan terhadap gempa.
Jarangnya kejadian seismik besar di wilayah Sesar Sagaing berarti bahwa infrastruktur belum dibangun untuk menahannya. Salah satunya adalah di wilayah Mandalay yang padat penduduk. Artinya, kerusakannya bisa jauh lebih parah.
Musson mengatakan bahwa gempa besar terakhir yang melanda wilayah itu terjadi pada tahun 1956. Rumah-rumah tidak mungkin dibangun untuk menahan kekuatan seismik sekuat yang terjadi pada 28 Maret 2025.
“Sebagian besar gempa di Myanmar terjadi di wilayah barat. Sedangkan gempa ini terjadi di wilayah tengah negara,” jelas Musson.
Source | : | Reuteurs,Science News |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR