Nationalgeographic.co.id—Carstensz Pyramid, yang menjulang megah dengan ketinggian mencapai 4.884 meter atau setara dengan 16.024 kaki, merupakan salah satu dari Tujuh Puncak Dunia (Seven Summits) yang paling unik dan menarik perhatian, terutama karena kekayaan nama alternatif yang dimilikinya.
Gunung ini, yang setelah Indonesia merdeka dikenal dengan nama Puncak Jaya, Puncak Jaya Kesuma, serta Jaya Kesuma, seringkali disebut Carstensz Pyramid dan Puncak Jaya secara bergantian oleh masyarakat Indonesia sendiri. Keberagaman nama ini semakin menambah daya tarik gunung yang menjulang di antara gugusan pegunungan di Papua ini.
Letak geografis Carstensz Pyramid sempat menjadi perdebatan yang cukup menarik, meskipun akar dari perdebatan ini lebih bersifat politis daripada semata-mata geografis.
Setelah Belanda menyerahkan kendali wilayah Papua kepada Indonesia pada tahun 1962, sebuah babak baru dimulai bagi wilayah ini. Hingga saat ini, kawasan tempat Carstensz Pyramid berada masih mengalami dinamika politik yang cukup kompleks.
Secara administratif, Carstensz Pyramid terletak di wilayah Indonesia, yang secara umum diakui sebagai bagian dari benua Asia. Lebih tepatnya, gunung ini berdiri kokoh di bagian barat pulau Papua, yang termasuk dalam wilayah Provinsi Papua, Indonesia.
Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa dari perspektif geografis yang lebih luas, pulau Papua seringkali dimasukkan ke dalam kawasan Oceania, sebuah benua yang juga mencakup pulau-pulau Polinesia, Melanesia, Mikronesia, Selandia Baru, serta Australia.
Dalam konteks pendakian Tujuh Puncak Dunia, para pendaki umumnya memilih Gunung Everest sebagai representasi puncak tertinggi benua Asia. Akan tetapi, beberapa pendaki yang ingin memperluas tantangan mereka seringkali menambahkan satu puncak lagi ke dalam daftar, sehingga menjadi delapan puncak.
Puncak tambahan yang dipilih adalah Gunung Kosciuszko di Australia, yang memiliki ketinggian 2.228 meter atau 7.310 kaki. Pilihan ini mencerminkan kompleksitas geografis kawasan Oceania dan bagaimana pulau Papua dapat dipersepsikan dalam konteks benua yang berbeda.
Carstensz Pyramid sendiri memiliki posisi yang sangat istimewa karena secara tak terbantahkan merupakan puncak tertinggi di antara pulau-pulau di dunia. Lebih dari itu, gunung ini juga merupakan titik tertinggi yang membentang antara Pegunungan Himalaya yang megah di Asia dan Pegunungan Andes yang menjulang di Amerika Selatan.
Meskipun ketinggian resmi Carstensz Pyramid yang diakui secara luas adalah 4.884 meter (16.024 kaki), menarik untuk dicatat bahwa beberapa sumber, termasuk peta navigasi udara Australia, mencantumkan ketinggian yang sedikit berbeda, yaitu mencapai 5.030 meter atau 16.503 kaki.
Perbedaan ini, seperti dilansir laman Live Science, menimbulkan pertanyaan mengenai pengukuran ketinggian yang paling akurat dan menambah misteri seputar gunung yang luar biasa ini.
Baca Juga: Musibah di Puncak Carstensz: Ini Gejala, Penyebab, dan Pertolongan Pertama pada Hipotermia
Serba-serbi Carstensz Pyramid
Carstensz Pyramid mendapatkan namanya dari John Carstensz, seorang pelaut dan penjelajah berkebangsaan Belanda. Pada tahun 1623, dalam sebuah pelayaran yang membawanya melintasi perairan eksotis, Carstensz menjadi orang Eropa pertama yang menyaksikan keberadaan gunung yang menjulang tinggi ini.
Sekembalinya ke tanah kelahirannya, Belanda, Carstensz menceritakan pengalamannya melihat gunung bersalju yang terletak dekat dengan garis khatulistiwa. Sayangnya, deskripsinya yang luar biasa ini tidak mendapatkan kepercayaan dari banyak orang di Eropa yang sulit membayangkan salju di daerah tropis.
Gunung Carstensz Pyramid ini berlokasi di dataran tinggi tengah bagian barat Papua, menjadi bagian dari rangkaian pegunungan yang dikenal dengan nama Pegunungan Sudirman (Pegunungan Jayawijaya), atau juga disebut Dugunduguoo oleh penduduk setempat.
Lokasinya sekitar 86 kilometer, atau 55 mil, dari garis pantai selatan pulau Papua. Gunung ini terbentuk dari batuan kapur Miosen tengah, hasil dari proses geologi dahsyat berupa tabrakan antara Lempeng Australia dan Lempeng Pasifik.
