Nationalgeographic.co.id—Konklaf, sidang para kardinal untuk memilih paus yang baru, telah digelar pada 7 Mei silam. Sebanyak 133 kardinal dari 135 kardinal—dua kardinal tidak hadir karena alasan kesehatan—yang mempunyai hak suara telah mengikuti sidang ini. Konklaf kali ini berjalan dengan relatif baik dan cepat.
Konklaf boleh dikata cepat karena dalam waktu 25 jam sejak Konklaf dibuka, asap putih mengepul dari cerobong pertanda sidang telah memutuskan paus yang baru. Setidaknya, inilah konklaf tercepat selama 50 tahun terakhir.
Kardinal Robert Francis Prevost, O.S.A. terpilih sebagai pengganti Paus Fransiskus. Dia pun memilih nama "Leo XIV". Terpilihnya sosok Paus yang ke-267 ini menjadi sebuah kabar suka cita bagi Gereja Katolik di penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Monsinyur Antonius Subianto Bunjamin, O.S.C. sebagai Ketua Konferensi Waligereja Indonesia mengungkapkannya dalam taklimat media. Temanya, "Terpilihnya Kardinal Prevost, O.S.A. sebagai Paus Baru Gereja Katolik, Paus Leo XIV" yang digelar di Gedung KWI Jalan Cut Meutia, Menteng, Jakarta Pusat.
Bunjamin mengatakan bahwa selama masa duka para kardinal menggelar pertemuan-pertemuan setiap hari yang membahas sosok paus yang akan datang, demikian pemeriannya berdasar kabar dari Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo dari Vatikan.
"Seperti apa, rasa-rasanya, harapan-harapannya mengarah pada figur Fransiskus kedua yang akan meneruskan gebrakan paus sebelumnya," ujarnya. "Rupa-rupanya, suara itu sejak awal pemilihan sudah tertuju pada satu figur yang diprediksi akan terpilih."
Tampaknya, gambaran inilah yang menunjukkan alasan pemilihan Kardinal Robert F. Prevost sebagai Paus tidak membutuhkan waktu yang lama. Nyaris serupa ketika pemilihan Paus Fransiskus yang membutuhkan waktu sekitar 26 jam sejak konklaf dibuka. Konklaf-konklaf modern berlangsung relatif cepat karena aturan konklaf tertutup serta dinamika komunikasi internal yang lebih efisien di antara para kardinal.
Takdir dalam Dua Dunia
Prevost berasal dari Ordo Santo Agustinus, sekaligus yang pertama menjabat sebagai Paus dari ordo ini. Ia juga merupakan paus pertama yang lahir di Amerika Serikat dan berkebangsaan Peru. Menurut Bunjamin, Paus Leo XIV memiliki latar belakang kombinasi luar biasa karena berasal dari negara maju dan adikuasa, sekaligus berkebangsaan Peru di Amerika Selatan, yang merupakan daerah pinggiran dengan banyak kaum miskin dan menderita.
"Mudah-mudahan [...] menjadi paduan yang ideal," kata Bunjamin. "Itulah sebabnya mengapa saya berpikir bahwa pilihan nama Leo XIV memiliki makna mendalam."
Dalam taklimat media itu dia mengungkapkan juga bahwa Paus Leo XIV memiliki perjalanan hidup yang terbilang unik dan tak disangka. Sepuluh tahun silam, Paus Fransiskus tampaknya melihat dalam diri seorang imam yang mungkin adalah cerminan dirinya sendiri. Pada 2014, Prevost diangkat menjadi administrator keuskupan Ciklayo di Peru. Kemudian, pada tahun berikutnya, dia menjadi uskup. Belakangan, pada 2023 dia dipanggil ke Roma untuk menjabat sebagai prefek atau kepala komisi untuk pemilihan para uskup.
Baca Juga: Mengenal Paus Leo XIII yang Seperempat Abad Memimpin Gereja Katolik
Jabatan prefek boleh dikata lumayan penting. Tugasnya, bertanggung jawab atas pemilihan para uskup untuk negara-negara maju atau gereja-gereja maju—tidak termasuk Indonesia. Di samping itu, Prevost juga menjadi Presiden Duta Perdamaian untuk Gereja-Gereja di Amerika Latin.
Paus Leo XIV 'Kembaran' Paus Fransiskus
"Kedekatan antara Paus Fransiskus dan Paus Leo XIV ini terasa begitu erat," ujar Bunjamin. "Seakan-akan saya bisa mengatakan bahwa Paus Leo adalah 'kembaran' dari Paus Fransiskus—seseorang yang hidup sederhana, penuh bela rasa, suci, dan memiliki dedikasi tinggi."