Menariknya, Carstensz Pyramid berdiri berdekatan dengan salah satu tambang emas terbesar di dunia, yaitu Tambang Grasberg. Kedekatan ini menjadikan kawasan sekitar gunung sebagai area yang sangat dilindungi dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Keberadaan gletser dan salju abadi, terutama di gunung-gunung yang menjulang tinggi di dekat khatulistiwa, adalah fenomena yang relatif jarang terjadi di Bumi.
Meskipun puncak Carstensz Pyramid sendiri tidak memiliki gletser, lereng-lerengnya menyimpan beberapa gletser yang signifikan, termasuk Gletser Carstensz yang ikonik, Gletser Meren yang misterius, dan Northwall Firn yang menantang.
Suhu di kawasan gunung ini menunjukkan variasi yang cukup ekstrem dalam sehari. Pada siang hari, suhu udara bisa berkisar antara 12 derajat Celsius (53 derajat Fahrenheit) hingga 37 derajat Celsius (98 derajat Fahrenheit). Namun, ketika malam tiba, suhu dapat merosot tajam hingga mencapai -8 derajat Celsius (18 derajat Fahrenheit).
Meskipun terdapat fluktuasi suhu harian yang signifikan, karena lokasinya yang dekat dengan garis khatulistiwa, variasi suhu rata-rata sepanjang tahun di Carstensz Pyramid relatif kecil.
Selain itu, gletser-gletser di wilayah ini juga tidak mengalami banyak fluktuasi musiman yang berarti.
Sayangnya, citra satelit dalam dua dekade terakhir menunjukkan bahwa sebagian besar gletser di Carstensz Pyramid mengalami penyusutan yang cepat, bahkan beberapa di antaranya dilaporkan telah menghilang sepenuhnya.
Secara visual, Gunung Carstensz Pyramid memiliki karakteristik unik dengan tujuh sisi yang berbeda. Para pendaki gunung memiliki beragam pilihan rute untuk mencapai puncak impian mereka.
Rute Harrer, atau yang juga dikenal sebagai Rute Normal, adalah jalur pendakian yang paling populer dan sering dipilih oleh para pendaki. Pendakian melalui Rute Harrer, termasuk perjalanan turun, biasanya memakan waktu antara 12 hingga 15 jam.
Oleh karena itu, para pendaki yang memilih rute ini disarankan untuk memulai perjalanan mereka sejak dini hari agar dapat memaksimalkan waktu pendakian.
Selain Rute Harrer, terdapat juga rute East Ridge yang menawarkan pengalaman pendakian yang lebih panjang dan menantang, serta membutuhkan keterampilan panjat tebing yang mumpuni. Bagi pendaki yang mencari tantangan ekstrem, tersedia rute American Direct, sebuah jalur pendakian curam yang langsung menuju North Face.
Waktu yang dianggap paling ideal untuk melakukan pendakian ke Carstensz Pyramid adalah antara bulan April hingga November. Namun, mencapai kaki gunung ini sendiri merupakan sebuah tantangan tersendiri. Para pendaki harus terlebih dahulu menavigasi hutan tropis Papua Barat yang lebat dan seringkali tidak bersahabat.
Lokasi Carstensz Pyramid yang terpencil, ditambah dengan kompleksitas birokrasi pemerintah setempat, potensi konflik antar suku yang terus membayangi, serta ketidakstabilan politik di wilayah tersebut, menjadikan gunung ini sebagai salah satu dari tujuan Seven Summits yang paling jarang dikunjungi oleh para petualang dan pendaki gunung dari seluruh penjuru dunia.
Sejarah pendakian Carstensz Pyramid mencatat beberapa tanggal penting. Pada tahun 1936, Perhimpunan Geografi Kerajaan Belanda mensponsori sebuah ekspedisi pendakian yang dipimpin oleh Antonie Hendrikus Colijn, seorang pendaki gunung amatir. Tujuan ekspedisi ini adalah untuk mencapai puncak tertinggi di wilayah tersebut.
Namun, pada akhirnya, kelompok Colijn berhasil mencapai puncak Ngga Pulu yang berada di dekat Carstensz Pyramid, yang pada saat itu diyakini sebagai puncak tertinggi di kawasan tersebut.
Baru pada tahun 1962, seorang pendaki gunung asal Austria bernama Heinrich Harrer, bersama timnya yang terdiri dari Russell Kippax dan Albert Huizenga, berhasil mencatatkan diri sebagai tim pertama yang mencapai puncak Carstensz Pyramid yang sebenarnya. Harrer kembali ke wilayah tersebut pada tahun berikutnya dengan niat untuk mendaki Ngga Pulu, namun upayanya kali ini terhenti.
Selain prestasinya dalam dunia pendakian gunung, Heinrich Harrer juga dikenal karena persahabatannya yang erat dengan Dalai Lama. Kisah persahabatan mereka bahkan diangkat ke layar lebar dalam film berjudul "Seven Years in Tibet".
KOMENTAR