Bunjamin beranggapan bahwa Prevost ingin melanjutkan karya pastoral dengan menghadirkan semangat Paus Fransiskus, tetapi dengan gebrakan seperti yang dilakukan oleh Paus Leo XIII. Atas dasar interpretasi inilah dia menduga kemungkinan alasan Prevos tidak memilih nama Fransiskus II. "Ini hanya tafsiran," ujarnya, "dan mudah-mudahan tidak salah."
Gebrakan seperti apakah yang diinisiasi oleh Paus Leo XIII—yang menjabat sebagai Paus pada periode 1878 sampai 1903? Dia dicatat sebagai Paus yang pertama kali menerbitkan Rerum Novarum, yakni ensiklik tentang ajaran sosial gereja, pada 15 Mei 1891. Kelak ensiklik ini menjadi dasar bagi ajaran-ajaran sosial gereja, bahkan sampai ajaran paus modern sampai hari ini, termasuk oleh Paus Fransiskus.
Gagasannya sungguh luar biasa. Situasi pada akhir abad ke-19 memiliki kemiripan dengan situasi saat ini, namun dengan kompleksitas yang lebih rumit. Gereja Katolik merespons terhadap situasi sosial dan ekonomi yang sangat berubah akibat Revolusi Industri, kapitalisme modern, dan bangkitnya sosialisme. Paus Leo XIII ingin menempatkan Gereja katolik sebagai pembela kaum tertindas. Dia merasa perlu menawarkan jalan ketiga: bukan kapitalisme liar, bukan pula sosialisme revolusioner.
"Maka, hal ini tidak hanya diatasi dengan pendekatan moral semata, tetapi dengan pendekatan spiritual, kasih, dan bela rasa," ujarnya.
Dia juga menambahkan, "Kami optimis dan bersukacita bahwa apa yang telah diperjuangkan oleh Paus Fransiskus selama dua belas tahun akan diteruskan oleh beliau—bahkan lebih diintensifkan dengan energi yang luar biasa, mengingat usia beliau yang jauh lebih muda dibandingkan Paus Fransiskus saat wafat."
Ajakan Pertama Paus Leo XIV untuk Kita
Saat pertama tampil di muka publik Vatikan, di atas balkon Basilika Santo Petrus, Paus Leo XIV menyampaikan sebuah kalimat, "Damai sejahtera bagi kalian semua."
Menurut Bunjamin, kalimat yang diucapkan Paus itu berasal dari Yesus sendiri. Kalimat itu disampaikan Yesus ketika pertama kali muncul di ruang tempat para murid yang sedang mengalami kejatuhan mental karena merasa dunia telah kacau—setelah Yesus wafat.
Kalimat "Damai sejahtera bagi kalian semua" ini menurutnya mampu memberikan harapan dan seakan-akan mengajak kita semua untuk tetap berjuang di tengah situasi krisis—baik itu krisis moral, krisis ekonomi, krisis politik, maupun krisis sosial. "Harapan dan perjuangan harus terus dilanjutkan. Kita semua adalah duta perdamaian dan duta damai sejahtera," kata Bunjamin.
Selain itu Paus juga mengatakan, "Mari kita berjalan bersama kembali." Kalimat ini juga mencerminkan kerendahan hatinya bahwa menjadi Paus bukan berarti harus berjalan sendiri, melainkan bersama umatnya.
Bunjamin menambahkan bahwa dalam perayaan ekaristi pertama bersama dengan para kardinal, Paus Leo XIV menyampaikan pengantar dalam bahasa Inggris. Apabila kita terjemahkan, bermakna, "Mari, para Bapak Kardinal, berjalanlah bersama dengan saya. Saya tidak bisa berjalan sendiri. Saya membutuhkan para Bapak Kardinal untuk menggembalakan gereja dan membawa perdamaian."
Ajakan ini tidak hanya ditujukan kepada para kardinal. Akan tetapi juga kepada seluruh Gereja Katolik dan semua orang yang menginginkan terwujudnya dunia yang lebih damai. "Saya kira, figur dan teladan kehidupan serta karya Paus Fransiskus akan kita lihat dalam diri Paus Leo XIV," ujar Bunjamin. "Dengan penerapan kebijakan serta tindakan pastoral yang saya kira disesuaikan dengan situasi sosial dan politik yang dinamis dan berkembang begitu cepat."
Sekitar dua dekade silam, Paus Leo XIV pernah datang ke Indonesia—bukan sebagai Paus, tetapi sebagai Superior Jenderal Ordo Fratrum Sancti Augustini (OSA). Dia mengunjungi Keuskupan Manokwari-Sorong. Menariknya, pada 8 Maret 2025, putra Papua pertama yang terpilih sebagai uskup di Katedral Timika adalah Monsinyur Bernardus Bofitwos Baru, O.S.A. yang berasal dari kongregasi yang sama.
"Ini menjadi nilai tambah bagi kita, karena beliau telah mengenal Indonesia dan mungkin memiliki tempat bagi kita di hatinya," ungkap Bunjamin.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR